Pertarungan Diplomasi Negara Kuat Berbalut Donasi Vaksin Covid-19
loading...
A
A
A
"Jika bisa mengambil momen, satu hal yang penting, Rusia dan China akan menjadi pemenang," Simon Frankel Pratt, dosen kajian internasional di Universitas Bristol, dan Jamie Levin, pakar politik Universitas St. Francis Xavier, dilansir Foreign Policy.
Jika pandemi tidak berlangsung hingga beberapa tahun ke depan, maka dunia tidak melihat reorientasi geopoitik.Jika permintaan vaksin tetap tinggi dalam jangka panjang, maka kompetisi di antara negara-negara besar seperti China, Rusia, AS dan Uni Eropa (UE) juga akan semakin ketat. Kondisi ini akan menghasilkan keseimbangan global yang berbeda dibandingkan saat ini. Siapa yang dominasi menjadi pemasok vaksin, maka dia akan menjadi pemenangnya.
"Namun, jika vaksin tetap dibutuhkan kedepannya, itu akan menjadi cerita yang lain," papar Pratt dan Levin.
Luisa Chainferber dari Universitas Seton Hall, New Jersey, Amerika Serikat, juga menyebutkan Rusia dan China sudah memenangkan diplomasi vaksin. "Selain China dan Rusia, India juga sudah menjadi pemain kuat dalam diplomasi vaksin karena sudah menyuplain vaksin ke 95 negara. Apalagi, vaksin asal India juga difavoritkan banyak negara berkembang," katanya dilansir International Policy Digest.
China memang menjadi pemenang yang utama. Beijing sudah memvaksin 40% penduduknya pada Juni ini. Kapasitas produksi harian Sinovac dan Sinopharm juga mencapai lima juta dosis.
"China sukses memfokuskan diri setelah mengekspor pandemi, kini menjadi sumber solusi bagi pandemi," kata Roie Yellinek, peneliti Middle East Institute.
Beijing juga menjadikan diplomasi vaksin untuk menarik perhatian global dan untuk mendukung agenda kebijakan luar negerinya, seperti Jalur Sutra Kesehatan. China akan mengirimkan bantuan medis ke negara-negara yang menjadi bagian Belt and Road Iniatiative.
Sedangkan vaksin Rusia yang awalnya dipandang skepis, kini justru menjanjikan 1,2 miliar dosis vaksin bagi lebih dari 50 nefara di Asia dan Afrika. Rusia akan memanfaatkan negara miskin yang tidak memiliki akses vaksin untuk diberi vaksin dan menjadi sekutu dan mengamakan dukungan geopolitik. Misalnya, Rusia mengirimkan vaksin ke Bolivia dengan imbalan untuk mendapatkan proyek tambang dan nuklir.
“Baik Rusia dan China memperluas kekuatan global di kawasan Selatan selama beberapa dekade terakhir,” kata Agathe Demarais, mantan diplomat Prancis. “Di masa pandemi, kedua negara tersebut juga mempercepat proses penguatan geopolitik di Selatan,” imbuhnya.
Jika pandemi tidak berlangsung hingga beberapa tahun ke depan, maka dunia tidak melihat reorientasi geopoitik.Jika permintaan vaksin tetap tinggi dalam jangka panjang, maka kompetisi di antara negara-negara besar seperti China, Rusia, AS dan Uni Eropa (UE) juga akan semakin ketat. Kondisi ini akan menghasilkan keseimbangan global yang berbeda dibandingkan saat ini. Siapa yang dominasi menjadi pemasok vaksin, maka dia akan menjadi pemenangnya.
"Namun, jika vaksin tetap dibutuhkan kedepannya, itu akan menjadi cerita yang lain," papar Pratt dan Levin.
Luisa Chainferber dari Universitas Seton Hall, New Jersey, Amerika Serikat, juga menyebutkan Rusia dan China sudah memenangkan diplomasi vaksin. "Selain China dan Rusia, India juga sudah menjadi pemain kuat dalam diplomasi vaksin karena sudah menyuplain vaksin ke 95 negara. Apalagi, vaksin asal India juga difavoritkan banyak negara berkembang," katanya dilansir International Policy Digest.
China memang menjadi pemenang yang utama. Beijing sudah memvaksin 40% penduduknya pada Juni ini. Kapasitas produksi harian Sinovac dan Sinopharm juga mencapai lima juta dosis.
"China sukses memfokuskan diri setelah mengekspor pandemi, kini menjadi sumber solusi bagi pandemi," kata Roie Yellinek, peneliti Middle East Institute.
Beijing juga menjadikan diplomasi vaksin untuk menarik perhatian global dan untuk mendukung agenda kebijakan luar negerinya, seperti Jalur Sutra Kesehatan. China akan mengirimkan bantuan medis ke negara-negara yang menjadi bagian Belt and Road Iniatiative.
Sedangkan vaksin Rusia yang awalnya dipandang skepis, kini justru menjanjikan 1,2 miliar dosis vaksin bagi lebih dari 50 nefara di Asia dan Afrika. Rusia akan memanfaatkan negara miskin yang tidak memiliki akses vaksin untuk diberi vaksin dan menjadi sekutu dan mengamakan dukungan geopolitik. Misalnya, Rusia mengirimkan vaksin ke Bolivia dengan imbalan untuk mendapatkan proyek tambang dan nuklir.
“Baik Rusia dan China memperluas kekuatan global di kawasan Selatan selama beberapa dekade terakhir,” kata Agathe Demarais, mantan diplomat Prancis. “Di masa pandemi, kedua negara tersebut juga mempercepat proses penguatan geopolitik di Selatan,” imbuhnya.