Demokrasi AS Mundur
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Aksi penyerbuan Gedung Capitol Amerika Serikat (AS) oleh ratusan pendukung Presiden Donald Trump hingga menyebabkan empat orang tewas kemarin mencoreng demokrasi di negeri tersebut. Serangan itu tercatat yang terburuk dalam 200 tahun terakhir.
Sebanyak 52 warga ditangkap akibat penyerbuan ini. Demonstran menggeruduk Gedung Capitol untuk menghentikan Kongres mensertifikasi kemenangan Presiden terpilih Joe Biden . Para demonstran memaksa masuk setelah menghancurkan barikade keamanan, memecah jendela dan menjajat dinding. Saat insiden penyerangan, beberapa anggota Kongres berada di dalam gedung.
Para demonstran menggebrak pintu dan memaksa penundaan debat konfirmasi debat sertifaksi suara elektoral. Petugas keamanan menutup pintu dan membantu mengamankan anggota parlemen. Selepas insiden yang memilukan itu, para anggota Kongres kembali melanjutkan sidang sertifikasi electoral college yang sempat tertunda selama beberapa jam.
(Baca juga: Situasi Gedung Capitol Chaos, Trump Dituduh Berupaya Kudeta )
Serangan terhadap Gedung Capitol merupakan puncak dari retorika perpecahan dan penolakan hasil pemilu presiden 3 November 2020 lalu yang dilakukan Trump. Beberapa bulan terakhir, Trump selalu menyampaikan bahwa proses pemilu curang dan dia selalu meminta para pendukungnya untuk membalikkan kekalahannya. Trump juga selalu menolak transfer kekuasaan kepada Biden.
Insiden penyerangan tersebut juga tak lepas ulah Trump yang menyerukan kepada pendukungnya agar berdemonstrasi ke Capitol untuk mengekspresikan kemarahan mereka terhadap proses pemilu. "Saya tahu kamu akan ke Gedung Capitol secara damai dan berusaha agar suaramu terdengar,” papar Trump.
Pengamat Politik AS Universitas Paramadina Jakarta Abdul Malik Gismar menilai kekacauan ekstrem tersebut menjadi fenomena yang mencoreng demokrasi. Apalagi, Negeri Paman Sam telah dikenal sebagai negara demokrasi yang sudah mapan hingga ratusan tahun. Jauh melebihi Indonesia. "Ini krisis demokrasi yang serius, krisis politik di Amerika. Karena kisruhnya itu inkonstitusional sampai di dalam gedung. Bahkan, lebih parah daripada di jalanan," kata Malik, kemarin.
(Baca juga: Facebook dan Instagram Juga Bekukan Akun Presiden Donald Trump Selama 24 Jam )
Menurutnya, fenomena tersebut bisa menimbulkan public distrust atau ketidakpercayaan publik karena sebagian besar pendukung Trump kurang percaya dengan hasil pemilu. Malik mengatakan kekisruhan itu menjadi bukti bahwa demokrasi tidak bisa taken for granted atau tidak bisa dinilai akan selalu berjalan dengan mulus.
Malik menyebut yang dilakukan Trump dan pendukungnya adalah sebagai bentuk pemberontakan (insurrection) dan tujuannya lebih pada mengambil alih kekuasaan atau kudeta. Dia menilai ada beberapa tokoh penting di balik kekacauan politik itu seperti anggota kongres dan senator guna memanfaatkan simpati pendukung Trump. Parahnya lagi, mereka menolak hasil pemilu yang sudah diakui dan disertifikasi oleh 52 negara bagian.
Sebanyak 52 warga ditangkap akibat penyerbuan ini. Demonstran menggeruduk Gedung Capitol untuk menghentikan Kongres mensertifikasi kemenangan Presiden terpilih Joe Biden . Para demonstran memaksa masuk setelah menghancurkan barikade keamanan, memecah jendela dan menjajat dinding. Saat insiden penyerangan, beberapa anggota Kongres berada di dalam gedung.
Para demonstran menggebrak pintu dan memaksa penundaan debat konfirmasi debat sertifaksi suara elektoral. Petugas keamanan menutup pintu dan membantu mengamankan anggota parlemen. Selepas insiden yang memilukan itu, para anggota Kongres kembali melanjutkan sidang sertifikasi electoral college yang sempat tertunda selama beberapa jam.
(Baca juga: Situasi Gedung Capitol Chaos, Trump Dituduh Berupaya Kudeta )
Serangan terhadap Gedung Capitol merupakan puncak dari retorika perpecahan dan penolakan hasil pemilu presiden 3 November 2020 lalu yang dilakukan Trump. Beberapa bulan terakhir, Trump selalu menyampaikan bahwa proses pemilu curang dan dia selalu meminta para pendukungnya untuk membalikkan kekalahannya. Trump juga selalu menolak transfer kekuasaan kepada Biden.
Insiden penyerangan tersebut juga tak lepas ulah Trump yang menyerukan kepada pendukungnya agar berdemonstrasi ke Capitol untuk mengekspresikan kemarahan mereka terhadap proses pemilu. "Saya tahu kamu akan ke Gedung Capitol secara damai dan berusaha agar suaramu terdengar,” papar Trump.
Pengamat Politik AS Universitas Paramadina Jakarta Abdul Malik Gismar menilai kekacauan ekstrem tersebut menjadi fenomena yang mencoreng demokrasi. Apalagi, Negeri Paman Sam telah dikenal sebagai negara demokrasi yang sudah mapan hingga ratusan tahun. Jauh melebihi Indonesia. "Ini krisis demokrasi yang serius, krisis politik di Amerika. Karena kisruhnya itu inkonstitusional sampai di dalam gedung. Bahkan, lebih parah daripada di jalanan," kata Malik, kemarin.
(Baca juga: Facebook dan Instagram Juga Bekukan Akun Presiden Donald Trump Selama 24 Jam )
Menurutnya, fenomena tersebut bisa menimbulkan public distrust atau ketidakpercayaan publik karena sebagian besar pendukung Trump kurang percaya dengan hasil pemilu. Malik mengatakan kekisruhan itu menjadi bukti bahwa demokrasi tidak bisa taken for granted atau tidak bisa dinilai akan selalu berjalan dengan mulus.
Malik menyebut yang dilakukan Trump dan pendukungnya adalah sebagai bentuk pemberontakan (insurrection) dan tujuannya lebih pada mengambil alih kekuasaan atau kudeta. Dia menilai ada beberapa tokoh penting di balik kekacauan politik itu seperti anggota kongres dan senator guna memanfaatkan simpati pendukung Trump. Parahnya lagi, mereka menolak hasil pemilu yang sudah diakui dan disertifikasi oleh 52 negara bagian.