Mengapa Militer Rebut Kekuasan di Myanmar? Ini Pendapat Para Pakar

Sabtu, 06 Februari 2021 - 23:55 WIB
Militer mengklaim ada jutaan penyimpangan dalam daftar pemilih di 314 kota kecil yang bisa membuat pemilih memberikan banyak suara atau melakukan "malpraktek pemungutan suara" lainnya. "Tapi, mereka belum benar-benar menunjukkan bukti itu," kata Jolliffe.



Setelah sukses melakukan kudeta, militer menyatakan akan mengadakan pemilihan umum setelah keadaan darurat satu tahun berakhir dan akan menyerahkan kekuasaan kepada pemenang.

Sementara itu, menurut mantan diplomat Amerika Serikat (AS), Bill Richardson, kurangnya kemampuan Suu Kyi untuk mempromosikan nilai-nilai demokrasi dan justru diam dengan tindakan militer, khususnya terhadap muslim Rohingnya, membuat posisinya tidak terlalu kuat.

“Karena kegagalan Suu Kyi untuk mempromosikan nilai-nilai demokrasi sebagai pemimpin de facto Myanmar, dia harus menyingkir dan membiarkan pemimpin demokrasi Myanmar lainnya mengambil kendali dengan dukungan internasional,” kata Richardson.



Pemerintah dan organisasi internasional sendiri mengutuk pengambilalihan kekuasaan tersebut, dengan mengatakan hal itu menghambat reformasi demokrasi terbatas yang telah dibuat Myanmar.

“Ini merupakan pukulan telak bagi upaya menampilkan Myanmar sebagai negara demokrasi. Kredibilitasnya di panggung dunia telah terpukul secara besar-besaran," ucap Linda Lakhdhir, penasihat hukum Human Rights Watch, seperti dilansir Al Arabiya.

Human Right Watch takut akan tindakan keras lebih lanjut terhadap pembela HAM, jurnalis dan orang yang kritis terhadap militer. Bahkan sebelum kudeta, jurnalis, pendukung kebebasan berbicara dan kritikus militer sering menghadapi tindakan hukum karena mengkritik militer secara terbuka.
(esn)
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More