Seramnya Pameran 50.000 Bagian Tubuh Manusia yang Menguji Batas Etika

Senin, 13 Desember 2021 - 14:36 WIB
loading...
Seramnya Pameran 50.000 Bagian Tubuh Manusia yang Menguji Batas Etika
Museum di Wina, Austria, yang pajang sekitar 50.000 bagian tubuh manusia yang telah meninggal. Foto/WienTourismus/Paul Bauer
A A A
WINA - Hati yang besar dan membengkak. Bayi dengan kulit terkoyak. Kerangka cacat seorang gadis muda.

Itu adalah contoh dari 50.000 bagian tubuh manusia yang dipajang dalam pameran di Wina, Austria.

Itu adalah koleksi milik Natural History Museum Wina yang bergengsi. Pameran itu memberikan ujian baru kepada para kurator tentang bagaimana menampilkan harta karun besar sisa-sisa medis manusia, beberapa berasal dari lebih dari dua abad, tanpa melintasi garis merah modern etika.



Koleksi sekitar 50.000 bagian tubuh manusia pertama kali disusun pada tahun 1796 untuk membantu melatih mahasiswa kedokteran.

Di dunia sekarang ini, galeri-galeri mengerikan seperti itu menimbulkan pertanyaan rumit tentang apakah kepentingan publik melebihi masalah moral seperti martabat manusia, kekuasaan dan eksploitasi, dan persetujuan dari subjek-subjek yang telah lama mati dipajang untuk semua orang.

“Kami berusaha menghindari voyeurisme dengan memberikan penjelasan sebanyak mungkin,” kata kurator Eduard Winter, seraya menegaskan bahwa fotografi di dalam galeri tidak diperbolehkan.

Winter mengatakan dia berharap ketika pengunjung museum dihadapkan dengan "hati seberat 30 kilogram...mereka akan menyadari apa yang dapat dilakukan alkohol terhadap tubuh manusia".

Pengunjung yang penasaran juga dapat mempelajari tentang efek virus pada tubuh atau seperti apa luka bakar pada pembuluh darah. Mereka dapat mengintip organ, tengkorak, dan bagian tubuh manusia—pameran yang dibatasi oleh beberapa negara lain untuk peneliti.

Bagi para pendukungnya, pendidikan seputar penyelidikan ilmiah penyakit dan kesehatan manusia berarti akses ke koleksi adalah untuk kepentingan umum.

“Setiap orang akan menghadapi penyakit suatu hari nanti,” kata direktur pameran Katrin Vohland, seperti dikutip AFP, Senin (13/12/2021).

“Beberapa orang datang karena mereka sendiri terpengaruh oleh masalah kesehatan tertentu, sementara yang lain ingin tahu lebih banyak tentang bagaimana sains telah berkembang,” imbuh dia.



Pameran dibuka kembali untuk umum pada bulan September, dengan hanya sebagian dari koleksi patologi anatomi terbesar di dunia yang dapat diakses publik dipajang di museum yang telah direnovasi.

“Saya tahu pameran sebelumnya, tetapi yang sekarang jauh lebih siap, karena semuanya dijelaskan, ada lebih banyak informasi,” kata guru biologi Christian Behavy kepada AFP selama kunjungan baru-baru ini ke museum tersebut.

Behavy, yang memimpin sekelompok remaja di sekitar museum, mengatakan bahwa kelasnya dapat mengambil informasi lebih baik dari pameran ketimbang dari buku pelajaran.

Namun demikian, beberapa siswa tampak terkejut dengan apa yang mereka lihat—kerangka gadis dengan hidrosefalus, misalnya, atau tubuh bayi yang diawetkan dengan luka robek di kulit.

Sisa-sisa manusia telah menjadi bagian dari pameran semacam itu di Eropa sejak akhir abad ke-16 ketika mumi Mesir pertama kali dipamerkan.

Namun menurut Marie Cornu, direktur penelitian di lembaga CNRS Prancis dan pakar hukum properti yang berkaitan dengan artefak budaya, awal 2000-an melihat “tingkat kesadaran baru” tentang masalah ini.

Perdebatan itu dipicu oleh tuntutan Afrika Selatan untuk pemulangan jenazah Saartjie Baartman, seorang wanita dari suku Khoisan yang diarak untuk pertunjukan di Eropa pada abad ke-19.

Setelah kematiannya, tubuhnya dibedah dan kerangka, tengkorak, dan alat kelaminnya dipajang di Museum Manusia Paris hingga 1974.

Kontroversi juga seputar plastisisasi sisa-sisa manusia yang ditampilkan dalam pameran komersial blockbuster pada pertengahan 2000-an, dengan beberapa kota melarang pertunjukan tersebut dengan alasan bahwa penyelenggara tidak dapat memverifikasi persetujuan yang memadai dan asal bagian tubuh.

"Hanya dalam 20 tahun terakhir institusi mulai bertanya pada diri sendiri," kata Cornu.

Untuk membantu diskusi semacam itu, Dewan Museum Internasional telah menyusun kode etik yang menetapkan bahwa sisa-sisa manusia harus diperoleh hanya jika mereka dapat ditempatkan dengan aman dan dirawat dengan hormat.

Hal ini juga harus dilakukan dengan memperhatikan kepentingan dan keyakinan masyarakat asal.

Herwig Czech, profesor sejarah kedokteran di Universitas Wina, mengatakan bahwa hari ini tidak terpikirkan untuk seseorang meninggal di rumah sakit dan kemudian muncul kembali di sebuah pameran.

Eloise Quetel, kepala koleksi medis di Universitas Sorbonne Paris, juga harus bergulat dengan etika tampilan semacam itu dan berpikir bahwa mereka tidak dapat ditampilkan seperti sebelumnya.

"Pengunjung perlu diberi tahu mengapa koleksi ini disatukan dan dilestarikan," ujarnya.

Sementara pameran Wina tidak menimbulkan banyak pertanyaan pelik yang berkaitan dengan kolonialisme seperti yang terjadi di negara-negara Eropa lainnya, Vohland mengatakan harus berhati-hati agar tidak ada yang diperoleh secara ilegal dan untuk mengetahui konteks di mana spesimen tiba.

“Sangat penting untuk mengetahui apa yang bisa kami tunjukkan kepada publik," katanya.
(min)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2004 seconds (0.1#10.140)