China Awasi Ketat Penggunaan Paspor, Warga Sulit Bepergian ke Luar Negeri

Rabu, 20 November 2024 - 08:43 WIB
China awasi ketat penggunaan paspor, warganya sulit bepergian ke luar negeri. Foto/Emperor Tech
BEIJING - China dilaporkan semakin memperketat cengkeramannya terhadap hak dasar warganya untuk bepergian ke luar negeri, dengan menerapkan jaringan pembatasan yang secara efektif “memenjarakan” jutaan orang di dalam perbatasan mereka sendiri.

Mengutip dari European Times, Rabu (20/11/2024), langkah-langkah terbaru pemerintah China untuk membatasi perjalanan internasional telah mengubah kontrol paspor menjadi alat kontrol sosial yang ampuh, menandai kemunduran signifikan dalam kebebasan sipil dan hak asasi manusia (HAM).

Luasnya pembatasan ini mengejutkan. Guru, karyawan sektor perbankan, dan bahkan siswa kini menghadapi rintangan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam upaya mereka untuk meninggalkan negara tersebut.





Staf sekolah dipaksa menyerahkan paspor mereka ke kantor Partai Komunis China (CCP), sementara pekerja sektor perbankan harus melalui proses persetujuan yang rumit hanya untuk berlibur ke luar negeri.

Di beberapa kota, para pekerja ini dibatasi untuk meninggalkan China hanya sekali atau dua kali per tahun—pembatasan yang membuat sistem feodal abad pertengahan tampak liberal jika keduanya dibandingkan.

Pembenaran pemerintah China atas tindakan sewenang-wenang ini berkutat pada masalah keamanan nasional hingga upaya antikorupsi, tetapi pesan yang mendasarinya jelas: Beijing menginginkan kendali penuh atas pergerakan, pemikiran, dan hubungan warga negaranya dengan dunia luar.

Penerapan pembatasan ini sangat agresif sejak Presiden Xi Jinping naik ke tampuk kekuasaan pada tahun 2012, dengan pandemi Covid-19 menjadi katalisator yang tepat untuk pengetatan lebih lanjut.

Matthew, seorang tenaga profesional di Kementerian Keuangan China, harus mengubur impian sederhananya untuk melakukan perjalanan tahunan bersama istrinya karena pembatasan ini.

Kisahnya mewakili banyak orang lain yang kemajuan profesionalnya di China kini disertai borgol emas—semakin tinggi mereka melangkah, maka semakin ketat pula pembatasan kebebasan pribadinya.

Hubungan menyimpang antara kesuksesan dan pembatasan ini menunjukkan banyak hal tentang prioritas China. Proses persetujuan untuk perjalanan internasional telah menjadi hampir seperti Kafkaesque dalam kompleksitasnya.



Di beberapa wilayah, warga negara China harus mendapatkan dukungan dari lima pejabat pemerintah yang berbeda hanya untuk mengajukan paspor. Bagi para pendidik di kota-kota seperti Wuhan, proses ini melibatkan berbagai lapisan persetujuan birokrasi—dari otoritas sekolah hingga biro pendidikan distrik dan akhirnya ke kantor pendidikan kota.

Pelanggaran Deklarasi Universal HAM



Sistem yang berliku-liku ini tidak hanya berfungsi sebagai penghalang praktis, tetapi juga penghalang psikologis, yang mencegah warga negara China untuk mempertimbangkan perjalanan internasional.

Mungkin yang paling jelas adalah fokus khusus pemerintah pada para pendidik dan siswa. Penargetan lembaga akademis menunjukkan kecemasan yang lebih dalam tentang kontrol ideologis.

Dengan membatasi kemampuan guru dan siswa untuk merasakan budaya dan sistem pendidikan yang berbeda, pemerintah China secara efektif membangun tirai besi intelektual.

Kebijakan ini tampaknya secara khusus ditujukan untuk mencegah keluarga menggunakan pendidikan luar negeri sebagai batu loncatan menuju emigrasi, sebuah fenomena yang dijuluki dengan nama gerakan "lari”.

Penerapan pembatasan ini secara khusus lebih agresif di universitas. Anggota fakultas di lembaga seperti Universitas Wuhan harus menyerahkan paspor mereka dalam waktu tujuh hari setelah menerimanya, sementara staf di Universitas Taizhou memerlukan izin khusus untuk setiap perjalanan pribadi ke luar negeri.

Langkah-langkah ini merupakan erosi signifikan terhadap kebebasan akademis dan pertukaran ilmiah internasional, elemen penting bagi perkembangan intelektual dan budaya suatu negara.

Pembatasan sektor perbankan mengungkap dimensi kontrol lainnya—tekad China untuk mempertahankan cengkeramannya pada arus keuangan dan mencegah pelarian modal. Dengan membatasi kemampuan bankir untuk bepergian, pemerintah secara efektif menciptakan kelas profesional keuangan yang terkungkung, memastikan bahwa modal manusia dan keuangan tetap berada di dalam batas wilayah China.

Pembatasan ini merupakan pelanggaran yang jelas terhadap Pasal 13 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang menjamin hak untuk meninggalkan negara mana pun, termasuk negara sendiri.

Namun, pemerintah China tampaknya tidak tergerak oleh standar hak asasi manusia internasional, memprioritaskan kontrol atas kebebasan individu dengan cara yang mengingatkan pada era Perang Dingin. Dampak psikologis dari pembatasan ini tidak dapat diremehkan.

Warga negara China secara efektif diberi tahu bahwa kesuksesan profesional mereka mengorbankan kebebasan pribadi mereka, menciptakan populasi “tahanan” berpendidikan tinggi dalam sangkar emas.

Pembatasan Hak Fundamental



Karena China memposisikan dirinya sebagai negara adikuasa global, pembatasan perjalanan ini menunjukkan ketidakamanan mendalam pada inti model tata kelolanya. Pemimpin global yang benar-benar percaya diri tidak perlu memenjarakan warganya atau takut terpapar pada ide dan budaya berbeda.

Sebaliknya, tindakan China menunjukkan rezim yang memandang keinginan warganya sendiri untuk mendapatkan pengalaman internasional sebagai ancaman yang harus dikekang, bukan peluang yang harus dirangkul.

Implikasi dari kebijakan ini jauh melampaui ketidaknyamanan individu. Kebijakan ini merupakan upaya sistematis untuk mengisolasi masyarakat China dari pengaruh global, menciptakan populasi yang berprestasi secara profesional tetapi terisolasi secara internasional.

Isolasi ini melayani kepentingan negara dalam mempertahankan kendali ideologis tetapi mengorbankan perkembangan budaya dan intelektual China di dunia yang semakin saling terhubung.

Fondasi negara China bertumpu pada bangunan manipulasi dan kontrol yang dibangun dengan hati-hati, di mana setiap aspek kehidupan warga negara tunduk pada pengawasan dan pembatasan. Dari Tembok Api Besar (Great Firewall) yang menyensor informasi digital hingga sistem kredit sosial yang memantau dan menilai perilaku, dan sekarang pembatasan perjalanan ketat ini, CCP telah menciptakan perangkat penindasan canggih yang akan membuat Big Brother Orwell iri.

Manipulasi sistematis ini melampaui kontrol fisik belaka. Sistem ini berupaya membentuk ulang pikiran, mimpi, dan aspirasi warga, menciptakan populasi yang menyensor diri dan membatasi diri sendiri karena ketakutan dan kepatuhan yang mengakar.

Pembatasan perjalanan hanyalah salah satu manifestasi nyata dari sistem yang lebih dalam dan lebih berbahaya yang dirancang untuk mempertahankan kekuasaan melalui penundukan penuh otonomi individu warga China terhadap otoritas negara.

Pembatasan perjalanan China menjadi pengingat bagaimana kontrol otoriter dapat terwujud di era modern—bukan melalui penghalang fisik yang jelas seperti Tembok Berlin, tetapi melalui mekanisme birokrasi yang mencapai efek yang sama dengan efisiensi lebih besar dan drama yang tidak terlalu terlihat. Namun hasilnya sama: populasi yang hak fundamentalnya untuk bergerak bebas telah dikorbankan di altar kontrol negara.
(mas)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More