Cacat Pemilu di Dunia: Memanipulasi Suara Rakyat, Memperdaya Lawan Politik
Senin, 17 Agustus 2020 - 05:30 WIB
Pemilu federal diadakan pada 5 Maret 1933. Ini merupakan pemilihan multi-partai terakhir di Jerman sebelum akhir Perang Dunia II dan pembentukan Bundestag pada 1949, dan pemilihan terakhir sebelum penyatuan kembali Jerman pada 1990.
Teror dan penangkapan oleh nasional sosialistis membayangi kampanye pemilu dan menjadi lembaran gelap demokrasi Jerman. Tingkat pemilu tinggi, yakni sekitar 89% .
Partai NSDAP Hitler meraih 43,9% suara dan hanya mengantongi 288 dari 647 kursi di parlemen. Sedang dua partai besar lain Partai KPD meraih 12, 3% suara dan sosial demokrat (SPD) 18,3% suara. Hasil dari pemilu setengah bebas, dengan aksi teror yang membayanginya, hanya bersifat simbolis.
Tak lama kemudian, mandat dari anggota parlemen partai komunis KPD ditarik, partai SPD dilarang. Rezim Nazi pun memperluas aksi terornya, juga terhadap warga Yahudi. (Baca juga: Ini Pesan Rahasia Terakhir Nazi dalam Perang Dunia II)
3. Pemilu Turki 2015
Pemilu ke-24 Turki diadakan pada 7 Juni 2015 dengan empat partai peserta. Partai yang berkuasa saat itu, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) kehilangan suara mayoritas di parlemen yakni hanya mengumpulkan 40,9% suara.
Tiga peserta lain yakni Partai Rakyat Republik (CHP), Partai Gerakan Nasionalis (MHP), dan Partai Demokrat Rakyat (HDP). Namun, kontroversi membayangi pemilihan sebelum, selama, dan setelah hasilnya diumumkan. Selama kampanye, Presiden Recep Tayyip Erdogan , dituduh melakukan kecurangan.
Hasil pemilu menghasilkan komposisi kursi parlemen yang menggantung pertama kali di negara itu dengan AKP mengumpulkan 40,9%, CHP 25%, MHP 16,3%, dan HDP 13,1%. Pembicaraan untuk membentuk pemerintah koalisi gagal beberapa kali. AKP mendukung pemilu dini yang akhirnya diadakan pada 1 November 2015. (Baca juga: Sejarah Hagia Sophia, antara Katedral Kristen Ortodoks dan Masjid)
tulis komentar anda