Putra Mahkota Ingin Saudi Keluar dari Perang Yaman

Selasa, 15 Agustus 2017 - 15:30 WIB
Putra Mahkota Ingin Saudi Keluar dari Perang Yaman
Putra Mahkota Ingin Saudi Keluar dari Perang Yaman
A A A
RIYADH - Sebuah bocoran email mengungkap bahwa Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi Mohammed biln Salman (MBS) menginginkan negaranya keluar dari perang Yaman. Keinginan itu muncul saat melakukan pembicaraan dengan dua mantan pejabat Amerika Serikat (AS).

Bocoran email itu dipublikasikan Middle East Eye. Dalam surat elektronik tersebut putra Raja Salman ini juga tidak menentang pendekatan AS terhadap Iran.

Dua mantan pejabat Washington yang terlibat pembicaraan dengan pewaris takhta Saudi itu adalah Martin Indyk, mantan duta besar AS untuk Israel dan Steven Hadley, yang pernah menjabat sebagai Penasihat Keamanan Nasional AS era Presiden George W Bush.

Percakapan rahasia berlangsung setidaknya satu bulan sebelum Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain dan Mesir memutuskan hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Qatar. Doha “dimusuhi” empat negara itu atas tuduhan mendukung terorisme.

Rincian pertemuan antara MBS dan dua mantan pejabat Amerika terungkap dalam pertukaran email, antara Indyk dan Yousef al-Otaiba, Duta Besar UEA di Washington, DC.

Menurut laporan Middle East Eye, pertukaran email diperoleh dari kelompok kampanye GlobalLeaks.

Saudi merupakan pemimpin Koalisi Arab yang meluncurkan serangan di Yaman untuk memerangi kelompok pemberontak Houthi. Operasi militer Koalisi Arab dengan nama “Operation Decisive Storm” itu atas permintaan presiden sah Yaman, Abed Rabbo Mansour Hadi yang hendak digulingkan Houthi.

Dalam salah satu email, Otaiba dan Indyk terlihat membahas perbedaan antara MBS dan pemimpin tua Arab Saudi. MBS, dalam pembicaran Otaiba dan Indyk digambarkan sebagai “pemimpin pragmatis”.

Baca Juga: Arab Saudi Minta Bantuan Irak untuk Berdamai dengan Iran

Email tersebut juga memuat penilaian Otaiba dan pemimpin UEA akan masa depan Saudi.

Email tersebut selanjutnya mengungkapkan percakapan antara Otaiba dan Elliott Abrams, mantan pejabat pemerintahan Bush yang pro-Israel. Abrams menggambarkan tujuan UEA di kawasan Timur Tengah sebagai ”hegemon baru” dan ”imperialisme Emirat”.

Konflik di Yaman telah meningkat secara dramatis sejak Maret 2015. Sejak konflik dimulai, lebih dari 10.000 orang terbunuh dan jutaan lainnya terpaksa meninggalkan rumahnya untuk menyelamatkan diri.

Operasi militer yang dipimpin Saudi telah disalahkan sebagai penyebab penyebaran kolera di Yaman, di mana diperkirakan 500.000 orang dilaporkan telah menderita.

Sebagai balasan, dalam email tersebut Indyk mengatakan bahwa Otaiba tahu bahwa MBS membuatnya ”cukup jelas” dan kepada Hadley, MBS mengatakan bahwa dia baik-baik saja dengan AS.

Indyk yang dihubungi oleh Middle East Eye terkait pertukaran email-nya dengan Otaiba, menolak berkomentar.

Begitu juga dengan Hadley. ”Saya tidak bisa berkomentar tentang percakapan pribadi itu,” katanya, yang dilansir Al Jazeera, Selasa (15/8/2017).

Pengungkapan email tersebut terjadi sehari setelah Menteri Dalam Negeri Irak Qasim al-Araji mengklaim bahwa Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al Saud dan MBS telah meminta Baghdad untuk bertindak sebagai perantara dan membantu memperbaiki hubungan antara Riyadh dan Teheran.
(mas)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5889 seconds (0.1#10.140)