Hegemoni Teknologi China Ancam Negara-negara Demokrasi di Tahun Pemilu
loading...
A
A
A
Perusahaan keamanan siber lainnya, Record Future, telah mengidentifikasi kampanye media sosial serupa yang disponsori China untuk memecah belah pemilih AS dengan memanipulasi sentimen warga seputar topik hangat.
Topik-topik seperti ketidakadilan rasial, kebrutalan polisi, dan bantuan militer AS ke Ukraina dipandang penting dalam memecah belah pemilih dan menyebabkan perselisihan yang parah di antara para pemilih.
Meta, perusahaan induk Facebook dan Instagram, akhirnya melarang akun palsu asal China yang menyasar pemilih di kedua kubu politik AS.
Mengingat meningkatnya infiltrasi siber, perusahaan siber China menjadi jauh lebih canggih dalam pendekatan mereka dalam memengaruhi perilaku pemilih.
Namun, karena Kementerian Keamanan Publik China disebutkan secara terbuka dalam berbagai laporan, hal ini tetap menjadi rahasia umum yang menunjukkan keterlibatan langsung CCP dalam masalah tersebut.
Penggunaan teknologi untuk memengaruhi perilaku pemilih bukan hanya merupakan kekhawatiran yang dihadapi beberapa negara, tetapi juga oleh sejumlah negara yang mungkin tidak dianggap ramah oleh Beijing. Oleh karena itu, dominasi China di sektor-sektor tersebut harus menjadi perhatian bagi semua negara yang berpikiran sama yang memandang demokrasi sebagai sebuah sistem nilai dan bukan sekadar formalitas.
Kekhawatiran yang lebih mendesak seputar dominasi teknologi China adalah proliferasi teknologi pengawasan dan otoritarianisme digital.
Perusahaan-perusahaan teknologi China seperti Huawei, ZTE, dan Hikvision, mengekspor peralatan dan keahlian pengawasan ke negara-negara demokrasi dan rezim otoriter secara global, sehingga memungkinkan pemerintah yang represif untuk memantau dan menekan suara-suara yang berbeda pendapat.
Metode pengawasan dan infrastruktur digital ini menimbulkan ancaman serius terhadap pemilu yang bebas dan adil karena memungkinkan rezim untuk menargetkan lawan politik dan mereka yang berbeda pendapat.
Selain itu, semakin besarnya dominasi China dalam infrastruktur penting dan teknologi baru juga menimbulkan risiko sistemik terhadap integritas pemilu, yang pada akhirnya memperburuk nilai demokrasi negara tersebut.
Topik-topik seperti ketidakadilan rasial, kebrutalan polisi, dan bantuan militer AS ke Ukraina dipandang penting dalam memecah belah pemilih dan menyebabkan perselisihan yang parah di antara para pemilih.
Meta, perusahaan induk Facebook dan Instagram, akhirnya melarang akun palsu asal China yang menyasar pemilih di kedua kubu politik AS.
Mengingat meningkatnya infiltrasi siber, perusahaan siber China menjadi jauh lebih canggih dalam pendekatan mereka dalam memengaruhi perilaku pemilih.
Namun, karena Kementerian Keamanan Publik China disebutkan secara terbuka dalam berbagai laporan, hal ini tetap menjadi rahasia umum yang menunjukkan keterlibatan langsung CCP dalam masalah tersebut.
Demokrasi di Era Teknologi
Penggunaan teknologi untuk memengaruhi perilaku pemilih bukan hanya merupakan kekhawatiran yang dihadapi beberapa negara, tetapi juga oleh sejumlah negara yang mungkin tidak dianggap ramah oleh Beijing. Oleh karena itu, dominasi China di sektor-sektor tersebut harus menjadi perhatian bagi semua negara yang berpikiran sama yang memandang demokrasi sebagai sebuah sistem nilai dan bukan sekadar formalitas.
Kekhawatiran yang lebih mendesak seputar dominasi teknologi China adalah proliferasi teknologi pengawasan dan otoritarianisme digital.
Perusahaan-perusahaan teknologi China seperti Huawei, ZTE, dan Hikvision, mengekspor peralatan dan keahlian pengawasan ke negara-negara demokrasi dan rezim otoriter secara global, sehingga memungkinkan pemerintah yang represif untuk memantau dan menekan suara-suara yang berbeda pendapat.
Metode pengawasan dan infrastruktur digital ini menimbulkan ancaman serius terhadap pemilu yang bebas dan adil karena memungkinkan rezim untuk menargetkan lawan politik dan mereka yang berbeda pendapat.
Selain itu, semakin besarnya dominasi China dalam infrastruktur penting dan teknologi baru juga menimbulkan risiko sistemik terhadap integritas pemilu, yang pada akhirnya memperburuk nilai demokrasi negara tersebut.