Mobil Hantam Bom Rakitan, Dua Tentara Prancis Tewas
loading...
A
A
A
PARIS - Kepresidenan Prancis mengatakan dua tentara negara itu tewas ketika kendaraan mereka menabrak alat peledak rakitan di timur laut Mali pada hari Sabtu. Peristiwa ini terjadi hanya beberapa setelah tiga tentara Prancis lainnya tewas dengan cara yang sama.
"Presiden Prancis Emmanuel Macron sangat sedih atas kematian Sersan Yvonne Huynh dan Brigadir Loic Risser di wilayah Menaka," kata kantornya dalam sebuah pernyataan seperti dikutip dari Channel News Asia, Minggu (3/1/2021).
Huynh (33) adalah tentara wanita pertama yang dikirim ke wilayah Sahel itu sejak operasi militer Prancis dimulai. Sedangkan Risser berusia 24 tahun. Keduanya adalah anggota resimen dengan spesialisasi pekerjaan intelijen.
"Kendaraan mereka menabrak alat peledak rakitan selama misi intelijen," kata kepresidenan Prancis tentang insiden hari Sabtu kemarin.
"Tentara lain terluka dalam ledakan itu tetapi nyawa mereka tidak dalam bahaya," tambahnya.
Macron menegaskan tekad Prancis untuk melanjutkan perannya dalam perang melawan terorisme.(Baca juga: Macron: Brexit Adalah Produk dari Kebohongan dan Janji Palsu )
Menurut tentara, kematian terbaru ini membuat jumlah tentara Prancis tewas di Mali menjadi 50 sejak negara itu pertama kali melakukan intervensi militer pada Januari 2013 untuk membantu mengusir para ekstrimis Islam yang telah menguasai bagian-bagian negara Afrika barat itu.
Pasukan Barkhane Prancis berjumlah 5.100 tentara yang tersebar di seluruh wilayah Sahel yang gersang dan telah memerangi kelompok-kelompok ekstrimis bersama tentara dari Mauritania, Chad, Mali, Burkina Faso dan Niger, yang bersama-sama membentuk kelompok G5 Sahel.
Kelompok yang terkait dengan al-Qaeda untuk Mendukung Islam dan Muslim (GSIM) telah mengklaim bertanggung jawab atas serangan sebelumnya yang menewaskan tiga tentara Prancis di pusat negara bagian Sahel yang miskin itu. Kematian tersebut juga karena kendaraan tentara menghantam alat peledak.
Kelompok itu, aliansi utama teroris di Sahel, mengutip serangkaian alasan atas serangan itu termasuk berlanjutnya kehadiran militer Prancis di wilayah tersebut, kartun Nabi Muhammad SAW yang diterbitkan oleh sebuah surat kabar Prancis dan pembelaan Macron atas nama kebebasan berekspresi.(Baca juga: AS-Iran 'Kompak' Hadang Rencana Prancis untuk Lebanon )
"Presiden Prancis Emmanuel Macron sangat sedih atas kematian Sersan Yvonne Huynh dan Brigadir Loic Risser di wilayah Menaka," kata kantornya dalam sebuah pernyataan seperti dikutip dari Channel News Asia, Minggu (3/1/2021).
Huynh (33) adalah tentara wanita pertama yang dikirim ke wilayah Sahel itu sejak operasi militer Prancis dimulai. Sedangkan Risser berusia 24 tahun. Keduanya adalah anggota resimen dengan spesialisasi pekerjaan intelijen.
"Kendaraan mereka menabrak alat peledak rakitan selama misi intelijen," kata kepresidenan Prancis tentang insiden hari Sabtu kemarin.
"Tentara lain terluka dalam ledakan itu tetapi nyawa mereka tidak dalam bahaya," tambahnya.
Macron menegaskan tekad Prancis untuk melanjutkan perannya dalam perang melawan terorisme.(Baca juga: Macron: Brexit Adalah Produk dari Kebohongan dan Janji Palsu )
Menurut tentara, kematian terbaru ini membuat jumlah tentara Prancis tewas di Mali menjadi 50 sejak negara itu pertama kali melakukan intervensi militer pada Januari 2013 untuk membantu mengusir para ekstrimis Islam yang telah menguasai bagian-bagian negara Afrika barat itu.
Pasukan Barkhane Prancis berjumlah 5.100 tentara yang tersebar di seluruh wilayah Sahel yang gersang dan telah memerangi kelompok-kelompok ekstrimis bersama tentara dari Mauritania, Chad, Mali, Burkina Faso dan Niger, yang bersama-sama membentuk kelompok G5 Sahel.
Kelompok yang terkait dengan al-Qaeda untuk Mendukung Islam dan Muslim (GSIM) telah mengklaim bertanggung jawab atas serangan sebelumnya yang menewaskan tiga tentara Prancis di pusat negara bagian Sahel yang miskin itu. Kematian tersebut juga karena kendaraan tentara menghantam alat peledak.
Kelompok itu, aliansi utama teroris di Sahel, mengutip serangkaian alasan atas serangan itu termasuk berlanjutnya kehadiran militer Prancis di wilayah tersebut, kartun Nabi Muhammad SAW yang diterbitkan oleh sebuah surat kabar Prancis dan pembelaan Macron atas nama kebebasan berekspresi.(Baca juga: AS-Iran 'Kompak' Hadang Rencana Prancis untuk Lebanon )
(ber)