Biden Tinggalkan Citra 'Pria Tangguh' untuk Capai Kesepakatan Tentang Kontrol Senjata
loading...
A
A
A
OTTAWA - Joe Biden mengabaikan pose publik Amerika Serikat (AS) yang mencoba bertindak keras terhadap Moskow untuk mencapai kesepakatan tentang pengendalian senjata nuklir dengan Vladimir Putin. Pemimpin AS dan Rusia itu bertemu di Jenewa, Swiss pada pertengahan Juni.
Setelah pembicaraan mereka di Jenewa, Biden dan Putin sepakat untuk membentuk Dialog Stabilitas Strategis baru untuk mengurangi risiko konflik antara dua kekuatan termonuklir yang dominan di dunia.
"Pihak Amerika meminta pertemuan itu setelah dua kegagalan 'pria tangguh': upaya kudeta di Belarus dan 'pendudukan' Crimea," kata mantan diplomat Kanada, Patrick Armstrong.
"Jadi, satu tujuan penting dari pertemuan itu tercapai dengan kesepakatan untuk membicarakan kontrol senjata: pihak Amerika membutuhkannya dan Moskow lebih menyukai stabilitas dan prediktabilitas," sambungnya, seperti dilansir Sputnik.
Pada 1990-an, ucap Armstrong, Amerika percaya bahwa mereka tidak perlu lagi memperhatikan Rusia, sehingga membiarkan perjanjian kontrol senjata era Perang Dingin berakhir.
"Rusia telah jauh lebih maju dari AS dalam persenjataan strategis dan elemen-elemen yang masuk akal dalam struktur keamanan AS sekarang menginginkan perjanjian senjata karena kekuatan Rusia tidak dapat diabaikan," katanya.
Namun, Armstrong juga memperingatkan penolakan keras yang akan dihadapi Biden di front domestik.
"Begitu gilanya keadaan pikiran di AS bahwa liputan domestik tidak lain adalah perselisihan partisan tentang apakah dia menghina Putin dengan benar dan memadai," ucapnya.
Pria yang pernah menjabat sebagai penasihat di Kedutaan Besar Ottawa di Moskow mengatakan bahwa pada titik tertentu tatanan baru akan menghantam Washington, bahkan sebelum beradaptasi.
"Washington tidak dapat menerima bahwa Rusia dan China akan berjalan dengan caranya sendiri, bahwa mereka bangkit saat jatuh, bahwa waktu perkuliahan telah berakhir. Jadi, saya berharap tidak ada perubahan sampai kenyataan baru tiba dengan cara yang tidak dapat diabaikan oleh siapa pun di Washington," tukasnya.
Setelah pembicaraan mereka di Jenewa, Biden dan Putin sepakat untuk membentuk Dialog Stabilitas Strategis baru untuk mengurangi risiko konflik antara dua kekuatan termonuklir yang dominan di dunia.
"Pihak Amerika meminta pertemuan itu setelah dua kegagalan 'pria tangguh': upaya kudeta di Belarus dan 'pendudukan' Crimea," kata mantan diplomat Kanada, Patrick Armstrong.
"Jadi, satu tujuan penting dari pertemuan itu tercapai dengan kesepakatan untuk membicarakan kontrol senjata: pihak Amerika membutuhkannya dan Moskow lebih menyukai stabilitas dan prediktabilitas," sambungnya, seperti dilansir Sputnik.
Pada 1990-an, ucap Armstrong, Amerika percaya bahwa mereka tidak perlu lagi memperhatikan Rusia, sehingga membiarkan perjanjian kontrol senjata era Perang Dingin berakhir.
"Rusia telah jauh lebih maju dari AS dalam persenjataan strategis dan elemen-elemen yang masuk akal dalam struktur keamanan AS sekarang menginginkan perjanjian senjata karena kekuatan Rusia tidak dapat diabaikan," katanya.
Namun, Armstrong juga memperingatkan penolakan keras yang akan dihadapi Biden di front domestik.
"Begitu gilanya keadaan pikiran di AS bahwa liputan domestik tidak lain adalah perselisihan partisan tentang apakah dia menghina Putin dengan benar dan memadai," ucapnya.
Pria yang pernah menjabat sebagai penasihat di Kedutaan Besar Ottawa di Moskow mengatakan bahwa pada titik tertentu tatanan baru akan menghantam Washington, bahkan sebelum beradaptasi.
"Washington tidak dapat menerima bahwa Rusia dan China akan berjalan dengan caranya sendiri, bahwa mereka bangkit saat jatuh, bahwa waktu perkuliahan telah berakhir. Jadi, saya berharap tidak ada perubahan sampai kenyataan baru tiba dengan cara yang tidak dapat diabaikan oleh siapa pun di Washington," tukasnya.
(esn)