Miko Peled, Putra Jenderal Pendiri Israel yang Dianggap Pro-Palestina
loading...
A
A
A
TEL AVIV - Di antara segelintir Yahudi Israel , Miko Peled, menjadi sosok yang gencar "membela" Palestina dengan menyerukan rezim Zionis untuk menyerahkan Tepi Barat dan Jalur Gaza sepenuhnya kepada Palestina. Dia adalah putra Matti Peled, salah satu jenderal top Zionis yang berjasa dalam pendirian negara Yahudi.
Alasan pemikiran dan pergerakannya yang dianggap pro-Palestina dia tulis dalam buku berjudul "The General’s Son: Journey of an Israeli in Palestine" yang diterbitkan di Amerika Serikat (AS) pada 2012.
Setiap konflik Israel-Palestina pecah, Miko Peled kerap muncul menyuarakan perdamaian dengan solusi dua negara.
Ayahnya, Jenderal Matti Peled, merupakan pendukung perdamaian terkemuka dengan Palestina dari awal 1970-an hingga kematiannya. Matti Peled belajar bahasa Arab, dan setelah pensiun dari tentara, mengejar karier akademis sebagai profesor sastra Arab di Universitas Tel Aviv.
Selama ini, Matti Peled tetap menjadi seorang Zionis yang gigih, namun menganggap solusi dua negara sebagai pilihan terbaik bagi Israel dan Palestina. Pada pertengahan 1970-an, sang jenderal meminta pemerintah Israel untuk bernegosiasi dengan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), dan mulai bertemu dengan para pemimpin penting PLO; termasuk almarhum Yasser Arafat.
Putra sang jenderal menjelaskan konsekuensi pedih dari tindakan berani ayahnya; “Tidak lama kemudian teman-teman berhenti mengundang dia dan Ibu saya ke acara sosial. Dia menjadi paria politik dan sosial.”
Sejak itu, Miko bertekad akan mengikuti jejak Ayahnya. Inilah perjalanan politik dan moral yang dia suarakan, memadukan peristiwa kehidupan pribadinya dengan peristiwa di Timur Tengah.
Miko dibesarkan di sebuah rumah di Yerusalem Barat. Miko mengagumi dan berbagi kecenderungan orangtuanya, tetapi tidak cenderung untuk menduplikasi aktivisme Ayahnya.
Tetap saja, teman-teman sekelas Israel-nya memanggilnya sebagai “pecinta Arab”, meskipun dia tidak memiliki satu pun teman Palestina. Kisah Miko tentang masa kecilnya sangat menarik, terutama saat ia menggambarkan latar belakang yang beragam dari kakek-neneknya dan memberikan pandangan pribadi tentang orang-orang Israel terkemuka. Hal ini juga luar biasa dalam mengungkapkan betapa terpisahnya kedua masyarakat itu.
Alasan pemikiran dan pergerakannya yang dianggap pro-Palestina dia tulis dalam buku berjudul "The General’s Son: Journey of an Israeli in Palestine" yang diterbitkan di Amerika Serikat (AS) pada 2012.
Setiap konflik Israel-Palestina pecah, Miko Peled kerap muncul menyuarakan perdamaian dengan solusi dua negara.
Ayahnya, Jenderal Matti Peled, merupakan pendukung perdamaian terkemuka dengan Palestina dari awal 1970-an hingga kematiannya. Matti Peled belajar bahasa Arab, dan setelah pensiun dari tentara, mengejar karier akademis sebagai profesor sastra Arab di Universitas Tel Aviv.
Selama ini, Matti Peled tetap menjadi seorang Zionis yang gigih, namun menganggap solusi dua negara sebagai pilihan terbaik bagi Israel dan Palestina. Pada pertengahan 1970-an, sang jenderal meminta pemerintah Israel untuk bernegosiasi dengan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), dan mulai bertemu dengan para pemimpin penting PLO; termasuk almarhum Yasser Arafat.
Putra sang jenderal menjelaskan konsekuensi pedih dari tindakan berani ayahnya; “Tidak lama kemudian teman-teman berhenti mengundang dia dan Ibu saya ke acara sosial. Dia menjadi paria politik dan sosial.”
Sejak itu, Miko bertekad akan mengikuti jejak Ayahnya. Inilah perjalanan politik dan moral yang dia suarakan, memadukan peristiwa kehidupan pribadinya dengan peristiwa di Timur Tengah.
Miko dibesarkan di sebuah rumah di Yerusalem Barat. Miko mengagumi dan berbagi kecenderungan orangtuanya, tetapi tidak cenderung untuk menduplikasi aktivisme Ayahnya.
Tetap saja, teman-teman sekelas Israel-nya memanggilnya sebagai “pecinta Arab”, meskipun dia tidak memiliki satu pun teman Palestina. Kisah Miko tentang masa kecilnya sangat menarik, terutama saat ia menggambarkan latar belakang yang beragam dari kakek-neneknya dan memberikan pandangan pribadi tentang orang-orang Israel terkemuka. Hal ini juga luar biasa dalam mengungkapkan betapa terpisahnya kedua masyarakat itu.