Penyintas Genosida Rohingya Seret Myanmar ke Meja Hijau
loading...
A
A
A
BERLIN - Sebanyak 16 penyintas dan saksi kekerasan etnis di Myanmar telah menggugat beberapa tokoh senior militer negara tersebut, dengan tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk genosida.
Mereka mengajukan pengaduan pada hari Jumat lalu dalam kemitraan dengan LSM Fortify Rights di pengadilan federal Jerman, mengutip prinsip yurisdiksi universal, yang memungkinkan kekejaman massal di satu negara dituntut di mana saja.
“Pengaduan tersebut memberikan bukti baru yang membuktikan bahwa militer Myanmar secara sistematis membunuh, memperkosa, menyiksa, memenjarakan, menghilangkan, menganiaya, dan melakukan tindakan lain yang merupakan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang,” kata CEO Fortify Rights Matthew Smith kepada wartawan Selasa waktu setempat seperti dikutip dari Russia Today, Rabu (25/1/2023).
Kelompok tersebut mengklaim memiliki "bukti substansial" bahwa pejabat militer senior mengetahui tentang kekejaman yang dilakukan bawahan mereka tetapi membiarkan mereka melanjutkan. Pengaduan tersebut mendesak Jerman untuk membuka penyelidikan struktural terhadap situasi di Myanmar, yang dapat mengarah pada tuduhan lebih lanjut.
Penggugat adalah anggota sipil dari kelompok etnis termasuk Rohingya, Karen, Bamar, Chin, dan Arakan. Beberapa adalah penyintas dari penumpasan awal terhadap Muslim Rohingya pada tahun 2017, sementara yang lain menderita akibat dugaan kekejaman yang dilakukan setelah kudeta militer pada tahun 2021.
“Ini akan menjadi pengaduan yurisdiksi universal pertama yang akan berbicara tentang kejahatan terhadap banyak kelompok etnis dan itulah yang menjadikan ini upaya yang benar-benar unik menuju keadilan dan akuntabilitas,” kata Pavani Nagaraja Bhat dari Fortify Rights mengatakan kepada The Guardian.
Ia menuduh militer Myanmar melanggar hak asasi manusia di seluruh negeri.
Kasus Fortify Rights bergabung dengan sejumlah proses hukum melawan junta Myanmar, termasuk kasus yurisdiksi universal yang diajukan di Turki dan Argentina, kasus genosida yang diajukan di Mahkamah Internasional, serta kasus di Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).
Mereka mengajukan pengaduan pada hari Jumat lalu dalam kemitraan dengan LSM Fortify Rights di pengadilan federal Jerman, mengutip prinsip yurisdiksi universal, yang memungkinkan kekejaman massal di satu negara dituntut di mana saja.
“Pengaduan tersebut memberikan bukti baru yang membuktikan bahwa militer Myanmar secara sistematis membunuh, memperkosa, menyiksa, memenjarakan, menghilangkan, menganiaya, dan melakukan tindakan lain yang merupakan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang,” kata CEO Fortify Rights Matthew Smith kepada wartawan Selasa waktu setempat seperti dikutip dari Russia Today, Rabu (25/1/2023).
Kelompok tersebut mengklaim memiliki "bukti substansial" bahwa pejabat militer senior mengetahui tentang kekejaman yang dilakukan bawahan mereka tetapi membiarkan mereka melanjutkan. Pengaduan tersebut mendesak Jerman untuk membuka penyelidikan struktural terhadap situasi di Myanmar, yang dapat mengarah pada tuduhan lebih lanjut.
Penggugat adalah anggota sipil dari kelompok etnis termasuk Rohingya, Karen, Bamar, Chin, dan Arakan. Beberapa adalah penyintas dari penumpasan awal terhadap Muslim Rohingya pada tahun 2017, sementara yang lain menderita akibat dugaan kekejaman yang dilakukan setelah kudeta militer pada tahun 2021.
“Ini akan menjadi pengaduan yurisdiksi universal pertama yang akan berbicara tentang kejahatan terhadap banyak kelompok etnis dan itulah yang menjadikan ini upaya yang benar-benar unik menuju keadilan dan akuntabilitas,” kata Pavani Nagaraja Bhat dari Fortify Rights mengatakan kepada The Guardian.
Ia menuduh militer Myanmar melanggar hak asasi manusia di seluruh negeri.
Kasus Fortify Rights bergabung dengan sejumlah proses hukum melawan junta Myanmar, termasuk kasus yurisdiksi universal yang diajukan di Turki dan Argentina, kasus genosida yang diajukan di Mahkamah Internasional, serta kasus di Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).