HRW: Cap Teroris KKB OPM Bisa Memperburuk Rasisme di Papua

Jum'at, 07 Mei 2021 - 09:34 WIB
TPNPB OPM pimpinan Lekagak Telenggen membantah keras pernyataan aparat TNI Polri yang menyebutkan jika lima anggotanya tewas dan kontak senjata di Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua. Foto Lekagak Telenggen/Satgas Nemangkawi
JAKARTA - Kelompok pengawas hak asasi, Human Rights Watch (HRW), mendesak pemerintah Indonesia untuk memikirkan kembali klasifikasi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua Barat sebagai teroris.

Pemerintah Indonesia secara resmi telah menetapkan kelompok KKB OPM Papua beserta semua yang tergabung di dalamnya sebagai daftar terduga teroris dan organisasi teroris (DTTOT), sebuah langkah yang diharapkan dapat memperluas peran militer dalam kepolisian sipil di Papua.

Penetapan itu disetujui minggu lalu ketika operasi militer diintensifkan di wilayah Papua setelah seorang kepala intelijen Indonesia tewas dalam penyergapan oleh pejuang gerilya Tentara Pembebasan Papua Barat.

Dalam mengumumkan kematian pejabat tersebut pada konferensi pers di Jakarta pekan lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersumpah akan melakukan tindakan keras militer di Papua dan menyatakan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) sebagai organisasi teroris. Sebelumnya, pihak berwenang Indonesia menyebut Tentara Pembebasan sebagai "kelompok kriminal bersenjata".



Namun HRW memperingatkan bahwa penetapan baru di bawah undang-undang anti-terorisme dapat memperburuk rasisme dan pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat sambil memperluas peran militer Indonesia dalam kepolisian sipil di wilayah Melanesia.

Peneliti di kantor HRW Indonesia, Andreas Harsono, mengatakan pembunuhan itu mengejutkan dan membuat marah publik, yang terbaru dari serangkaian episode kekerasan di Papua yang meningkat sejak TPNPB membunuh 17 pekerja konstruksi jalan sipil pada akhir 2018 lalu di Kabupaten Nduga.

Harsono mengatakan, penetapan kategorisasi teroris kepada pemberontak Papua jelas merupakan respon dari siklus kekerasan maut di wilayah Papua.

Namun dia khawatir bahwa klasifikasi luas di bawah undang-undang kontra-terorisme memberi pasukan keamanan kekuatan untuk menahan tersangka untuk waktu yang lebih lama tanpa dakwaan, serta ratusan hari bahkan sebelum diadili, meningkatkan risiko tersangka untuk dilecehkan dan disiksa.

Ini juga membuka keran bagi siapa yang bisa dicap sebagai teroris di wilayah di mana aspirasi pro-kemerdekaan tertanam dalam di antara penduduk asli.



"Ketentuan ini dapat digunakan untuk mengesahkan pengawasan tidak proporsional besar-besaran yang melanggar hak privasi di Papua," Harsono memperingatkan seperti dikutip dari New Zealand Herald, Jumat (7/5/2021).

Dia mengatakan bahwa memperluas penempatan militer dalam konteks kepolisian sipil membawa risiko serius di Papua, sebagian karena tentara Indonesia biasanya tidak terlatih dalam penegakan hukum.

Menurutnya, sistem peradilan militer memiliki rekam jejak yang buruk dalam menyelidiki dan menuntut pelanggaran HAM oleh tentara Indonesia.

“Masalah mendasar di Papua adalah rasisme: rasisme terhadap orang-orang berkulit gelap dan berambut keriting, dan tentu saja mereka yang melakukan sebagian besar pelanggaran HAM terhadap etnis Papua, orang-orang berkulit gelap, berambut keriting yang mayoritas beragama Kristen di Mayoritas Muslim Indonesia adalah tentara dan polisi Indonesia," paparnya.

Penunjukan tersebut tidak membantu upaya penyelesaian masalah berkepanjangan di Papua, jelas Harsono.



"Pemerintah Indonesia harus mengakui bahwa melanggar hak asasi manusia atas nama kontra-terorisme hanya menguntungkan ekstremis bersenjata dalam jangka panjang," ujarnya.

Harsono mengatakan, ancaman yang ditimbulkan oleh TPNPB perlu dilihat dari sudut pandang.

“Menurut perkiraan militer Indonesia, mereka hanya memiliki (sekitar) 200 senjata. Kecil, tidak signifikan," ucapnya.

"Tentu saja mereka kriminal, mereka membunuh orang. Tentu saja polisi harus menindak mereka. Tapi mencap mereka sebagai organisasi teroris, orang-orang yang tinggal di hutan yang mencoba mempertahankan hutan mereka, budaya mereka, dan rakyat mereka sendiri, kebanyakan menggunakan busur dan anak panah, ini akan menjadi konyol," sambungnya.

"Ini akan sangat mempengaruhi masyarakat adat ini. Ini adalah sesuatu yang harus ditinjau pemerintah Indonesia sesegera mungkin dan jika tidak, generasi mendatang akan menyesali apa yang dilakukan pemerintah saat ini," pungkasnya.

(ian)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Terpopuler
Berita Terkini More