Studi: Kepercayaan Terhadap Vaksin Terus Menurun Setiap Tahunnya

Minggu, 18 Oktober 2020 - 23:56 WIB
Informasi yang salah adalah pendorong utama keraguan vaksin. Para peneliti menemukan bahwa mereka yang mempercayai profesional perawatan kesehatan untuk mendapatkan nasihat medis, daripada mencari keluarga, teman atau internet lebih cenderung divaksinasi. Di Indonesia, faktor agama berperan.

"Indonesia mengalami penurunan kepercayaan yang besar antara tahun 2015 dan 2019, sebagian dipicu oleh para pemimpin Muslim yang mempertanyakan keamanan vaksin campak, gondok, dan rubella (MMR), dan akhirnya mengeluarkan fatwa, aturan agama, yang menyatakan bahwa vaksin itu haram dan mengandung bahan-bahan yang berasal dari babi dan karenanya tidak dapat diterima oleh umat Islam,” kata studi tersebut.

Studi tersebut menemukan bahwa di Korea Selatan (Korsel) dan Malaysia, mobilisasi secara daring melawan vaksin merupakan penghalang utama. Para ahli mengatakan, secara global, melawan informasi yang salah telah menjadi salah satu tantangan terbesar dalam memerangi Covid-19, dan di Amerika Serikat (AS) perdebatan tentang vaksin menjadi sangat terpolarisasi dengan munculnya gerakan "anti-vaxxer", atau mereka yang menolak untuk memvaksinasi anak-anak mereka.

“Ada semakin banyak bukti penundaan atau penolakan vaksin karena kurangnya kepercayaan pada pentingnya, keamanan, atau keefektifan vaksin, di samping masalah akses yang terus berlanjut,” ujar studi tersebut.

Di beberapa negara yang tingkat kepercayaannya sangat rendah, ketidakpercayaan itu terkait dengan vaksin yang terbukti tidak aman. Jepang menempati peringkat salah satu negara dengan tingkat kepercayaan vaksin terendah di dunia, yang menurut studi itu mungkin terkait dengan ketakutan atas keamanan vaksin human papillomavirus (HPV) yang dimulai pada 2013 dan menyebabkan pemerintah Jepang menangguhkan rekomendasi aktifnya.

(Baca: 1.620 Relawan Disuntik Vaksin Sinovac, Kini Tahap Monitoring )

Kepercayaan vaksin juga merosot di Filipina dan juga di Indonesia, di mana pada tahun 2017 produsen vaksin Sanofi mengumumkan vaksin demam berdarah baru mereka Dengvaxia. "Vaksin itu menimbulkan risiko bagi individu yang sebelumnya tidak pernah terpapar virus, memicu kemarahan dan kepanikan di seluruh populasi di mana hampir 850.000 anak telah diberi vaksin baru tahun sebelumnya,” ungkapnya.

Para peneliti mengatakan bahwa jika vaksin Covid-19 tersedia, vaksin itu mungkin belum siap untuk dikonsumsi massal hingga akhir 2021, meskipun beberapa uji klinis Fase III sedang dilakukan di seluruh dunia.

Para peneliti mengatakan bahwa di era Covid-19, temuan mereka memberikan dasar yang berharga tentang tingkat kepercayaan diri untuk mengukur perubahan pada saat ancaman penyakit berkembang dan untuk membantu mengidentifikasi di mana lebih banyak pembangunan kepercayaan diperlukan untuk mengoptimalkan penyerapan vaksin penyelamat jiwa.
(esn)
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More