Kejahatan Anti Asia di AS Melonjak, China Geram Sekaligus Sedih
loading...
A
A
A
BEIJING - China mengutuk lonjakan kejahatan rasial anti Asia di Amerika Serikat (AS). Beijing pun mengimbau Washington untuk mengatasi masalah tersebut pada malam pembicaraan tatap muka pertama antara Beijing dan Washington sejak Presiden Joe Biden menjabat.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian mengatakan kepada wartawan bahwa diskriminasi terhadap orang Amerika keturunan Asia, termasuk terhadap orang China, telah meningkat di AS selama periode waktu terakhir, dan mengatakan bahwa jumlah kejahatan rasial yang kejam juga telah meningkat.
"Para tetua etnis Asia yang tak berdaya telah diserang secara brutal, nyawa mereka berada dalam bahaya besar," kata Zhao.
"Tindakan keji seperti itu, lahir dari diskriminasi yang tidak masuk akal, membuat kami geram dan sedih," imbuhnya seperti dikutip dari Newsweek, Jumat (19/3/2021).
Dia kemudian merujuk pada sejarah permasalahan perselisihan etnis di AS, yang sistemnya telah diganggu oleh kekerasan dan diskriminasi terhadap berbagai kelompok minoritas, terutama orang kulit hitam, untuk waktu yang lama tanpa diperhatikan.
"Protes Black Lives Matter, yang dipicu oleh kematian orang Afrika-Amerika George Floyd setelah seorang perwira polisi kulit putih mencekik lehernya dengan lutut, telah melanda 50 negara bagian di AS dan mengejutkan seluruh komunitas internasional," ujar Zhao.
"Kekejaman seperti itu juga dikecam oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB. Kami berharap pihak AS akan mendengarkan tangisan rakyatnya sendiri dan komunitas internasional," sambungnya.
Pernyataan Zhao muncul dua hari setelah seorang pria kulit putih menembak mati delapan orang, enam di antaranya wanita Asia-Amerika, di tiga spa di Atlanta, Georgia. Sementara otoritas lokal belum secara resmi mengaitkan pembunuhan itu dengan rasisme, sejumlah selebritas, anggota parlemen, dan pejabat sejak itu mengeluarkan pernyataan yang mengaitkan pembantaian itu dengan gelombang kejahatan rasial anti-Asia yang lebih besar.
Dalam komentarnya, Zhao menyalahkan pemerintahan sebelumnya dari mantan Presiden Donald Trump, yang sering menyebut penyakit COVID-19 sebagai "virus China" dan dengan istilah lain yang merendahkan, serta istilah lain di AS yang mendorong narasi politik anti-China.
"Saya harus menunjukkan bahwa beberapa politisi di pemerintahan AS terakhir dan beberapa kekuatan anti-China di AS, yang berpegang pada pola pikir zero-sum game dan prasangka ideologis mereka, telah mengarang dan menyebarkan kebohongan dan disinformasi tentang China, mengipasi rasisme dan kebencian, memaafkan perilaku diskriminatif terhadap warga negara China di AS termasuk mahasiswa China, dan bahkan memata-matai, melecehkan, memeriksa silang, dan menangkap mereka tanpa alasan sama sekali," tutur Zhao.
Dia mendesak kepemimpinan AS saat ini untuk mengambil tindakan perbaikan, dan melindungi warga Chinanya.
"Pihak China sangat prihatin atas hal ini," cetus Zhao.
"Pihak AS harus mengambil langkah konkret untuk mengatasi masalah rasisme dan diskriminasi miliknya sendiri, dan memastikan keamanan dan hak yang sah serta kepentingan warga negara China di AS," ucapnya.
Sementara terkait kebijakan China di Xinjiang yang akan menjadi salah satu permasalahan yang akan dibicarakan di Alaska, Zhao sekali lagi membelanya.
"Apa yang disebut tuduhan 'kerja paksa', 'sterilisasi paksa' dan 'pelanggaran hak asasi manusia' di Xinjiang adalah kebohongan mengerikan yang sengaja dibuat dan disebarkan oleh beberapa 'akademisi' dan institusi dengan motif tersembunyi," katanya.
"Mereka menentang semua rasa keadilan dan moralitas dan telah memicu kemarahan yang kuat di antara orang-orang China. Siapa pun yang ingin menghormati dan mengenal China, siapa pun yang bebas dari niat jahat atau bias terhadap Xinjiang, harus tetap waspada dan menolak kebohongan yang tidak masuk akal seperti itu," tukasnya.
Saat AS dan Uni Eropa mempertimbangkan untuk mengambil tindakan terhadap China atas dugaan pelanggaran ini, Zhao berpendapat bahwa masalah yang berkaitan dengan Xinjiang adalah "murni urusan dalam negeri China".
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian mengatakan kepada wartawan bahwa diskriminasi terhadap orang Amerika keturunan Asia, termasuk terhadap orang China, telah meningkat di AS selama periode waktu terakhir, dan mengatakan bahwa jumlah kejahatan rasial yang kejam juga telah meningkat.
"Para tetua etnis Asia yang tak berdaya telah diserang secara brutal, nyawa mereka berada dalam bahaya besar," kata Zhao.
"Tindakan keji seperti itu, lahir dari diskriminasi yang tidak masuk akal, membuat kami geram dan sedih," imbuhnya seperti dikutip dari Newsweek, Jumat (19/3/2021).
Dia kemudian merujuk pada sejarah permasalahan perselisihan etnis di AS, yang sistemnya telah diganggu oleh kekerasan dan diskriminasi terhadap berbagai kelompok minoritas, terutama orang kulit hitam, untuk waktu yang lama tanpa diperhatikan.
"Protes Black Lives Matter, yang dipicu oleh kematian orang Afrika-Amerika George Floyd setelah seorang perwira polisi kulit putih mencekik lehernya dengan lutut, telah melanda 50 negara bagian di AS dan mengejutkan seluruh komunitas internasional," ujar Zhao.
"Kekejaman seperti itu juga dikecam oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB. Kami berharap pihak AS akan mendengarkan tangisan rakyatnya sendiri dan komunitas internasional," sambungnya.
Pernyataan Zhao muncul dua hari setelah seorang pria kulit putih menembak mati delapan orang, enam di antaranya wanita Asia-Amerika, di tiga spa di Atlanta, Georgia. Sementara otoritas lokal belum secara resmi mengaitkan pembunuhan itu dengan rasisme, sejumlah selebritas, anggota parlemen, dan pejabat sejak itu mengeluarkan pernyataan yang mengaitkan pembantaian itu dengan gelombang kejahatan rasial anti-Asia yang lebih besar.
Dalam komentarnya, Zhao menyalahkan pemerintahan sebelumnya dari mantan Presiden Donald Trump, yang sering menyebut penyakit COVID-19 sebagai "virus China" dan dengan istilah lain yang merendahkan, serta istilah lain di AS yang mendorong narasi politik anti-China.
"Saya harus menunjukkan bahwa beberapa politisi di pemerintahan AS terakhir dan beberapa kekuatan anti-China di AS, yang berpegang pada pola pikir zero-sum game dan prasangka ideologis mereka, telah mengarang dan menyebarkan kebohongan dan disinformasi tentang China, mengipasi rasisme dan kebencian, memaafkan perilaku diskriminatif terhadap warga negara China di AS termasuk mahasiswa China, dan bahkan memata-matai, melecehkan, memeriksa silang, dan menangkap mereka tanpa alasan sama sekali," tutur Zhao.
Dia mendesak kepemimpinan AS saat ini untuk mengambil tindakan perbaikan, dan melindungi warga Chinanya.
"Pihak China sangat prihatin atas hal ini," cetus Zhao.
"Pihak AS harus mengambil langkah konkret untuk mengatasi masalah rasisme dan diskriminasi miliknya sendiri, dan memastikan keamanan dan hak yang sah serta kepentingan warga negara China di AS," ucapnya.
Sementara terkait kebijakan China di Xinjiang yang akan menjadi salah satu permasalahan yang akan dibicarakan di Alaska, Zhao sekali lagi membelanya.
"Apa yang disebut tuduhan 'kerja paksa', 'sterilisasi paksa' dan 'pelanggaran hak asasi manusia' di Xinjiang adalah kebohongan mengerikan yang sengaja dibuat dan disebarkan oleh beberapa 'akademisi' dan institusi dengan motif tersembunyi," katanya.
"Mereka menentang semua rasa keadilan dan moralitas dan telah memicu kemarahan yang kuat di antara orang-orang China. Siapa pun yang ingin menghormati dan mengenal China, siapa pun yang bebas dari niat jahat atau bias terhadap Xinjiang, harus tetap waspada dan menolak kebohongan yang tidak masuk akal seperti itu," tukasnya.
Saat AS dan Uni Eropa mempertimbangkan untuk mengambil tindakan terhadap China atas dugaan pelanggaran ini, Zhao berpendapat bahwa masalah yang berkaitan dengan Xinjiang adalah "murni urusan dalam negeri China".
(ian)