Para Orang Tua di Timur Tengah Tak Sabar Joe Biden Dilantik
Selasa, 19 Januari 2021 - 15:02 WIB
DAMASKUS - Seorang ibu asal Suriah tengah menghitung hari pelantikan Presiden Amerika Serikat (AS) terpilih Joe Biden . Dahouk Idriss tidak sabar menunggu Biden dilantik pada Rabu mendatang. Ini akan mengakhiri kerinduannya untuk bertemu dengan putranya pertama kalinya dalam empat tahun.
Presiden AS terpilih, Joe Biden, telah berjanji bahwa pada hari pertamanya menjabat, dia akan membatalkan larangan perjalanan ke negara itu untuk warga yang berasal dari negara Muslim. Larangan itu diberlakukan oleh pendahulunya, Donald Trump .
"Saya menghitung hari sampai saya mendapatkan visa berikutnya," kata Idriss kepada AFP, sambil duduk di ruang tamunya yang nyaman di Damaskus, dikelilingi oleh foto-foto anak-anaknya yang jauh darinya dan mendiang suaminya.
Pensiunan guru kimia berusia enam puluhan tahun itu mengatakan ia mengunjungi putranya yang berusia 36 tahun dua kali setelah dia mulai belajar di Washington DC saat perang Suriah meletus pada 2011, sekali pada 2015 dan terakhir kali pada akhir 2016.
Tetapi setelah Trump mengambil alih Gedung Putih pada tahun 2017, ia melarang akses ke Amerika Serikat untuk semua pelancong dari Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, Suriah dan Yaman. Larangan ini memicu kemarahan dunia internasional dan mengarahkan perlawanan ke keputusan pengadilan domestik yang menentangnya.
Irak dan Sudan dicabut dari daftar, tetapi pada 2018 Mahkamah Agung AS menguatkan versi yang lebih baru atas larangan untuk Iran, Libya, Somalia, Suriah dan Yaman - serta Korea Utara (Korut) dan Venezuela.
Idriss mengecam larangan itu sebagai "keterlaluan".
“Ribuan ibu seperti saya di seluruh dunia hanya memiliki satu keinginan, yaitu bertemu kembali dengan anak-anak mereka,” tegasnya seperti dikutip dari France24, Selasa (19/1/2021).
Perjalanan ke negara mana pun dari Suriah menjadi semakin sulit sejak perang meletus karena banyak negara memutuskan hubungan dengan Damaskus.
Mendapatkan visa sering kali membutuhkan perjalanan ke kedutaan di negara tetangga, yang menjadi lebih sulit dengan adanya pembatasan COVID-19 .
Tetapi Idriss, yang juga berjuang untuk mengunjungi putrinya di Uni Emirat Arab (UEA), mengatakan dia akan melewati banyak rintangan yang diperlukan untuk melihat putranya lagi.
"Saya akan pergi ke negara mana pun untuk menyerahkan dokumen saya segera setelah mereka mulai menerima aplikasi," ujarnya.
Di bagian lain Damaskus, Lamees Jadeed yang berusia 79 tahun mengatakan dia juga berharap Biden akan menepati janjinya.
"Sudah lebih dari empat tahun sejak terakhir kali saya melihat putri saya," katanya. "Aku takut mati sendiri tanpa melihatnya," imbuhnya.
"Saya mungkin lebih tidak sabar untuk Biden menjadi presiden daripada dirinya sendiri," cetusnya.
Putrinya Jadeed, Nawwar (38), melakukan perjalanan ke Amerika Serikat dengan beasiswa pada akhir 2015. Sejak saat itu, dia mengajukan permohonan suaka dan karenanya tidak dapat meninggalkan negara itu.
Jadeed mengatakan dia melakukan perjalanan sekali ke Lebanon pada 2018 untuk meminta visa di kedutaan AS di sana, tetapi ditolak.
Di tempat lain di Timur Tengah , orang tua lain juga menunggu dengan "napas tertahan".
Di ibu kota Libya, Tripoli, Mariam dan Abdelhadi Reda, keduanya berusia akhir tujuh puluhan, mengatakan mereka tidak sabar untuk melihat ketiga cucu mereka lagi.
Sejak pelarangan diberlakukan pada 2017, mereka berhasil bersatu kembali di Turki, dengan biaya besar karena tiket penerbangan ekstra dan tagihan hotel.
"Larangan bepergian ini sangat tidak adil dan sama sekali tidak dapat dibenarkan," kata Mariam, seorang pensiunan guru bahasa Inggris.
Putri mereka Elham (49), yang bekerja sebagai perawat, tinggal bersama keluarganya di Detroit, Michigan.
Dia lahir di Amerika Serikat setelah orang tuanya pergi ke sana untuk belajar dengan beasiswa dari pemerintah Libya ketika mereka masih muda.
"Saya merindukan Amerika," kata Mariam di Tripoli. "Kami memiliki kenangan yang sangat indah dan teman-teman lama dari tahun-tahun kuliah kami yang kami lihat setiap kali kami kembali," tuturnya.
Di Iran, seorang pensiunan bidan Mahnaz (62) menceritakan bagaimana dia tidak diizinkan pada 2018 berada di samping tempat tidur putrinya, Neda, ketika dia melahirkan anak pertamanya di Los Angeles.
"Itu adalah cucu pertama saya. Saya telah menunggu untuk menjalani momen ini bersama putri saya. Betapa saya telah memimpikannya, dan membuat rencana," ungkapnya.
Dengan tidak adanya kedutaan besar AS di Teheran setelah kedua negara memutuskan hubungan diplomatik pada 1979, dia melakukan perjalanan ke negara tetangga Armenia, berharap bisa mendapatkan pengecualian dari larangan tersebut.
"Saya bahkan memberikan sepucuk surat yang ditulis oleh seorang psikolog Amerika yang mengatakan bahwa putri saya membutuhkan dukungan emosional," katanya.
Namun meski ada janji dari seorang pegawai kedutaan yang mengerti akan keadaannya, permintaannya tetap ditolak.
Dia tidak bertemu cucunya, Kian, sampai sembilan bulan kemudian ketika putrinya kembali ke Teheran untuk berkunjung.
"Larangan ini telah mencabik-cabik begitu banyak keluarga," ujar Mahnaz.
"Orang yang memerintahkan ini bukanlah orang normal dan sama sekali tidak menghargai konsekuensi kemanusiaan dari keputusannya," katanya.
"Saya tidak sabar menunggu Biden datang dan membatalkan undang-undang ini," pungkasnya dengan antusias.
Presiden AS terpilih, Joe Biden, telah berjanji bahwa pada hari pertamanya menjabat, dia akan membatalkan larangan perjalanan ke negara itu untuk warga yang berasal dari negara Muslim. Larangan itu diberlakukan oleh pendahulunya, Donald Trump .
"Saya menghitung hari sampai saya mendapatkan visa berikutnya," kata Idriss kepada AFP, sambil duduk di ruang tamunya yang nyaman di Damaskus, dikelilingi oleh foto-foto anak-anaknya yang jauh darinya dan mendiang suaminya.
Pensiunan guru kimia berusia enam puluhan tahun itu mengatakan ia mengunjungi putranya yang berusia 36 tahun dua kali setelah dia mulai belajar di Washington DC saat perang Suriah meletus pada 2011, sekali pada 2015 dan terakhir kali pada akhir 2016.
Tetapi setelah Trump mengambil alih Gedung Putih pada tahun 2017, ia melarang akses ke Amerika Serikat untuk semua pelancong dari Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, Suriah dan Yaman. Larangan ini memicu kemarahan dunia internasional dan mengarahkan perlawanan ke keputusan pengadilan domestik yang menentangnya.
Irak dan Sudan dicabut dari daftar, tetapi pada 2018 Mahkamah Agung AS menguatkan versi yang lebih baru atas larangan untuk Iran, Libya, Somalia, Suriah dan Yaman - serta Korea Utara (Korut) dan Venezuela.
Idriss mengecam larangan itu sebagai "keterlaluan".
“Ribuan ibu seperti saya di seluruh dunia hanya memiliki satu keinginan, yaitu bertemu kembali dengan anak-anak mereka,” tegasnya seperti dikutip dari France24, Selasa (19/1/2021).
Perjalanan ke negara mana pun dari Suriah menjadi semakin sulit sejak perang meletus karena banyak negara memutuskan hubungan dengan Damaskus.
Mendapatkan visa sering kali membutuhkan perjalanan ke kedutaan di negara tetangga, yang menjadi lebih sulit dengan adanya pembatasan COVID-19 .
Tetapi Idriss, yang juga berjuang untuk mengunjungi putrinya di Uni Emirat Arab (UEA), mengatakan dia akan melewati banyak rintangan yang diperlukan untuk melihat putranya lagi.
"Saya akan pergi ke negara mana pun untuk menyerahkan dokumen saya segera setelah mereka mulai menerima aplikasi," ujarnya.
Di bagian lain Damaskus, Lamees Jadeed yang berusia 79 tahun mengatakan dia juga berharap Biden akan menepati janjinya.
"Sudah lebih dari empat tahun sejak terakhir kali saya melihat putri saya," katanya. "Aku takut mati sendiri tanpa melihatnya," imbuhnya.
"Saya mungkin lebih tidak sabar untuk Biden menjadi presiden daripada dirinya sendiri," cetusnya.
Putrinya Jadeed, Nawwar (38), melakukan perjalanan ke Amerika Serikat dengan beasiswa pada akhir 2015. Sejak saat itu, dia mengajukan permohonan suaka dan karenanya tidak dapat meninggalkan negara itu.
Jadeed mengatakan dia melakukan perjalanan sekali ke Lebanon pada 2018 untuk meminta visa di kedutaan AS di sana, tetapi ditolak.
Di tempat lain di Timur Tengah , orang tua lain juga menunggu dengan "napas tertahan".
Di ibu kota Libya, Tripoli, Mariam dan Abdelhadi Reda, keduanya berusia akhir tujuh puluhan, mengatakan mereka tidak sabar untuk melihat ketiga cucu mereka lagi.
Sejak pelarangan diberlakukan pada 2017, mereka berhasil bersatu kembali di Turki, dengan biaya besar karena tiket penerbangan ekstra dan tagihan hotel.
"Larangan bepergian ini sangat tidak adil dan sama sekali tidak dapat dibenarkan," kata Mariam, seorang pensiunan guru bahasa Inggris.
Putri mereka Elham (49), yang bekerja sebagai perawat, tinggal bersama keluarganya di Detroit, Michigan.
Dia lahir di Amerika Serikat setelah orang tuanya pergi ke sana untuk belajar dengan beasiswa dari pemerintah Libya ketika mereka masih muda.
"Saya merindukan Amerika," kata Mariam di Tripoli. "Kami memiliki kenangan yang sangat indah dan teman-teman lama dari tahun-tahun kuliah kami yang kami lihat setiap kali kami kembali," tuturnya.
Di Iran, seorang pensiunan bidan Mahnaz (62) menceritakan bagaimana dia tidak diizinkan pada 2018 berada di samping tempat tidur putrinya, Neda, ketika dia melahirkan anak pertamanya di Los Angeles.
"Itu adalah cucu pertama saya. Saya telah menunggu untuk menjalani momen ini bersama putri saya. Betapa saya telah memimpikannya, dan membuat rencana," ungkapnya.
Dengan tidak adanya kedutaan besar AS di Teheran setelah kedua negara memutuskan hubungan diplomatik pada 1979, dia melakukan perjalanan ke negara tetangga Armenia, berharap bisa mendapatkan pengecualian dari larangan tersebut.
"Saya bahkan memberikan sepucuk surat yang ditulis oleh seorang psikolog Amerika yang mengatakan bahwa putri saya membutuhkan dukungan emosional," katanya.
Namun meski ada janji dari seorang pegawai kedutaan yang mengerti akan keadaannya, permintaannya tetap ditolak.
Dia tidak bertemu cucunya, Kian, sampai sembilan bulan kemudian ketika putrinya kembali ke Teheran untuk berkunjung.
"Larangan ini telah mencabik-cabik begitu banyak keluarga," ujar Mahnaz.
"Orang yang memerintahkan ini bukanlah orang normal dan sama sekali tidak menghargai konsekuensi kemanusiaan dari keputusannya," katanya.
"Saya tidak sabar menunggu Biden datang dan membatalkan undang-undang ini," pungkasnya dengan antusias.
(ber)
tulis komentar anda