Pesawat Pembom Nuklir AS Dekati China, Bisa Picu Perang
Kamis, 21 Mei 2020 - 07:27 WIB
BEIJING - Militer Amerika Serikat (AS) telah menerbangkan pesawat pembom B-1B Lancer yang mampu membawa bom nuklir ke sebuah perairan di dekat China . Pengamat militer Beijing berpendapat manuver Washington ini bisa memicu perang di tengah ketegangan kedua negara yang semakin memanas.
Dalam pengumumannya di Twitter, Angkatan Udara Pasifik AS mengatakan pesawat pembom B-1B melakukan misi di Laut China Selatan, hanya beberapa hari setelah menjalani latihan dengan Angkatan Laut Amerika di dekat Hawaii. "(Guna) menunjukkan kredibilitas Angkatan Udara AS untuk mengatasi lingkungan keamanan yang beragam dan tidak pasti," bunyi pengumuman tersebut yang dilansir South China Morning Post,20 Mei 2020.
Militer Washington tidak merinci kapan penerbangan pesawat pembom berkemampuan nuklir itu berlangsung dan berapa jumlah pesawat yang dikerahkan. Pengumuman itu sudah dirilis Selasa lalu.
Beijing dan Washington masih terkunci dalam perang kata-kata terkait penanganan krisis Covid-19 dan asal-usul virus yang telah menewaskan lebih dari 329.000 orang dan menginfeksi lebih 5 juta orang di seluruh dunia. (Baca: AS Kerahkan 2 Pembom Nuklir usai Kapal Perangnya Diusir China )
Kedua negara sebelumnya juga bersitegang terkait sejumlah isu, termasuk jurnalisme, perdagangan, teknologi, dan militer.
Pada 1 Mei lalu, Angkatan Udara AS mengerahkan empat pesawat pembom B-1B dan sekitar 200 penerbang dari Texas ke Pangkalan Angkatan Udara Andersen di Guam. Misinya adalah untuk mendukung Angkatan Udara Pasifik AS dan untuk melakukan pelatihan dan operasi dengan negara-negara sekutu dan mitra Amerika.
Li Jie, seorang spesialis militer yang berbasis di Beijing, mengatakan penyebaran pesawat pembom nuklir itu menunjukkan bahwa AS berusaha untuk menjaga pencegahan strategis, di mana Angkatan Udara Amerika telah melakukan 11 penerbangan pada bulan Maret dan 13 penerbangan pada bulan April di atas Selat Taiwan dan Laut China Selatan.
“Jelas, para pembuat keputusan di Pentagon sedang mencoba menggunakan pembom sebagai alat baru dalam pencegahan strategisnya terhadap China. Kami akan melihat gangguan B-1 yang intensif ke wilayah udara di Selat Taiwan dan Laut China Selatan pada bulan Mei," kata Li.
Dia mencatat bahwa segera setelah pengerahan ke Guam, dua pesawat pembom B-1B terbang di atas Laut China Timur dan juga terbang di atas perairan lepas pantai timur laut Taiwan pada 6 Mei yang katanya merupakan indikasi kepada Taiwan bahwa AS belum memberikan pengaruh militernya di wilayah tersebut.
Pada 29 April, Angkatan Udara AS mengirim dua B-1B Lancers untuk penerbangan bolak-balik 32 jam di atas Laut China Selatan. Pesawat itu merotasi pesawat pembom B-1, B-2 dan B-52.
Pada 14 Mei, Angkatan Laut China memulai latihan militer 11 minggu di perairan lepas kota pelabuhan utara Tangshan di Laut Kuning. AS mengirim kapal perang melintasi Selat Taiwan pada hari yang sama, yang menandai manuver keenamnya di selat tersebut sepanjang tahun ini.
Komando Indo-Pasifik AS mengatakan pada hari Rabu bahwa Angkatan Laut AS telah melakukan latihan perang ranjau di Laut China Timur.
China juga berniat meningkatkan kekuatan militernya. Negara ini menempatkan dua kapal selam strategis bertenaga nuklir yang baru di-upgrade ke dalam layanan militer bulan lalu dan juga mempertimbangkan peluncuran generasi baru pesawat pembom supersonik Xian H-20 pada tahun ini.
Zhu Feng, direktur studi internasional di Universitas Nanjing, mengatakan ketegangan di Laut China Selatan menjadi semakin memanas dan bergejolak dalam tiga bulan terakhir dan terkait erat dengan konflik politik dan diplomatik antara kedua negara.
Militer AS khawatir bahwa krisis virus corona baru (Covid-19) dapat menawarkan jendela peluang bagi China untuk meningkatkan kehadiran militer di Laut China Selatan, atau bahkan meningkatkan kemungkinan operasi militernya terhadap Taiwan.
"Respons keras China mungkin lebih jauh mendorong pemerintah Trump untuk menahan China di bidang lain, terus maju dengan strategi Indo-Pasifik AS, sebuah taktik penting bagi AS untuk menarik sekutu di wilayah tersebut ke sisinya dan lebih jauh mengasingkan China," kata Zhu.
Song Zhongping, seorang komentator urusan militer yang bermarkas di Hong Kong, mengatakan seringnya penerbangan pembom B-1B dan B-52 tidak hanya untuk menampilkan kehadiran militer AS tetapi juga latihan yang untuk menghadapi potensi perang di masa depan.
"B-1, menggantikan B-52, perlu terbang di sekitar perairan untuk mengetahui kondisi medan perang dengan baik," katanya.
"China dan AS memasuki kompetisi penuh dan situasinya lebih suram daripada Perang Dingin AS-Uni Soviet. Risiko konflik militer tidak dapat dikesampingkan di Laut China Selatan dan Selat Taiwan. Dan itu meningkat," kata Song.
Dalam pengumumannya di Twitter, Angkatan Udara Pasifik AS mengatakan pesawat pembom B-1B melakukan misi di Laut China Selatan, hanya beberapa hari setelah menjalani latihan dengan Angkatan Laut Amerika di dekat Hawaii. "(Guna) menunjukkan kredibilitas Angkatan Udara AS untuk mengatasi lingkungan keamanan yang beragam dan tidak pasti," bunyi pengumuman tersebut yang dilansir South China Morning Post,20 Mei 2020.
Militer Washington tidak merinci kapan penerbangan pesawat pembom berkemampuan nuklir itu berlangsung dan berapa jumlah pesawat yang dikerahkan. Pengumuman itu sudah dirilis Selasa lalu.
Beijing dan Washington masih terkunci dalam perang kata-kata terkait penanganan krisis Covid-19 dan asal-usul virus yang telah menewaskan lebih dari 329.000 orang dan menginfeksi lebih 5 juta orang di seluruh dunia. (Baca: AS Kerahkan 2 Pembom Nuklir usai Kapal Perangnya Diusir China )
Kedua negara sebelumnya juga bersitegang terkait sejumlah isu, termasuk jurnalisme, perdagangan, teknologi, dan militer.
Pada 1 Mei lalu, Angkatan Udara AS mengerahkan empat pesawat pembom B-1B dan sekitar 200 penerbang dari Texas ke Pangkalan Angkatan Udara Andersen di Guam. Misinya adalah untuk mendukung Angkatan Udara Pasifik AS dan untuk melakukan pelatihan dan operasi dengan negara-negara sekutu dan mitra Amerika.
Li Jie, seorang spesialis militer yang berbasis di Beijing, mengatakan penyebaran pesawat pembom nuklir itu menunjukkan bahwa AS berusaha untuk menjaga pencegahan strategis, di mana Angkatan Udara Amerika telah melakukan 11 penerbangan pada bulan Maret dan 13 penerbangan pada bulan April di atas Selat Taiwan dan Laut China Selatan.
“Jelas, para pembuat keputusan di Pentagon sedang mencoba menggunakan pembom sebagai alat baru dalam pencegahan strategisnya terhadap China. Kami akan melihat gangguan B-1 yang intensif ke wilayah udara di Selat Taiwan dan Laut China Selatan pada bulan Mei," kata Li.
Dia mencatat bahwa segera setelah pengerahan ke Guam, dua pesawat pembom B-1B terbang di atas Laut China Timur dan juga terbang di atas perairan lepas pantai timur laut Taiwan pada 6 Mei yang katanya merupakan indikasi kepada Taiwan bahwa AS belum memberikan pengaruh militernya di wilayah tersebut.
Pada 29 April, Angkatan Udara AS mengirim dua B-1B Lancers untuk penerbangan bolak-balik 32 jam di atas Laut China Selatan. Pesawat itu merotasi pesawat pembom B-1, B-2 dan B-52.
Pada 14 Mei, Angkatan Laut China memulai latihan militer 11 minggu di perairan lepas kota pelabuhan utara Tangshan di Laut Kuning. AS mengirim kapal perang melintasi Selat Taiwan pada hari yang sama, yang menandai manuver keenamnya di selat tersebut sepanjang tahun ini.
Komando Indo-Pasifik AS mengatakan pada hari Rabu bahwa Angkatan Laut AS telah melakukan latihan perang ranjau di Laut China Timur.
China juga berniat meningkatkan kekuatan militernya. Negara ini menempatkan dua kapal selam strategis bertenaga nuklir yang baru di-upgrade ke dalam layanan militer bulan lalu dan juga mempertimbangkan peluncuran generasi baru pesawat pembom supersonik Xian H-20 pada tahun ini.
Zhu Feng, direktur studi internasional di Universitas Nanjing, mengatakan ketegangan di Laut China Selatan menjadi semakin memanas dan bergejolak dalam tiga bulan terakhir dan terkait erat dengan konflik politik dan diplomatik antara kedua negara.
Militer AS khawatir bahwa krisis virus corona baru (Covid-19) dapat menawarkan jendela peluang bagi China untuk meningkatkan kehadiran militer di Laut China Selatan, atau bahkan meningkatkan kemungkinan operasi militernya terhadap Taiwan.
"Respons keras China mungkin lebih jauh mendorong pemerintah Trump untuk menahan China di bidang lain, terus maju dengan strategi Indo-Pasifik AS, sebuah taktik penting bagi AS untuk menarik sekutu di wilayah tersebut ke sisinya dan lebih jauh mengasingkan China," kata Zhu.
Song Zhongping, seorang komentator urusan militer yang bermarkas di Hong Kong, mengatakan seringnya penerbangan pembom B-1B dan B-52 tidak hanya untuk menampilkan kehadiran militer AS tetapi juga latihan yang untuk menghadapi potensi perang di masa depan.
"B-1, menggantikan B-52, perlu terbang di sekitar perairan untuk mengetahui kondisi medan perang dengan baik," katanya.
"China dan AS memasuki kompetisi penuh dan situasinya lebih suram daripada Perang Dingin AS-Uni Soviet. Risiko konflik militer tidak dapat dikesampingkan di Laut China Selatan dan Selat Taiwan. Dan itu meningkat," kata Song.
(min)
tulis komentar anda