AS Pertahankan Kepemimpinan Sains

Kamis, 16 Juli 2020 - 10:07 WIB
Perspektif pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sebelumnya adalah mahasiswa internasional harus dideportasi karena mayoritas adalah imigran non-Eropa. Foto/dok
WASHINGTON - Perspektif pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sebelumnya adalah mahasiswa internasional harus dideportasi karena mayoritas adalah imigran non-Eropa. Kebijakan bernuansa nasionalis jelang pemilu presiden pada November mendatang dibatalkan karena kepentingan bisnis yang menguntungkan dengan kehadiran mahasiswa asing tersebut.

Kebijakan Trump tentang pengusiran mahasiswa internasional dinilai rasial karena mayoritas mahasiswa asing berasal dari Asia sekitar 70% dan mayoritas berasal dari China. Trump juga memanfaatkan isu ketertinggalan akses pendidikan bagi warga AS sendiri. Pemerintahan Partai Republik sepertinya menilai bahwa pendidikan AS bagi mahasiswa asing justru memberikan kontribusi bagi negara lain.

Tentunya pandangan pemerintahan Trump itu dinilai keliru oleh kalangan kampus di AS. Justru dengan semakin banyak mahasiswa asing di negeri itu menunjukkan kepemimpinan AS di bidang ilmu pengetahuan. Dunia hingga saat ini masih mengakui program kampus di AS memiliki kelebihan dalam bidang teknik dan inovasi.



Kemajuan AS juga didukung banyaknya mahasiswa asing yang ikut berkontribusi. Bagaimana Silicon Valley berkembang di Santa Clara karena kehadiran Stanford dan UC Berkeley di mana banyak mahasiswa asing juga ikut berkontribusi besar. Banyak mahasiswa internasional mendorong inovasi teknologi dan menjadikan AS bisa bersaing di ekonomi global. (Baca: Pompeo: Dunia Akan membuat China Membayar Atas Pandemi Covid-19)

Pertimbangan dampak ekonomi kehadiran mahasiswa internasional bagi AS juga menjadi pertimbangan utama pemerintahan Trump membatalkan kebijakan pengusiran mereka. Departemen Perdagangan AS menyebutkan mahasiswa asing berkontribusi sebanyak USD45 miliar (Rp655 triliun) bagi ekonomi AS pada 2018. Selain itu, mereka juga berkontribusi 340.000 pekerjaan bagi warga AS. Tak bisa dibayangkan jika Trump mengusir mahasiswa asing, AS akan kehilangan pendapatan besar dan semakin banyak warganya yang kehilangan pekerjaan.

Gugatan hukum dari delapan negara bagian dan perlawanan dari ratusan universitas juga menjadikan pemerintahan Trump berpikir berulang kali. Bagaimanapun, pemerintahan negara bagian adalah sendi utama demokrasi di AS. Jika mereka bersatu, pemerintahan federal pun tak punya kuasa besar. Perlawanan kampus AS juga menunjukkan bahwa mereka bukan hanya peduli terhadap mahasiswa asing, tetapi mereka peduli terhadap nasib AS yang terdampak parah akibat pandemi corona.

Kebijakan pembatalan pengusiran mahasiswa asing juga merupakan langkah mengejutkan. Pada persidangan yang digelar pada Selasa (14/7) waktu setempat, Hakim Distrik Allison Burroughs di Massachusetts menyebutkan Pemerintah AS dan dua kampus elite AS telah mencapai kesempatan. “Pemerintah AS menarik aturan baru dan kembali pada status quo,” katanya. Sidang itu hanya berlangsung empat menit.

Namun, seorang pejabat senior Departemen Keamanan Dalam Negeri menyatakan pemerintah masih berniat menerbitkan aturan dalam beberapa pekan mendatang mengenai nasib mahasiswa asing yang bertahan di AS dengan menjalani kuliah online. “Detail mengenai aturan itu masih didiskusikan,” ujar pejabat yang enggan disebutkan namanya, dilansir Reuters. (Baca juga: Neraca Dagang Juni Diprediksi Surplus, tapi Lebih Kontet)

Koalisi pemerintah negara bagian AS yang juga mengajukan gugatan hukum menyebutkan pemerintahan Trump telah bertindak sepihak. Trump telah menjadikan kesehatan mahasiswa dan komunitas semakin berisiko. “Di tengah krisis ekonomi dan kesehatan publik, kita tidak butuh pemerintah federal membahayakan warga AS dan membuang waktu dengan kebijakan yang berbahaya,” ucap Jaksa Agung Negara Bagian California Xavier Becerra.

Sebelumnya, dua kampus paling bergengsi di AS, Universitas Harvard dan Massachusetts Institute of Technology (MIT), mengajukan gugatan hukum dan meminta pengadilan untuk membatalkan peraturan yang mengancam mahasiswa internasional akan dideportasi. Aksi dua kampus itu juga didukung koalisi kampus AS.

Gugatan diajukan kepada Imigrasi dan Bea Cukai AS (ICE) yang sebelumnya menyatakan pelajar asing yang kegiatan belajar mengajarnya pindah menuju kelas online akibat wabah virus corona Covid-19 harus pulang ke negara asalnya. Baik Harvard dan MIT menilai kebijakan ICE berjalan tanpa indikasi telah mempertimbangkan kesehatan siswa, staf pengajar, staf universitas, atau komunitas dan meninggalkan ratusan ribu mahasiswa internasional tanpa pilihan pendidikan di AS.

Biaya kuliah dari mahasiswa internasional menjadi sumber pendapatan utama bagi universitas. Departemen Pendidikan AS menyebutkan, lebih dari 20% pendapatan kampus berasal dari biaya kuliah mahasiswa. Apalagi, mahasiswa internasional harus membayar kuliah lebih mahal dibandingkan mahasiswa asal AS. Mahasiswa internasional bisa membayar kuliah dua kali lipat dibandingkan mahasiswa AS.

Otto Saymeh (26) mahasiswa Universitas Columbia, asal Suriah, belajar arsitektur di AS sejak 2013 karena dia ingin melarikan diri dari perang sipil. Dia pun tidak pernah kembali ke Damaskus sejak datang di AS. “Saya senang bisa mendapatkan kesempatan belajar di AS. Dikarenakan pandemi, saya pun tidak berpikir bisa kembali ke Damaskus dalam waktu cepat,” katanya, dilansir Financial Times.

Saymeh memanfaatkan kesempatan kuliah di AS sekaligus untuk mendapatkan suaka. Dia mendapatkan status itu pada 2019 dan dia pun sedang dalam proses menjadi warga negara AS. Namun, di saat krisis pandemi ini, pertanyaan identitasnya pun semakin menjadi perhatiannya. “Saya memiliki identitas ganda. Saya lahir dan besar di Suriah selama 19 tahun, tetapi saya tinggal di sini (AS),” tuturnya. (Lihat videonya: Viral, Janda di Bangka Belitung Jual Rumah Beserta Pemilik)

Sebenarnya pembatalan keputusan Pemerintahan Trump juga berkaitan karena khawatir AS akan kehilangan pasar sebagai tujuan studi bagi mahasiswa internasional. Apalagi, banyak negara lain seperti Inggris, Belanda, hingga Kanada justru ingin memanfaatkan kesempatan untuk merebut pasar mahasiswa internasional yang hendak lari dari AS.

“Rencana Pemerintahan Trump bisa mengubah banyak calon mahasiswa batal mengajukan studi di AS. Mereka bisa berpikir opsi lain,” sebut David Lewis, konsultan pendidikan AS. Lewis biasanya mempromosikan kampus AS bagi mahasiswa asing asal China untuk belajar ilmu komputer dan hukum.

Lewis mengungkapkan, 95% mahasiswa mengajukan aplikasi kampus, baik AS dan Inggris. Itu dikarenakan Inggris ingin mengambil kesempatan besar jika AS mengusir mahasiswa asing. Kanada juga bersiap mengambil keuntungan. (Andika H Mustaqim)
(ysw)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More