Demokrasi AS Mundur

Jum'at, 08 Januari 2021 - 06:00 WIB
loading...
Demokrasi AS Mundur
Kerusuhan di Gedung Capitol AS yang menyebabkan tewasnya peserta aksi demo dikecam sejumlah kalangan. Peristiwa ini dianggap sebagai kemunduran demokrasi AS. FOTO/KORAN SINDO
A A A
WASHINGTON - Aksi penyerbuan Gedung Capitol Amerika Serikat (AS) oleh ratusan pendukung Presiden Donald Trump hingga menyebabkan empat orang tewas kemarin mencoreng demokrasi di negeri tersebut. Serangan itu tercatat yang terburuk dalam 200 tahun terakhir.

Sebanyak 52 warga ditangkap akibat penyerbuan ini. Demonstran menggeruduk Gedung Capitol untuk menghentikan Kongres mensertifikasi kemenangan Presiden terpilih Joe Biden . Para demonstran memaksa masuk setelah menghancurkan barikade keamanan, memecah jendela dan menjajat dinding. Saat insiden penyerangan, beberapa anggota Kongres berada di dalam gedung.

Para demonstran menggebrak pintu dan memaksa penundaan debat konfirmasi debat sertifaksi suara elektoral. Petugas keamanan menutup pintu dan membantu mengamankan anggota parlemen. Selepas insiden yang memilukan itu, para anggota Kongres kembali melanjutkan sidang sertifikasi electoral college yang sempat tertunda selama beberapa jam.

(Baca juga: Situasi Gedung Capitol Chaos, Trump Dituduh Berupaya Kudeta )

Serangan terhadap Gedung Capitol merupakan puncak dari retorika perpecahan dan penolakan hasil pemilu presiden 3 November 2020 lalu yang dilakukan Trump. Beberapa bulan terakhir, Trump selalu menyampaikan bahwa proses pemilu curang dan dia selalu meminta para pendukungnya untuk membalikkan kekalahannya. Trump juga selalu menolak transfer kekuasaan kepada Biden.

Insiden penyerangan tersebut juga tak lepas ulah Trump yang menyerukan kepada pendukungnya agar berdemonstrasi ke Capitol untuk mengekspresikan kemarahan mereka terhadap proses pemilu. "Saya tahu kamu akan ke Gedung Capitol secara damai dan berusaha agar suaramu terdengar,” papar Trump.

Pengamat Politik AS Universitas Paramadina Jakarta Abdul Malik Gismar menilai kekacauan ekstrem tersebut menjadi fenomena yang mencoreng demokrasi. Apalagi, Negeri Paman Sam telah dikenal sebagai negara demokrasi yang sudah mapan hingga ratusan tahun. Jauh melebihi Indonesia. "Ini krisis demokrasi yang serius, krisis politik di Amerika. Karena kisruhnya itu inkonstitusional sampai di dalam gedung. Bahkan, lebih parah daripada di jalanan," kata Malik, kemarin.

(Baca juga: Facebook dan Instagram Juga Bekukan Akun Presiden Donald Trump Selama 24 Jam )

Menurutnya, fenomena tersebut bisa menimbulkan public distrust atau ketidakpercayaan publik karena sebagian besar pendukung Trump kurang percaya dengan hasil pemilu. Malik mengatakan kekisruhan itu menjadi bukti bahwa demokrasi tidak bisa taken for granted atau tidak bisa dinilai akan selalu berjalan dengan mulus.

Malik menyebut yang dilakukan Trump dan pendukungnya adalah sebagai bentuk pemberontakan (insurrection) dan tujuannya lebih pada mengambil alih kekuasaan atau kudeta. Dia menilai ada beberapa tokoh penting di balik kekacauan politik itu seperti anggota kongres dan senator guna memanfaatkan simpati pendukung Trump. Parahnya lagi, mereka menolak hasil pemilu yang sudah diakui dan disertifikasi oleh 52 negara bagian.

Akademisi yang pernah tinggal di AS lebih dari satu dasawarsa ini melihat kejadian tersebut menjadi pekerjaan rumah yang sangat besar bagi Joe Biden dalam menjalankan pemerintahan selama empat tahun ke depan. Banyak pendukung Trump diyakini tidak percaya akan kemenangan Biden.

(Baca juga: Kalangan Bisnis Desak Trump Segera Dipecat untuk Jaga Demokrasi )

Aksi kekerasan tersebut juga mendapatkan kecaman dari Joe Biden yang menyebut insiden tersebut sebagai pemberontakan. Para pemimpin dunia juga ikut bereaksi keras dan menyangkan insiden yang disebut sebagai serangan terhadap demokrasi. Pasar saham dan investor juga bereaksi bimbang melihat fenomena kekerasan berbasis politik populis dan retorika penuh kebencian yang digaungkan Trump.

Sejumlah pemimpin dunia menyuarakan bahwa transisi kekuasaan yang aman dan lancar harus diwujudkan di AS. Mereka juga mengungkapkan bahwa aksi para demonstran itu dianggap sebagai serangan terhadap demokrasi. Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson menyebutnya sebagai pemandangan yang memalukan. “AS merepresentasikan demokrasi di seluruh dunia dan sekarang sangat penting adanya transfer kekuasaan yang damai dan tertib,” ungkapnya.

Pemimpin Skotlandia, Nicola Sturgeon, menyatakan pemandangan dari Gedung Capitol "benar-benar mengerikan". “Sungguh memalukan orang yang memicu serangan terhadap demokrasi,” katanya.

PM Spanyol Pedro Sanchez juga ikut bersuara dan menebar optimisme tentang pemerintahan AS mendatang. "Saya percaya pada kekuatan demokrasi AS. Kepresidenan baru Joe Biden akan mengatasi tahap yang menegangkan ini, menyatukan rakyat Amerika,” kata Sanchez.

Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Yves Le Drian, mengecam serangan mengerikan terhadap demokrasi. Sementara, Menteri Luar Negeri Jerman, Heiko Maas, mengatakan Trump dan pendukungnya harus menerima keputusan akhir para pemilih AS. “Trump dan pendukungnya harus berhenti menginjak-injak demokrasi,” paparnya.

Presiden Dewan Eropa, Charles Michel, mengatakan dirinya mempercayai AS untuk memastikan transfer kekuasaan secara damai kepada Biden. Sekretaris Jenderal Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), Jens Stoltenberg, turut bersuara dengan mengatakan bahwa hasil pemilihan "harus dihormati".

Bahkan PM Kanada Justin Trudeu mengatakan warga Kanada sangat terganggu dan sedih dengan serangan terhadap demokrasi. "Kekerasan tidak akan pernah berhasil mengesampingkan keinginan rakyat. Demokrasi di AS harus ditegakkan, dan itu akan berhasil," harapnya.

Sebagai aliansi utama AS di Asia dan Pasifik, PM Australia Scott Morrison juga mengecam aksi yang menyedihkan itu. “Saya menantikan transfer kekuasaan secara damai,” ujarnya. Kementerian Luar Negeri Turki mengatakan pihaknya mengajak semua pihak di AS untuk berperilaku dengan mengendalikan diri dan akal sehat.

(Baca juga: Anggota Kongres AS Kembali Bersidang, Sahkan Kemenangan Pemilu Biden )

Bawa Senjata Tak Berizin
Kepala Departemen Polisi Metropolitan Robert J Contee mengatakan, 47dari 52 demonstran yang ditangkap karena melanggar jam malam yang diberlakukan Wali Kota Muriel Bowser. Sebanyak 26 dari 52 orang yang ditangkap diketahui terlibat kekerasan di Gedung Capitol. Beberapa orang yang ditangkap karena membawa senjata tanpa izin.

Contee juga mengatakan, polisi mengamankan dua bom pipa dari kantor komite nasional Republik dan Demokrat. Polisi juga menahan mobil pendingin berisi bom Molotov di Gedung Capitol. Itu menunjukkan insiden kekerasan di Gedung Capitol memang direncanakan dengan baik. Sebanyak 14 polisi juga dilaporkan terluka, dan dua polisi di antaranya masih dirawat di rumah sakit.

Wali Kota Washington Muriel Bowser mengatakan satu perempuan yang tewas adalah bagian dari kelompok demonstran yang memasuk masuk Gedung Capitol. Mereka berhadapan dengan sejumlah petugas tak berseragam dan salah seorang petugas melepaskan tembakan.

Pada Rabu (6/1) malam, DPR dan Senat AS langsung melanjutkan debat sertifikasi kemenangan Biden yang dipimpin Wakil Presiden AS Mike Pence. Debat sertifikasi ini sempat tertunda beberapa jam dikarenakan polisi membutuhkan waktu selama lebih dari tiga jam untuk mengamankan dan mengusir para pendukung Trump di Gedung Capitol. Jaminan keamanan itu setelah Garda Nasional Washington DC telah dikerahkan dan adanya tambahan pasukan dari negara-negara bagian tetangga, seperti Virginia dan Maryland.

Mereka langsung mendiskusikan keberatan dari anggota parlemen Partai Republik yang berpihak kepada Trump. Sebagian keberatan kubu pro-Trump justru ditolak sebagian besar anggota Kongres dari Partai Republik.

Senat menolak keberatan Partai Republik dengan pemungutan suara 93 melawan 6 suara untuk mensertifikasi kemenangan Biden di negara bagian Arizona. Di DPR yang dikuasai Demokrat, keberatan itu juga ditolak dengan pemungutan suara 303 melawan 121 suara.

Pence mengungkapkan insiden penyerbuan Gedung Capitol sebagai hari yang kelam dalam sejarah Capitol AS. “Untuk Anda yang melakukan kekacauan di Gedung Capitol hari ini, Anda tidak menang," kata Pence, dilansir Reuters.

Dia mengatakan, kekerasan tidak pernah menang, kebebasan berjaya dan Capitol masih rumah rakyat. “Selagi kami kembali berkumpul di ruangan ini, dunia akan menyaksikan lagi keteguhan dan kekuatan demokrasi kami bahkan setelah aksi kekerasan dan vandalisme yang belum pernah terjadi sebelumnya," ujarnya.

Pence meminta para pendukung Trump untuk meninggalkan gedung itu dan menghentikan kekerasan.

Ketua DPR dari Partai Demokrat Nancy Pelosi juga meminta para parlemen untuk kembali bekerja. Pelosi menyebut serangan ke Gedung Capitol sebagai serangan memalukan terhadap demokrasi. "Sekarang kita akan menjadi bagian dari potret negara kita yang memalukan ke dunia, yang dipicu oleh level tertinggi,” imbuhnya.

Menurut para pakar sejarah dari US Capitol Historical Society, serbuan ke Gedung Capitol kemarin adalah yang pertama sejak abad ke-19. Saat itu, pasukan Inggris pimpinan Laksamana Madya Sir Alexander Cockburn dan Mayor Jenderal Robert Ross membakar Gedung Capitol yang masih dalam tahap pembangunan ketika menginvasi Distrik Columbia pada Agustus 1814.
(ynt)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1653 seconds (0.1#10.140)