Mengapa Militer Rebut Kekuasan di Myanmar? Ini Pendapat Para Pakar

Sabtu, 06 Februari 2021 - 23:55 WIB
Aksi protes menentang kudeta militer di Myanmar. FOTO/Reuters
YANGON - Militer Myanmar telah mengambil kendali negara itu di bawah keadaan darurat satu tahun ke depan dan para pemimpin negara, termasuk Aung San Suu Kyi telah ditahan. Menurut pakar, ada beberapa alasan mengapa militer melakukan kudeta dan mengambil alih kekuasaan sekarang.

Militer mengutip Pasal 417 konstitusi negara, yang mengizinkan mereka untuk mengambil alih kekuasaan pada saat-saat darurat. Krisis virus Corona dan kegagalan pemerintah untuk menunda pemilihan umum pada November lalu adalah alasan keadaan darurat tersebut.





Militer merancang konstitusi pada 2008 dan mempertahankan kekuasaan di bawah piagam dengan mengorbankan pemerintahan sipil yang demokratis. Human Rights Watch menggambarkan klausul itu sebagai "mekanisme kudeta yang menunggu".

Konstitusi juga menyediakan kementerian-kementerian penting Kabinet dan 25 persen kursi di Parlemen untuk militer, bagian yang membatasi kekuasaan pemerintah sipil dan mengesampingkan perubahan piagam tanpa dukungan militer.

Beberapa ahli mengungkapkan kebingungan mengapa militer akan mengganggu status quo mereka yang kuat. Beberapa pengamat menilai ada masalah politik internal di tubuh militer Myanmar, khususnya setelah Min Aung Hlaing mengumumkan pensiun dari militer, meski akhirnya dia yang memimpin kudeta.

“Ada politik militer internal di sekitarnya, yang sangat tidak jelas. Ini mungkin mencerminkan dinamika tersebut dan mungkin semacam kudeta internal dan caranya mempertahankan kekuasaan dalam militer," jelas Kim Jolliffe, seorang peneliti hubungan sipil dan militer Myanmar.



Alasan lain kudeta milter adalah kekalahan dalam pemilihan umum tahun lalu. Dalam pemilihan pada November silam, partai NLD yang dipimpin Suu Kyi merebut 396 dari 476 kursi di gabungan Majelis Rendah dan Majelis Tinggi Parlemen. Komisi Pemilihan Umum negara bagian telah mengkonfirmasi hasil itu.

Militer mengklaim ada jutaan penyimpangan dalam daftar pemilih di 314 kota kecil yang bisa membuat pemilih memberikan banyak suara atau melakukan "malpraktek pemungutan suara" lainnya. "Tapi, mereka belum benar-benar menunjukkan bukti itu," kata Jolliffe.



Setelah sukses melakukan kudeta, militer menyatakan akan mengadakan pemilihan umum setelah keadaan darurat satu tahun berakhir dan akan menyerahkan kekuasaan kepada pemenang.

Sementara itu, menurut mantan diplomat Amerika Serikat (AS), Bill Richardson, kurangnya kemampuan Suu Kyi untuk mempromosikan nilai-nilai demokrasi dan justru diam dengan tindakan militer, khususnya terhadap muslim Rohingnya, membuat posisinya tidak terlalu kuat.

“Karena kegagalan Suu Kyi untuk mempromosikan nilai-nilai demokrasi sebagai pemimpin de facto Myanmar, dia harus menyingkir dan membiarkan pemimpin demokrasi Myanmar lainnya mengambil kendali dengan dukungan internasional,” kata Richardson.



Pemerintah dan organisasi internasional sendiri mengutuk pengambilalihan kekuasaan tersebut, dengan mengatakan hal itu menghambat reformasi demokrasi terbatas yang telah dibuat Myanmar.

“Ini merupakan pukulan telak bagi upaya menampilkan Myanmar sebagai negara demokrasi. Kredibilitasnya di panggung dunia telah terpukul secara besar-besaran," ucap Linda Lakhdhir, penasihat hukum Human Rights Watch, seperti dilansir Al Arabiya.

Human Right Watch takut akan tindakan keras lebih lanjut terhadap pembela HAM, jurnalis dan orang yang kritis terhadap militer. Bahkan sebelum kudeta, jurnalis, pendukung kebebasan berbicara dan kritikus militer sering menghadapi tindakan hukum karena mengkritik militer secara terbuka.
(esn)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More