Hegemoni Teknologi China Ancam Negara-negara Demokrasi di Tahun Pemilu
loading...
A
A
A
BEIJING - Tahun 2024 mungkin akan tercatat dalam sejarah sebagai tahun pemilu atau tahun demokrasi bagi banyak negara. Sejak Januari tahun ini, pemilu telah digelar di sejumlah negara, termasuk di Bangladesh, Pakistan, Taiwan dan juga Indonesia.
Sementara itu negara-negara demokrasi besar seperti Amerika Serikat (AS), India, Ukraina, Inggris, Afrika Selatan, dan lainnya akan menjalani perayaan pemilu di bulan-bulan mendatang sepanjang 2024.
Mengutip laporan dari The HK Post, Selasa (5/3/2024), banyak negara demokrasi menghadapi ancaman merugikan dari manipulasi dan campur tangan China dalam pemilu yang akan berlangsung tahun ini.
Dengan memproyeksikan perusahaan-perusahaan teknologi sebagai wajah dari kisah pertumbuhan China, Partai Komunis China (CCP) tidak hanya bertujuan meningkatkan posisi global mereka di sektor teknologi, namun juga secara strategis memposisikan perusahaan-perusahaan ini sebagai perpanjangan tangan mereka yang bekerja di berbagai negara.
Meningkatnya dominasi China di sektor teknologi global menimbulkan tantangan dan risiko signifikan terhadap negara-negara demokrasi, baik di dalam negeri maupun internasional.
Meningkatnya pengaruh teknologi yang dipimpin perusahaan-perusahaan China merupakan ancaman yang harus dipertimbangkan secara serius oleh semua negara demokratis, terutama mengingat sebagian besar negara-negara tersebut akan menggelar pemilu tahun ini.
Pengaruh teknologi global pimpinan raksasa teknologi China yang telah dipercaya CPC untuk mengambil alih sektor pengawasan global di seluruh dunia, perlahan tapi pasti semakin cepat dalam menetapkan standar global.
Perusahaan-perusahaan teknologi ini juga dikenal sangat dekat dengan CCP dan memainkan peran penting dalam mengembangkan dan menerapkan teknologi pengawasan di berbagai negara demokrasi.
Perusahaan-perusahaan internasional ini melalui praktik sistem pengenalan wajah, penilaian kredit sosial, dan alat sensor internet telah memanipulasi warga negara melalui berbagai media demi kepentingan strategis China. Teknologi semacam ini telah memungkinkan CCP memantau perilaku warga negara dan, lebih jauh lagi, memanipulasi preferensi pemilu mereka.
Selain itu, perusahaan teknologi China yang terlibat dalam pengumpulan dan analisis data ini telah mengumpulkan informasi ekstensif tentang preferensi pengguna dan afiliasi politik, sehingga menghasilkan kampanye iklan tertarget yang ditujukan kepada kelompok demografi tertentu untuk memengaruhi pola pemungutan suara mereka.
Hal ini juga telah dibuktikan oleh banyak analis yang menuduh raksasa teknologi China memungkinkan manipulasi informasi dan kampanye disinformasi berdasarkan pengumpulan data dari platform konsumen.
Dengan mengendalikan platform online dan menyensor konten, perusahaan-perusahaan ini selama bertahun-tahun telah membentuk opini publik dan menyebarkan propaganda pemerintah, bahkan hingga mendistorsi wacana demokrasi.
Strategi menonjol lainnya yang diterapkan CCP adalah pembelian pengaruh melalui perusahaan-perusahaan teknologi besar yang memiliki sumber daya ini. Dengan sumber daya keuangan yang besar, perusahaan-perusahaan ini telah memengaruhi pemilu melalui kontribusi kampanye, sumbangan kepada partai politik serta upaya lobi.
Perusahaan-perusahaan ini juga mendapatkan akses terhadap para pengambil keputusan politik dan telah mempengaruhi hasil kebijakan yang menguntungkan CCP.
Salah satu contoh yang menonjol adalah kasus Kenny Chiu, seorang anggota Parlemen Konservatif dari Kanada yang berupaya memperkenalkan RUU Pendaftaran Pengaruh Asing, yang mewajibkan semua warga negara untuk menyatakan sumber pendanaan asing mereka dari pemerintah internasional.
Anggota Parlemen yang kehilangan kursinya pada pemilu 2021 ini menyatakan bahwa dia menjadi sasaran khusus karena sikap tegasnya terhadap CCP, yang mewajibkan setiap warga negara untuk menyatakan pendanaannya dari CPC.
Dia kemudian mengaku menjadi target kampanye propaganda dan disinformasi CCP di WeChat dan platform media sosial terkemuka lainnya selama kampanye pemilu lalu yang menyebabkan kekalahannya, dan pada akhirnya dia melakukan pendekatan yang lebih lembut terhadap China.
Berbeda dengan perusahaan teknologi di Barat, perusahaan teknologi China selalu beroperasi dalam lingkungan peraturan yang membatasi dan memprioritaskan kontrol serta sensor negara dibandingkan kebebasan individu sebagai imbalan atas dukungan dan subsidi pemerintah.
Hubungan simbiosis antara pemerintah China dan raksasa teknologi di dalam dan luar negeri telah memungkinkan CCP memanfaatkan kemampuan teknologi untuk memanipulasi informasi, terutama selama pemilu.
Contoh terbaru bisa dilihat dari upaya China dalam memanipulasi pemilu Taiwan pada Januari lalu.
Menteri Luar Negeri Taiwan Joseph Wu mengungkapkan pada Januari, bahwa Beijing telah meluncurkan upaya signifikan untuk mempengaruhi hasil pemilu, yang terlihat dari seberapa tipis hasil penghitungan suara dalam upaya memenangkan kandidat pro-China.
CCP terkenal karena campur tangan mereka dalam politik Taiwan. Partai tersebut selama bertahun-tahun telah mengerahkan berbagai cara, termasuk serangan siber, kampanye disinformasi, dan sebagainya untuk mengubah jalannya proses pemilu yang bebas dan adil.
Menurut laporan terbaru Microsoft, akun media sosial China memainkan peran besar dalam menyebarkan berita palsu untuk mempengaruhi pola pemungutan suara.
Berdasarkan laporan tersebut, “kelompok elite di dalam Kementerian Keamanan Publik (China)” mengatur informasi yang salah serta berita palsu untuk mengubah jalannya hasil pemilu, sehingga sangat menguntungkan CCP.
Karena taktik seperti ini, Taiwan telah menjadi penerima terbesar disinformasi buatan asing, menurut kelompok pemantau yang juga mengindikasikan kuatnya kehadiran China dalam penyebaran informasi tersebut.
Namun Taiwan bukan satu-satunya korban dari metode China yang berbahaya bagi demokrasi di seluruh dunia. Perusahaan keamanan siber AS baru-baru ini mengetahui sejauh mana kehadiran China di platform media sosial.
Mandiant, sebuah perusahaan keamanan siber terkemuka menyatakan bahwa kelompok peretas bernama Dragonbridge telah menyusup ke platform media AS dan mempertanyakan “kemanjuran demokrasi” sembari menghasut pengguna untuk “membasmi sistem yang tidak efektif” demi kebaikan yang lebih besar.
Konten propaganda tersebut juga secara eksplisit meminta warga untuk menggunakan “kekerasan terhadap petugas polisi” untuk mencegah mereka melakukan proses tersebut.
Bentuk kampanye itu juga tercatat di media sosial X yang mengeklaim telah memblokir akun-akun yang menyebarkan konten kekerasan.
Perusahaan keamanan siber lainnya, Record Future, telah mengidentifikasi kampanye media sosial serupa yang disponsori China untuk memecah belah pemilih AS dengan memanipulasi sentimen warga seputar topik hangat.
Topik-topik seperti ketidakadilan rasial, kebrutalan polisi, dan bantuan militer AS ke Ukraina dipandang penting dalam memecah belah pemilih dan menyebabkan perselisihan yang parah di antara para pemilih.
Meta, perusahaan induk Facebook dan Instagram, akhirnya melarang akun palsu asal China yang menyasar pemilih di kedua kubu politik AS.
Mengingat meningkatnya infiltrasi siber, perusahaan siber China menjadi jauh lebih canggih dalam pendekatan mereka dalam memengaruhi perilaku pemilih.
Namun, karena Kementerian Keamanan Publik China disebutkan secara terbuka dalam berbagai laporan, hal ini tetap menjadi rahasia umum yang menunjukkan keterlibatan langsung CCP dalam masalah tersebut.
Penggunaan teknologi untuk memengaruhi perilaku pemilih bukan hanya merupakan kekhawatiran yang dihadapi beberapa negara, tetapi juga oleh sejumlah negara yang mungkin tidak dianggap ramah oleh Beijing. Oleh karena itu, dominasi China di sektor-sektor tersebut harus menjadi perhatian bagi semua negara yang berpikiran sama yang memandang demokrasi sebagai sebuah sistem nilai dan bukan sekadar formalitas.
Kekhawatiran yang lebih mendesak seputar dominasi teknologi China adalah proliferasi teknologi pengawasan dan otoritarianisme digital.
Perusahaan-perusahaan teknologi China seperti Huawei, ZTE, dan Hikvision, mengekspor peralatan dan keahlian pengawasan ke negara-negara demokrasi dan rezim otoriter secara global, sehingga memungkinkan pemerintah yang represif untuk memantau dan menekan suara-suara yang berbeda pendapat.
Metode pengawasan dan infrastruktur digital ini menimbulkan ancaman serius terhadap pemilu yang bebas dan adil karena memungkinkan rezim untuk menargetkan lawan politik dan mereka yang berbeda pendapat.
Selain itu, semakin besarnya dominasi China dalam infrastruktur penting dan teknologi baru juga menimbulkan risiko sistemik terhadap integritas pemilu, yang pada akhirnya memperburuk nilai demokrasi negara tersebut.
Kontrol atas kehadiran media sosial serta modulasi konten telah memberikan aktor China kemampuan untuk mengganggu proses pemilu melalui serangan siber dan kampanye misinformasi yang merusak kedaulatan dan keamanan negara-negara demokratis.
Pemilu mendatang di Amerika Serikat dan India berada dalam pengawasan serius mengingat kedua negara tersebut sama-sama cenderung bermusuhan dengan China.
Dominasi teknologi China menimbulkan ancaman multidimensi terhadap pemilu di seluruh dunia, melemahkan prinsip-prinsip demokrasi sekaligus memperkuat ketegangan geopolitik yang dapat menimbulkan konsekuensi global yang signifikan.
Untuk menjaga demokrasi di era teknologi, upaya kolektif mungkin merupakan satu-satunya respons tepat terhadap strategi China.
Kegagalan mengatasi bahaya dominasi teknologi China akan membahayakan sifat demokrasi secara keseluruhan dan nilai-nilai dunia demokrasi, sehingga juga membahayakan landasan pemerintahan demokratis serta membahayakan masa depan tatanan internasional yang damai.
Sementara itu negara-negara demokrasi besar seperti Amerika Serikat (AS), India, Ukraina, Inggris, Afrika Selatan, dan lainnya akan menjalani perayaan pemilu di bulan-bulan mendatang sepanjang 2024.
Mengutip laporan dari The HK Post, Selasa (5/3/2024), banyak negara demokrasi menghadapi ancaman merugikan dari manipulasi dan campur tangan China dalam pemilu yang akan berlangsung tahun ini.
Dengan memproyeksikan perusahaan-perusahaan teknologi sebagai wajah dari kisah pertumbuhan China, Partai Komunis China (CCP) tidak hanya bertujuan meningkatkan posisi global mereka di sektor teknologi, namun juga secara strategis memposisikan perusahaan-perusahaan ini sebagai perpanjangan tangan mereka yang bekerja di berbagai negara.
Meningkatnya dominasi China di sektor teknologi global menimbulkan tantangan dan risiko signifikan terhadap negara-negara demokrasi, baik di dalam negeri maupun internasional.
Meningkatnya pengaruh teknologi yang dipimpin perusahaan-perusahaan China merupakan ancaman yang harus dipertimbangkan secara serius oleh semua negara demokratis, terutama mengingat sebagian besar negara-negara tersebut akan menggelar pemilu tahun ini.
Metode dan Praktik Manipulasi Pemilu oleh China
Pengaruh teknologi global pimpinan raksasa teknologi China yang telah dipercaya CPC untuk mengambil alih sektor pengawasan global di seluruh dunia, perlahan tapi pasti semakin cepat dalam menetapkan standar global.
Perusahaan-perusahaan teknologi ini juga dikenal sangat dekat dengan CCP dan memainkan peran penting dalam mengembangkan dan menerapkan teknologi pengawasan di berbagai negara demokrasi.
Perusahaan-perusahaan internasional ini melalui praktik sistem pengenalan wajah, penilaian kredit sosial, dan alat sensor internet telah memanipulasi warga negara melalui berbagai media demi kepentingan strategis China. Teknologi semacam ini telah memungkinkan CCP memantau perilaku warga negara dan, lebih jauh lagi, memanipulasi preferensi pemilu mereka.
Selain itu, perusahaan teknologi China yang terlibat dalam pengumpulan dan analisis data ini telah mengumpulkan informasi ekstensif tentang preferensi pengguna dan afiliasi politik, sehingga menghasilkan kampanye iklan tertarget yang ditujukan kepada kelompok demografi tertentu untuk memengaruhi pola pemungutan suara mereka.
Hal ini juga telah dibuktikan oleh banyak analis yang menuduh raksasa teknologi China memungkinkan manipulasi informasi dan kampanye disinformasi berdasarkan pengumpulan data dari platform konsumen.
Dengan mengendalikan platform online dan menyensor konten, perusahaan-perusahaan ini selama bertahun-tahun telah membentuk opini publik dan menyebarkan propaganda pemerintah, bahkan hingga mendistorsi wacana demokrasi.
Strategi menonjol lainnya yang diterapkan CCP adalah pembelian pengaruh melalui perusahaan-perusahaan teknologi besar yang memiliki sumber daya ini. Dengan sumber daya keuangan yang besar, perusahaan-perusahaan ini telah memengaruhi pemilu melalui kontribusi kampanye, sumbangan kepada partai politik serta upaya lobi.
Perusahaan-perusahaan ini juga mendapatkan akses terhadap para pengambil keputusan politik dan telah mempengaruhi hasil kebijakan yang menguntungkan CCP.
Salah satu contoh yang menonjol adalah kasus Kenny Chiu, seorang anggota Parlemen Konservatif dari Kanada yang berupaya memperkenalkan RUU Pendaftaran Pengaruh Asing, yang mewajibkan semua warga negara untuk menyatakan sumber pendanaan asing mereka dari pemerintah internasional.
Anggota Parlemen yang kehilangan kursinya pada pemilu 2021 ini menyatakan bahwa dia menjadi sasaran khusus karena sikap tegasnya terhadap CCP, yang mewajibkan setiap warga negara untuk menyatakan pendanaannya dari CPC.
Dia kemudian mengaku menjadi target kampanye propaganda dan disinformasi CCP di WeChat dan platform media sosial terkemuka lainnya selama kampanye pemilu lalu yang menyebabkan kekalahannya, dan pada akhirnya dia melakukan pendekatan yang lebih lembut terhadap China.
Simbiosis Perusahaan Teknologi China dan CCP
Berbeda dengan perusahaan teknologi di Barat, perusahaan teknologi China selalu beroperasi dalam lingkungan peraturan yang membatasi dan memprioritaskan kontrol serta sensor negara dibandingkan kebebasan individu sebagai imbalan atas dukungan dan subsidi pemerintah.
Hubungan simbiosis antara pemerintah China dan raksasa teknologi di dalam dan luar negeri telah memungkinkan CCP memanfaatkan kemampuan teknologi untuk memanipulasi informasi, terutama selama pemilu.
Contoh terbaru bisa dilihat dari upaya China dalam memanipulasi pemilu Taiwan pada Januari lalu.
Menteri Luar Negeri Taiwan Joseph Wu mengungkapkan pada Januari, bahwa Beijing telah meluncurkan upaya signifikan untuk mempengaruhi hasil pemilu, yang terlihat dari seberapa tipis hasil penghitungan suara dalam upaya memenangkan kandidat pro-China.
CCP terkenal karena campur tangan mereka dalam politik Taiwan. Partai tersebut selama bertahun-tahun telah mengerahkan berbagai cara, termasuk serangan siber, kampanye disinformasi, dan sebagainya untuk mengubah jalannya proses pemilu yang bebas dan adil.
Menurut laporan terbaru Microsoft, akun media sosial China memainkan peran besar dalam menyebarkan berita palsu untuk mempengaruhi pola pemungutan suara.
Berdasarkan laporan tersebut, “kelompok elite di dalam Kementerian Keamanan Publik (China)” mengatur informasi yang salah serta berita palsu untuk mengubah jalannya hasil pemilu, sehingga sangat menguntungkan CCP.
Karena taktik seperti ini, Taiwan telah menjadi penerima terbesar disinformasi buatan asing, menurut kelompok pemantau yang juga mengindikasikan kuatnya kehadiran China dalam penyebaran informasi tersebut.
Namun Taiwan bukan satu-satunya korban dari metode China yang berbahaya bagi demokrasi di seluruh dunia. Perusahaan keamanan siber AS baru-baru ini mengetahui sejauh mana kehadiran China di platform media sosial.
Mandiant, sebuah perusahaan keamanan siber terkemuka menyatakan bahwa kelompok peretas bernama Dragonbridge telah menyusup ke platform media AS dan mempertanyakan “kemanjuran demokrasi” sembari menghasut pengguna untuk “membasmi sistem yang tidak efektif” demi kebaikan yang lebih besar.
Konten propaganda tersebut juga secara eksplisit meminta warga untuk menggunakan “kekerasan terhadap petugas polisi” untuk mencegah mereka melakukan proses tersebut.
Bentuk kampanye itu juga tercatat di media sosial X yang mengeklaim telah memblokir akun-akun yang menyebarkan konten kekerasan.
Perusahaan keamanan siber lainnya, Record Future, telah mengidentifikasi kampanye media sosial serupa yang disponsori China untuk memecah belah pemilih AS dengan memanipulasi sentimen warga seputar topik hangat.
Topik-topik seperti ketidakadilan rasial, kebrutalan polisi, dan bantuan militer AS ke Ukraina dipandang penting dalam memecah belah pemilih dan menyebabkan perselisihan yang parah di antara para pemilih.
Meta, perusahaan induk Facebook dan Instagram, akhirnya melarang akun palsu asal China yang menyasar pemilih di kedua kubu politik AS.
Mengingat meningkatnya infiltrasi siber, perusahaan siber China menjadi jauh lebih canggih dalam pendekatan mereka dalam memengaruhi perilaku pemilih.
Namun, karena Kementerian Keamanan Publik China disebutkan secara terbuka dalam berbagai laporan, hal ini tetap menjadi rahasia umum yang menunjukkan keterlibatan langsung CCP dalam masalah tersebut.
Demokrasi di Era Teknologi
Penggunaan teknologi untuk memengaruhi perilaku pemilih bukan hanya merupakan kekhawatiran yang dihadapi beberapa negara, tetapi juga oleh sejumlah negara yang mungkin tidak dianggap ramah oleh Beijing. Oleh karena itu, dominasi China di sektor-sektor tersebut harus menjadi perhatian bagi semua negara yang berpikiran sama yang memandang demokrasi sebagai sebuah sistem nilai dan bukan sekadar formalitas.
Kekhawatiran yang lebih mendesak seputar dominasi teknologi China adalah proliferasi teknologi pengawasan dan otoritarianisme digital.
Perusahaan-perusahaan teknologi China seperti Huawei, ZTE, dan Hikvision, mengekspor peralatan dan keahlian pengawasan ke negara-negara demokrasi dan rezim otoriter secara global, sehingga memungkinkan pemerintah yang represif untuk memantau dan menekan suara-suara yang berbeda pendapat.
Metode pengawasan dan infrastruktur digital ini menimbulkan ancaman serius terhadap pemilu yang bebas dan adil karena memungkinkan rezim untuk menargetkan lawan politik dan mereka yang berbeda pendapat.
Selain itu, semakin besarnya dominasi China dalam infrastruktur penting dan teknologi baru juga menimbulkan risiko sistemik terhadap integritas pemilu, yang pada akhirnya memperburuk nilai demokrasi negara tersebut.
Kontrol atas kehadiran media sosial serta modulasi konten telah memberikan aktor China kemampuan untuk mengganggu proses pemilu melalui serangan siber dan kampanye misinformasi yang merusak kedaulatan dan keamanan negara-negara demokratis.
Pemilu mendatang di Amerika Serikat dan India berada dalam pengawasan serius mengingat kedua negara tersebut sama-sama cenderung bermusuhan dengan China.
Dominasi teknologi China menimbulkan ancaman multidimensi terhadap pemilu di seluruh dunia, melemahkan prinsip-prinsip demokrasi sekaligus memperkuat ketegangan geopolitik yang dapat menimbulkan konsekuensi global yang signifikan.
Untuk menjaga demokrasi di era teknologi, upaya kolektif mungkin merupakan satu-satunya respons tepat terhadap strategi China.
Kegagalan mengatasi bahaya dominasi teknologi China akan membahayakan sifat demokrasi secara keseluruhan dan nilai-nilai dunia demokrasi, sehingga juga membahayakan landasan pemerintahan demokratis serta membahayakan masa depan tatanan internasional yang damai.
(mas)