Cara Denmark Mengatasi Korupsi dan Perbandingannya dengan Indonesia
loading...
A
A
A
COPENHAGEN - Laporan Corruption Perception Index 2021 yang dirilis lembaga pemerhati praktik korupsi global Transparency Internasional menunjukkan Denmark menduduki posisi pertama sebagai negara paling antikorupsi di dunia.
Dengan penilaian dari 180 negara yang diukur dengan skala 0 (sangat korup) hingga 100 (sangat bersih), Denmark berhasil meraih skor 88.
National Geographic menyatakan, selama tujuh tahun berturut-turut Denmark juga didapuk sebagai tiga besar negara paling bahagia di dunia versi World Happiness Report.
Dengan pemerintahan stabil, mudahnya akses kesehatan dan pendidikan, hingga angka korupsi rendah, tentu saja kesejahteraan begitu dirasakan oleh masyarakat Denmark.
Lalu bagaimana caranya Denmark bisa mencapai angka tertinggi dalam keberhasilan pemberantasan korupsi?
Dokumen Pemberantasan Korupsi di Denmark menunjukkan, negara ini memiliki lembaga Ombudsman bernama Folketingets Ombudsmand atau Danish Parlimentary Ombudsman.
Lembaga yang didirikan pada tahun 1955 ini adalah lembaga independen sebagai sarana kepentingan publik yang berporos pada pemerhati transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi pemerintahan.
Ombudsman bertanggung jawab menjadi pengawas, penasihat, dan penyidik pejabat apabila menyalahgunakan kekuasaan.
Namun, peran Ombudsman tidak bisa berjalan dengan optimal bila tidak ada penegak hukum yang baik. Beruntung, di Denmark, penegakan hukum bergerak secara adil dan tidak pandang bulu.
Semua pelaku korupsi dan perusahaan atau penyuap mendapatkan hukuman sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Hukumonline.com menyebutkan, Duta Besar Denmark untuk Indonesia Rasmus Abildgaard Kristensen dalam diskusi “Evaluasi Capaian Indonesia Atas Komitmen Antikorupsi Internasional” pada 2018 mengatakan bahwa parlemen Denmark memiliki komitmen tinggi dalam memberantas korupsi.
Bukan polisi atau lembaga antikorupsi yang mengepalai pemberantasan korupsi, tapi Ombudsman dan auditor negara yang terintregasi langsung dengan pemerintahan.
Selain itu, penjabat Denmark cenderung memiliki gaya hidup yang jauh dari kemewahan. Politikus negara menjadi panutan bagi masyarakat dengan cara hidup yang sederhana, termasuk dalam hal kecil seperti menggunakan sepeda saat pergi ke kantor dan mengenakan jas yang tidak mewah.
Para pejabat di parlemen pemerintahan juga memiliki inisiatif dalam melakukan publikasi pengeluaran bulanan mereka.
Kebijakan transparansi bernama “Skema Keterbukaan” ini sudah diberlakukan sejak tahun 2009 dan menjadi upaya pengawasan yang efektif untuk memantau perilaku para pejabat negara.
Meskipun begitu, bukan berarti Denmark sepenuhnya “bersih”. Mereka masih menghadapi problem nepotisme dalam hal relasi bisnis.
Lalu bagaimana di Indonesia? Mengutip dari Jurnal Perbandingan Penanganan Tindak Pidana Korupsi di Negara Singapura dan Indonesia, pemberantasan korupsi di Indonesia masih sepenuhnya dipegang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, dan Polri.
Memang, Indonesia mempunyai unit pengawas yang bertugas memantau aktivitas keuangan. Sebut saja, Badan Pengawas Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP).
Di luar itu, ada Indonesia Corruption Watch (ICW) sebagai lembaga swadaya masyarakat. Namun dalam praktoknya, lembaga-lembaga ini tidak bisa melakukan pengawasan secara menyeluruh.
Tugas mengawasi aliran dana (perbankan) justru dibebankan pada Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan (PPATK) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Kewenangan yang tumpang tindih itu membuat kasus korupsi tidak bisa diselesaikan dengan baik karena bisa saja saling lempar tangan atau justru berebut.
Selain itu, kebanyakan kasus korupsi di Indonesia nampak hanya terlihat terus-terusan melakukan penyelidikan dan menjatuhkan vonis, tapi tidak ada tindakan yang benar-benar membuat pelaku korupsi jera.
Ditambah lagi, kita melihat bahwa banyak pejabat di Indonesia yang bergaya hidup konsumtif, menginginkan kekuasaan, sehingga mudah tergiur dengan iming-iming cuan demi memuaskan dahaga akan kekayaan.
Cara pikir yang sudah mengakar sejak zaman dulu ini kemudian menciptakan budaya korupsi yang berkembang di Tanah Air.
Bahkan Indonesia menempati urutan ke-96 dalam Corruption Perception Index 2022 yang dirilis Transparency Internasional, dengan skor 38.
Meskipun dikatakan angka tersebut sudah lebih baik dari sebelumnya, namun tentu korupsi ini tidak akan pernah hilang ataupun beres jika tidak ada koordinasi yang baik antara lembaga pemerintah berwenang, pemahaman masyarakat, serta kesadaran pribadi dari mereka yang memiliki jabatan.
Dengan penilaian dari 180 negara yang diukur dengan skala 0 (sangat korup) hingga 100 (sangat bersih), Denmark berhasil meraih skor 88.
National Geographic menyatakan, selama tujuh tahun berturut-turut Denmark juga didapuk sebagai tiga besar negara paling bahagia di dunia versi World Happiness Report.
Dengan pemerintahan stabil, mudahnya akses kesehatan dan pendidikan, hingga angka korupsi rendah, tentu saja kesejahteraan begitu dirasakan oleh masyarakat Denmark.
Lalu bagaimana caranya Denmark bisa mencapai angka tertinggi dalam keberhasilan pemberantasan korupsi?
Dokumen Pemberantasan Korupsi di Denmark menunjukkan, negara ini memiliki lembaga Ombudsman bernama Folketingets Ombudsmand atau Danish Parlimentary Ombudsman.
Lembaga yang didirikan pada tahun 1955 ini adalah lembaga independen sebagai sarana kepentingan publik yang berporos pada pemerhati transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi pemerintahan.
Ombudsman bertanggung jawab menjadi pengawas, penasihat, dan penyidik pejabat apabila menyalahgunakan kekuasaan.
Namun, peran Ombudsman tidak bisa berjalan dengan optimal bila tidak ada penegak hukum yang baik. Beruntung, di Denmark, penegakan hukum bergerak secara adil dan tidak pandang bulu.
Semua pelaku korupsi dan perusahaan atau penyuap mendapatkan hukuman sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Hukumonline.com menyebutkan, Duta Besar Denmark untuk Indonesia Rasmus Abildgaard Kristensen dalam diskusi “Evaluasi Capaian Indonesia Atas Komitmen Antikorupsi Internasional” pada 2018 mengatakan bahwa parlemen Denmark memiliki komitmen tinggi dalam memberantas korupsi.
Bukan polisi atau lembaga antikorupsi yang mengepalai pemberantasan korupsi, tapi Ombudsman dan auditor negara yang terintregasi langsung dengan pemerintahan.
Selain itu, penjabat Denmark cenderung memiliki gaya hidup yang jauh dari kemewahan. Politikus negara menjadi panutan bagi masyarakat dengan cara hidup yang sederhana, termasuk dalam hal kecil seperti menggunakan sepeda saat pergi ke kantor dan mengenakan jas yang tidak mewah.
Para pejabat di parlemen pemerintahan juga memiliki inisiatif dalam melakukan publikasi pengeluaran bulanan mereka.
Kebijakan transparansi bernama “Skema Keterbukaan” ini sudah diberlakukan sejak tahun 2009 dan menjadi upaya pengawasan yang efektif untuk memantau perilaku para pejabat negara.
Meskipun begitu, bukan berarti Denmark sepenuhnya “bersih”. Mereka masih menghadapi problem nepotisme dalam hal relasi bisnis.
Lalu bagaimana di Indonesia? Mengutip dari Jurnal Perbandingan Penanganan Tindak Pidana Korupsi di Negara Singapura dan Indonesia, pemberantasan korupsi di Indonesia masih sepenuhnya dipegang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, dan Polri.
Memang, Indonesia mempunyai unit pengawas yang bertugas memantau aktivitas keuangan. Sebut saja, Badan Pengawas Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP).
Di luar itu, ada Indonesia Corruption Watch (ICW) sebagai lembaga swadaya masyarakat. Namun dalam praktoknya, lembaga-lembaga ini tidak bisa melakukan pengawasan secara menyeluruh.
Tugas mengawasi aliran dana (perbankan) justru dibebankan pada Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan (PPATK) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Kewenangan yang tumpang tindih itu membuat kasus korupsi tidak bisa diselesaikan dengan baik karena bisa saja saling lempar tangan atau justru berebut.
Selain itu, kebanyakan kasus korupsi di Indonesia nampak hanya terlihat terus-terusan melakukan penyelidikan dan menjatuhkan vonis, tapi tidak ada tindakan yang benar-benar membuat pelaku korupsi jera.
Ditambah lagi, kita melihat bahwa banyak pejabat di Indonesia yang bergaya hidup konsumtif, menginginkan kekuasaan, sehingga mudah tergiur dengan iming-iming cuan demi memuaskan dahaga akan kekayaan.
Cara pikir yang sudah mengakar sejak zaman dulu ini kemudian menciptakan budaya korupsi yang berkembang di Tanah Air.
Bahkan Indonesia menempati urutan ke-96 dalam Corruption Perception Index 2022 yang dirilis Transparency Internasional, dengan skor 38.
Meskipun dikatakan angka tersebut sudah lebih baik dari sebelumnya, namun tentu korupsi ini tidak akan pernah hilang ataupun beres jika tidak ada koordinasi yang baik antara lembaga pemerintah berwenang, pemahaman masyarakat, serta kesadaran pribadi dari mereka yang memiliki jabatan.
(sya)