Dampak Covid-19, Kerugian Ekonomi Bisa Capai Rp131,06 Kuadriliun
Sabtu, 16 Mei 2020 - 06:32 WIB
NEW YORK - Pandemi virus corona (Covid-19) bukan hanya mengorbankan ratusan ribu manusia, tetapi juga meremukkan perekonomian dunia. Secara global, kerugian ekonomi diperkirakan mencapai USD5,8 triliun (Rp86 kuadriliun) hingga USD8,8 triliun (Rp131,06 kuadriliun).
Estimasi kerugian itu diungkapkan Asian Development Bank (ADB). Prediksi tersebut meningkat dua kali lipat bila dibandingkan dengan tahun lalu atau setara 6,4% hingga 9,7% produk domestik bruto (PDB) dunia. Estimasi baru itu juga naik lebih dari dua kali lipat pada kisaran USD2 triliun–USD4,1 triliun yang disampaikan ADB pada 3 April 2020.
Kondisi tersebut terjadi karena persebaran Covid-19 melumpuhkan aktivitas ekonomi di seluruh dunia. Apalagi untuk bisa bangkit atau kembali normal, suatu negara membutuhkan waktu selama enam bulan. Jika perekonomian berhenti selama tiga bulan saja, kerugian bisa mencapai USD5,8 triliun atau 6,4% dari PDB.
“Analisis baru menghadirkan gambaran luas tentang dampak ekonomi yang signifikan akibat Covid-19. Analisis tersebut menunjukkan perlunya intervensi kebijakan untuk membantu mengurangi kerusakan pada ekonomi negara-negara,” kata Kepala Ekonomi ADB Yasuyuki Sawada seperti dilansir BBC.
Analisis ADB tersebut menggunakan Global Trade Analysis Project dengan model ekuilibrium umum berbasis komputer yang mengkaji 96 sektor ekonomi terdampak Covid-19. Pandemi korona itu telah mengguncang sektor pariwisata, konsumsi, investasi, perdagangan, dan produksi. (Baca: AS Jengkel Didesak Tarik Semua Bom Nuklirnya dari Jerman)
Lembaga finansial pembangunan multilateral tersebut lebih lanjut menganjurkan agar meningkatkan sistem perlindungan kesehatan serta perlindungan para pekerja demi menghindari pemulihan yang lebih sulit. “Langkah berkelanjutan dari pemerintah negara-negara di dunia dapat memperkecil dampak ekonomi akibat virus itu sebanyak 40%,” ungkap ADB.
Selain itu, agar bisa selamat dari krisis ekonomi itu, ADB meminta negara-negara di dunia untuk mengelola jaringan pasokan barang yang terganggu dan mendukung serta memperluas jaringan e-commerce dan logistik untuk pengiriman barang. “Pemerintah juga seyogianya memberikan perlindungan sosial, subsidi bagi pengangguran, dan mendistribusikan kebutuhan pokok untuk mencegah menurunnya konsumsi,” demikian saran ADB.
Sebenarnya pemerintahan dan bank sentral di dunia telah bergerak cepat dengan mengimplementasikan stimulus finansial dan fiskal untuk menyelamatkan perekonomian mereka. Langkah tersebut, menurut ADB, bisa menurunkan dampak ekonomi akibat Covid-19 hingga 30–40%. Dengan meningkatnya belanja sektor kesehatan, menurunnya pendapatan negara karena melemahnya perekonomian, krisis pun bisa berkepanjangan.
Sementara itu pembatasan perjalananan dan lockdown yang diterapkan untuk menahan persebaran virus corona kemungkinan akan memangkas nilai perdagangan global sebesar USD1,7 triliun menjadi USD2,6 triliun. ADB juga menyatakan lebih dari 158 juta hingga 242 juta pekerjaan bisa hilang secara global. Sekitar 70% dari jumlah ini terjadi di Asia dan Pasifik.
Khusus di Amerika Serikat (AS) saja, sebanyak 36,5 juta orang mengajukan tunjangan pengangguran di mana tingkat pengangguran mencapai 14,7%. “Pemerintah harus menemukan cara terbaik untuk mengurangi dampak kerugian ekonomi dan (penderitaan) masyarakatnya,” kata Sawada.
Berapa kerugian akibat Covid-19 di Asia? ADB memperingatkan kerugian bisa mencapai USD1,7 triliun atau 6,2% dari PDB hingga USD2,5 triliun atau 9,3% dari PDB. China menjadi negara di Asia yang paling parah terdampak krisis ini. “China menjadi negara yang paling parah dihantam Covid-19 dengan kerugian mencapai USD1 triliun hingga USD1,6 triliun,” demikian keterangan ADB.
James Villafuerte, ekonom senior ADB, menyebutkan 95 juta orang bisa menganggur akibat krisis ini. “Sektor manufaktur dan pariwisata menjadi paling parah terkena dampak. Para pekerja di sektor lain juga bisa terkena dampak dirumahkan,” kata Villafuerte.
Sementara itu Sawada juga mengungkapkan, krisis ekonomi juga dipicu penurunan investasi dan konsumsi yang mengakibatkan pendapatan negara di seluruh dunia mengalami penurunan drastis, terutama di AS dan Eropa. “Itu merupakan risiko kesehatan dan tidak dikendalikan oleh permasalahan ekonomi yang fundamental,” katanya.
Dia mengungkapkan, kebijakan ekonomi yang solid dan kebijakan penanganan Covid-19 menjadi kunci utamanya. “Saya bisa mencontohkan bagaimana Korea Selatan dan Vietnam sukses menangani Covid-19,” tuturnya. (Baca juga: Spanyol Mulai Karantina Semua Pelancong dari Luar Negeri)
Untuk mengatasi krisis tersebut, ABD telah menyediakan paket bantuan senilai USD20 miliar yang telah diumumkan pada 13 April lalu. ADB yang didirikan pada 1966 itu juga telah memberikan serangkaian panduan operasional dan bantuan untuk penanganan krisis.
Sebelumnya pada awal April lalu, Direktur Operasional Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva mengungkapkan krisis ekonomi akibat Covid-19 lebih parah daripada krisis keuangan global pada satu dekade lalu. Dia mengungkapkan, negara-negara berkembang menjadi yang paling rentan dalam krisis virus korona.
"Krisis saat ini jauh lebih buruk daripada krisis keuangan global dan ini adalah krisis yang mengharuskan semua pihak untuk bersatu," kata Georgieva. Dia menjelaskan, lebih dari 90 negara sejauh ini telah mendekati IMF untuk pendanaan darurat. “Sistem kesehatan mereka sudah rapuh dan sekarang mereka sangat terpukul secara ekonomi. IMF memberikan prioritas tinggi kepada negara-negara itu,” imbuh Georgieva.
IMF menyatakan pandemi virus Covid-19 yang terjadi saat ini telah berubah menjadi krisis ekonomi dan keuangan. "Kita berada dalam situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya di mana pandemi kesehatan global telah berubah menjadi krisis ekonomi," kata pernyataan resmi IMF.
Gita Gopinath, peneliti ekonomi IMF, mengungkapkan Great Lockdown akibat pandemi korona telah mengakibatkan krisis ekonomi terburuk sejak Great Depression pada awal 1900-an. "World Economic Outlook secara global pada 2020 bisa turun hingga minus 3%," katanya.
Kapan akan pulih? Proses pemulihan dari krisis ekonomi tersebut akan terjadi pada 2021 meskipun proyeksi ekonomi tetap berada titik terendah. "Untuk pertama kalinya sejak Great Depression, ekonomi negara maju dan berkembang akan mengalami resesi," kata Gopinath.
Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani telah mengakui beratnya dampak pandemi korona terhadap perekonomian Indonesia. Bahkan kondisi yang terjadi lebih kompleks bila dibandingkan dengan krisis yang terjadi pada 1997–1998 dan 2008–2009 karena yang terdampak bukan hanya sektor keuangan, tetapi seluruh sektor ekonomi.
Seperti diketahui, imbauan agar masyarakat melakukan aktivitas dari rumah seperti bekerja, sekolah, dan ibadah membuat berbagai pusat perbelanjaan dan pusat kegiatan ekonomi harus tutup demi mengurangi risiko penularan virus korona. Sejumlah perusahaan telah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karena mandeknya perekonomian.
Akibat kondisi tersebut, Sri Mulyani memperkirakan pendapatan negara akan anjlok yang berpengaruh pada terjadinya defisit APBN 2020 yang diperkirakan membengkak menjadi Rp853 triliun atau 5,07% dari PDB.
Berdasarkan proyeksi yang dibuat Kementerian Keuangan, pendapatan negara yang dalam APBN 2020 diproyeksikan bisa mencapai Rp1.760,9 triliun akan turun sampai dengan 10% akibat wabah tersebut. Penurunan dipicu oleh beberapa faktor, salah satunya pelemahan pendapatan di sektor perpajakan.
Selain itu penurunan pendapatan juga dipicu oleh pemberian berbagai macam fasilitas perpajakan bagi dunia usaha supaya mereka bisa terlepas dari tekanan dampak virus corona. Akibatnya Bea Cukai juga diproyeksi pendapatannya turun 2,2% dengan perhitungkan stimulus pembebasan bea masuk untuk 10 industri atau 19 industri. (Baca juga:
Selain dipicu faktor tersebut, penurunan juga dipicu pelemahan harga minyak dunia belakangan ini yang berpotensi menekan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sampai dengan 26,5%. Celakanya, di tengah penurunan pendapatan tersebut, belanja pemerintah berpotensi membengkak yang diarahkan untuk belanja kesehatan, bantuan sosial, dan insentif dunia usaha.
Selain itu pemerintah harus menggelontorkan dana Rp75 triliun untuk belanja kesehatan supaya wabah tersebut bisa segera ditangani dan menggelontorkan bantuan sosial Rp110 triliun dan insentif bagi dunia usaha sebesar Rp70 triliun. Dengan perhitungan tersebut Sri Mulyani mengatakan belanja negara akan meningkat dari Rp2.540 triliun menjadi Rp2.613 triliun. (Andika H Mustaqim/Muh Shamil)
Estimasi kerugian itu diungkapkan Asian Development Bank (ADB). Prediksi tersebut meningkat dua kali lipat bila dibandingkan dengan tahun lalu atau setara 6,4% hingga 9,7% produk domestik bruto (PDB) dunia. Estimasi baru itu juga naik lebih dari dua kali lipat pada kisaran USD2 triliun–USD4,1 triliun yang disampaikan ADB pada 3 April 2020.
Kondisi tersebut terjadi karena persebaran Covid-19 melumpuhkan aktivitas ekonomi di seluruh dunia. Apalagi untuk bisa bangkit atau kembali normal, suatu negara membutuhkan waktu selama enam bulan. Jika perekonomian berhenti selama tiga bulan saja, kerugian bisa mencapai USD5,8 triliun atau 6,4% dari PDB.
“Analisis baru menghadirkan gambaran luas tentang dampak ekonomi yang signifikan akibat Covid-19. Analisis tersebut menunjukkan perlunya intervensi kebijakan untuk membantu mengurangi kerusakan pada ekonomi negara-negara,” kata Kepala Ekonomi ADB Yasuyuki Sawada seperti dilansir BBC.
Analisis ADB tersebut menggunakan Global Trade Analysis Project dengan model ekuilibrium umum berbasis komputer yang mengkaji 96 sektor ekonomi terdampak Covid-19. Pandemi korona itu telah mengguncang sektor pariwisata, konsumsi, investasi, perdagangan, dan produksi. (Baca: AS Jengkel Didesak Tarik Semua Bom Nuklirnya dari Jerman)
Lembaga finansial pembangunan multilateral tersebut lebih lanjut menganjurkan agar meningkatkan sistem perlindungan kesehatan serta perlindungan para pekerja demi menghindari pemulihan yang lebih sulit. “Langkah berkelanjutan dari pemerintah negara-negara di dunia dapat memperkecil dampak ekonomi akibat virus itu sebanyak 40%,” ungkap ADB.
Selain itu, agar bisa selamat dari krisis ekonomi itu, ADB meminta negara-negara di dunia untuk mengelola jaringan pasokan barang yang terganggu dan mendukung serta memperluas jaringan e-commerce dan logistik untuk pengiriman barang. “Pemerintah juga seyogianya memberikan perlindungan sosial, subsidi bagi pengangguran, dan mendistribusikan kebutuhan pokok untuk mencegah menurunnya konsumsi,” demikian saran ADB.
Sebenarnya pemerintahan dan bank sentral di dunia telah bergerak cepat dengan mengimplementasikan stimulus finansial dan fiskal untuk menyelamatkan perekonomian mereka. Langkah tersebut, menurut ADB, bisa menurunkan dampak ekonomi akibat Covid-19 hingga 30–40%. Dengan meningkatnya belanja sektor kesehatan, menurunnya pendapatan negara karena melemahnya perekonomian, krisis pun bisa berkepanjangan.
Sementara itu pembatasan perjalananan dan lockdown yang diterapkan untuk menahan persebaran virus corona kemungkinan akan memangkas nilai perdagangan global sebesar USD1,7 triliun menjadi USD2,6 triliun. ADB juga menyatakan lebih dari 158 juta hingga 242 juta pekerjaan bisa hilang secara global. Sekitar 70% dari jumlah ini terjadi di Asia dan Pasifik.
Khusus di Amerika Serikat (AS) saja, sebanyak 36,5 juta orang mengajukan tunjangan pengangguran di mana tingkat pengangguran mencapai 14,7%. “Pemerintah harus menemukan cara terbaik untuk mengurangi dampak kerugian ekonomi dan (penderitaan) masyarakatnya,” kata Sawada.
Berapa kerugian akibat Covid-19 di Asia? ADB memperingatkan kerugian bisa mencapai USD1,7 triliun atau 6,2% dari PDB hingga USD2,5 triliun atau 9,3% dari PDB. China menjadi negara di Asia yang paling parah terdampak krisis ini. “China menjadi negara yang paling parah dihantam Covid-19 dengan kerugian mencapai USD1 triliun hingga USD1,6 triliun,” demikian keterangan ADB.
James Villafuerte, ekonom senior ADB, menyebutkan 95 juta orang bisa menganggur akibat krisis ini. “Sektor manufaktur dan pariwisata menjadi paling parah terkena dampak. Para pekerja di sektor lain juga bisa terkena dampak dirumahkan,” kata Villafuerte.
Sementara itu Sawada juga mengungkapkan, krisis ekonomi juga dipicu penurunan investasi dan konsumsi yang mengakibatkan pendapatan negara di seluruh dunia mengalami penurunan drastis, terutama di AS dan Eropa. “Itu merupakan risiko kesehatan dan tidak dikendalikan oleh permasalahan ekonomi yang fundamental,” katanya.
Dia mengungkapkan, kebijakan ekonomi yang solid dan kebijakan penanganan Covid-19 menjadi kunci utamanya. “Saya bisa mencontohkan bagaimana Korea Selatan dan Vietnam sukses menangani Covid-19,” tuturnya. (Baca juga: Spanyol Mulai Karantina Semua Pelancong dari Luar Negeri)
Untuk mengatasi krisis tersebut, ABD telah menyediakan paket bantuan senilai USD20 miliar yang telah diumumkan pada 13 April lalu. ADB yang didirikan pada 1966 itu juga telah memberikan serangkaian panduan operasional dan bantuan untuk penanganan krisis.
Sebelumnya pada awal April lalu, Direktur Operasional Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva mengungkapkan krisis ekonomi akibat Covid-19 lebih parah daripada krisis keuangan global pada satu dekade lalu. Dia mengungkapkan, negara-negara berkembang menjadi yang paling rentan dalam krisis virus korona.
"Krisis saat ini jauh lebih buruk daripada krisis keuangan global dan ini adalah krisis yang mengharuskan semua pihak untuk bersatu," kata Georgieva. Dia menjelaskan, lebih dari 90 negara sejauh ini telah mendekati IMF untuk pendanaan darurat. “Sistem kesehatan mereka sudah rapuh dan sekarang mereka sangat terpukul secara ekonomi. IMF memberikan prioritas tinggi kepada negara-negara itu,” imbuh Georgieva.
IMF menyatakan pandemi virus Covid-19 yang terjadi saat ini telah berubah menjadi krisis ekonomi dan keuangan. "Kita berada dalam situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya di mana pandemi kesehatan global telah berubah menjadi krisis ekonomi," kata pernyataan resmi IMF.
Gita Gopinath, peneliti ekonomi IMF, mengungkapkan Great Lockdown akibat pandemi korona telah mengakibatkan krisis ekonomi terburuk sejak Great Depression pada awal 1900-an. "World Economic Outlook secara global pada 2020 bisa turun hingga minus 3%," katanya.
Kapan akan pulih? Proses pemulihan dari krisis ekonomi tersebut akan terjadi pada 2021 meskipun proyeksi ekonomi tetap berada titik terendah. "Untuk pertama kalinya sejak Great Depression, ekonomi negara maju dan berkembang akan mengalami resesi," kata Gopinath.
Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani telah mengakui beratnya dampak pandemi korona terhadap perekonomian Indonesia. Bahkan kondisi yang terjadi lebih kompleks bila dibandingkan dengan krisis yang terjadi pada 1997–1998 dan 2008–2009 karena yang terdampak bukan hanya sektor keuangan, tetapi seluruh sektor ekonomi.
Seperti diketahui, imbauan agar masyarakat melakukan aktivitas dari rumah seperti bekerja, sekolah, dan ibadah membuat berbagai pusat perbelanjaan dan pusat kegiatan ekonomi harus tutup demi mengurangi risiko penularan virus korona. Sejumlah perusahaan telah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karena mandeknya perekonomian.
Akibat kondisi tersebut, Sri Mulyani memperkirakan pendapatan negara akan anjlok yang berpengaruh pada terjadinya defisit APBN 2020 yang diperkirakan membengkak menjadi Rp853 triliun atau 5,07% dari PDB.
Berdasarkan proyeksi yang dibuat Kementerian Keuangan, pendapatan negara yang dalam APBN 2020 diproyeksikan bisa mencapai Rp1.760,9 triliun akan turun sampai dengan 10% akibat wabah tersebut. Penurunan dipicu oleh beberapa faktor, salah satunya pelemahan pendapatan di sektor perpajakan.
Selain itu penurunan pendapatan juga dipicu oleh pemberian berbagai macam fasilitas perpajakan bagi dunia usaha supaya mereka bisa terlepas dari tekanan dampak virus corona. Akibatnya Bea Cukai juga diproyeksi pendapatannya turun 2,2% dengan perhitungkan stimulus pembebasan bea masuk untuk 10 industri atau 19 industri. (Baca juga:
Selain dipicu faktor tersebut, penurunan juga dipicu pelemahan harga minyak dunia belakangan ini yang berpotensi menekan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sampai dengan 26,5%. Celakanya, di tengah penurunan pendapatan tersebut, belanja pemerintah berpotensi membengkak yang diarahkan untuk belanja kesehatan, bantuan sosial, dan insentif dunia usaha.
Selain itu pemerintah harus menggelontorkan dana Rp75 triliun untuk belanja kesehatan supaya wabah tersebut bisa segera ditangani dan menggelontorkan bantuan sosial Rp110 triliun dan insentif bagi dunia usaha sebesar Rp70 triliun. Dengan perhitungan tersebut Sri Mulyani mengatakan belanja negara akan meningkat dari Rp2.540 triliun menjadi Rp2.613 triliun. (Andika H Mustaqim/Muh Shamil)
(ysw)
tulis komentar anda