Gelar Pemilu Parlemen, Singapura Ingin Keragaman

Senin, 13 Juli 2020 - 11:11 WIB
loading...
A A A
PM Lee juga mengakui penurunan suara partai berkuasa. “Hasil itu menunjukkan keinginan jelas untuk keragaman suara,” katanya pada konferensi pers kemarin. Dia mengungkapkan, rakyat Singapura menginginkan PAP ingin membentuk pemerintahan, tetapi para pemilih muda menginginkan kehadiran oposisi di parlemen.

Stabilitas bisa diprediksi dengan mudah merupakan hal melekat pada perpolitikan Singapura. PAP telah mendominasi sejak 1965. Itu juga mendukung negara kota tersebut sukses menjadi pusat keuangan dan perdagangan dunia. (Baca juga: AS Peringatkan Wargnya Makin Berisiko Ditahan di China)

Analis memperkirakan, kemunduran yang tidak diperkirakan PAP itu seperti akan menyebabkan perubahan kebijakan. Pemerintah sepertinya akan memperketat aturan perekrutan tenaga kerja asing dan kebijakan sosial yang selama ini diperjuangkan partai oposisi. “Pembuat kebijakan akan memperketat jalan bagi pekerja asing di sektor buruh dan meningkatkan dua kali lipat anggaran sosial bagi kelompok berpendapatan rendah,” kata Song Sen Wun, ekonomi di CIMB Private Banking, dilansir Reuters.

Pada 2011 lalu, ketika PAP meraih suara populer hanya 60%, mereka langsung memperketat aturan perekrutan pekerja asing karena anak muda Singapura memang sangat sensitif terhadap hal itu. Generasi milenial juga sangat khawatir akan kehilangan prospek pekerjaan dan pendapatan karena banyaknya orang asing yang mendapatkan gaji tinggi.

Suksesi Dipercepat

Pemilu parlemen itu juga dibayangi rencana PM Lee untuk mengakhiri kekuasaan setelah satu periode pemerintahannya selesai. Namun, banyak analis memandang rencana sukses seperti akan dipercepat ketika melihat arah hasil pemilu parlemen tersebut. (Lihat videonya: Penjaga Masjid Lakukan Aksi Heroik Selamatkan Kotak Amal)

Calon pengganti PM Lee, Depurti PM Heng Swee Keat, juga disorot karena hanya memenangkan 53% suara di konstituensi. Itu merupakan ujian pertama popularitasnya, dan ternyata dia sangat tidak populer.

“Dukungan itu menunjukkan dia tidak mendapatkan dukungan kuat sebagai pemimpin baru,” kata Bridget Welsh, peneliti di Universitas Nottingham Asia. Welsh menyebut, Heng, 59, tidak memiliki kekuatan nasional saat kampanye dan bukan sebagai pemimpin generasi mendatang. (Andika H Mustaqim)
(ysw)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1174 seconds (0.1#10.140)