China Sebut Tuduhan Pelanggaran HAM Muslim Uighur Kebohongan Abad Ini

Selasa, 29 Desember 2020 - 23:32 WIB
loading...
China Sebut Tuduhan Pelanggaran HAM Muslim Uighur Kebohongan Abad Ini
China kerap membantah kamp penahanan Muslim Uighur sebagai kamp pendidikan ulang dan deradikalisasi. Foto/The New York Times
A A A
BEIJING - Kementerian Luar Negeri (Kemlu) China menyebut tuduhan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Xinjiang sebagai kebohongan abad ini. Pernyataan itu dikeluarkan setelah Kedutaan Amerika Serikat (AS) di Beijing me-retweet laporan Departemen Luar Negeri (Deplu) AS tentang penganiayaan sistemik terhadap minoritas Muslim Uighur.

Pada konferensi pers reguler, juru bicara kementerian Zhao Lijiang menyebut laporan pemerintah AS palsu, meskipun secara luas laporan publik bertentang dengan klaim China.

Kelompok hak asasi manusia dan laporan media yang dikutip oleh Deplu AS mengatakan lebih dari satu juta orang Uighur — Muslim Turki yang tinggal di wilayah Xinjiang barat laut China — telah ditahan di kamp pendidikan ulang, di mana mereka dipaksa untuk mempelajari budaya Han China dan diajari doktrin Partai Komunis.



Laporan terbaru juga mendokumentasikan kebijakan "kerja paksa" di daerah otonom. Ratusan ribu tahanan diyakini bekerja di pabrik atau memetik kapas di luar keinginan mereka untuk industri yang berkembang pesat yang mengekspor ke sejumlah negara termasuk AS.(Baca juga: Lebih dari 500 Ribu Muslim Uighur Kerja Paksa Jadi Pemetik Kapas )

Huawei juga dilaporkan terlibat dalam jurnal terbaru tentang pelanggaran hak asasi manusia. Raksasa telekomunikasi China itu dikatakan telah memasok teknologi pengenalan wajah yang memungkinkan pengawasan luas terhadap Uighur.(Baca juga: Terungkap, Alibaba Gunakan Software Pengenal Wajah Uighur )

"(Republik Rakyat China) telah menerapkan kebijakan represif selama puluhan tahun di Xinjiang menjadi ekstrem sejak April 2017, menahan lebih dari satu juta orang Uighur, etnis Kazakh dan Kirgiz, dan anggota kelompok agama minoritas di kamp-kamp interniran dalam upaya sistematis untuk menghapus identitas etnis dan budaya serta keyakinan agama mereka, dan mengontrol pertumbuhan populasi mereka," bunyi laporan Deplu AS.

Zhao, juru bicara Kemlu China, menggambarkan tuduhan itu sebagai disinformasi yang dibuat oleh politisi anti-China.

"Disinformasi di Xinjiang yang dibuat oleh beberapa politisi Amerika adalah 'kebohongan terbesar abad ini'," katanya seperti dikutip dari Newsweek, Selasa (29/12/2020).

Beijing secara konsisten membantah tuduhan penindasan etnis dan agama di daerah tersebut. Kamp konsentrasi digambarkan sebagai sekolah atau pusat kejuruan, di mana "pelajar" menjalani deradikalisasi sebagai bagian dari kampanye kontraterorisme.

Zhao mengutip konferensi pers baru-baru ini yang diadakan di Beijing, di mana pejabat pemerintah dan penduduk terpilih dari Xinjiang berbicara tentang stabilitas sosial dan pertumbuhan ekonomi di kawasan itu. Dia mendorong para pejabat AS untuk membaca transkripnya.

Pada jumpa pers itu, Zhao juga membidik para pejabat kedutaan AS karena gagal memenuhi tugas mereka dalam mempromosikan hubungan bilateral. Dia menuduh misi diplomatik tersebut menerbitkan lebih dari 60 informasi palsu.

Sementara itu, Beijing sebelumnya telah menolak seruan dari Uni Eropa dan negara-negara anggota PBB untuk mengizinkan pengamat independen masuk ke Xinjiang.

Selain penolakan, China juga telah memanfaatkan media pemerintah dalam upayanya untuk mendikte narasi di Xinjiang. Publikasi berbahasa Inggris seperti tabloid nasionalistik Global Times telah mengeluarkan laporannya sendiri dalam upaya untuk melawan penyelidikan yang antara lain dilakukan oleh BBC dan Institut Kebijakan Strategis Australia.(Baca juga: ICC Tolak Investigasi Penindasan China Terhadap Muslim Uighur )

Pada bulan Juli, pemerintahan Trump memberi sanksi kepada pejabat Partai Komunis yang dikatakan terkait atau terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang, yang berbatasan dengan Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan dan Afghanistan di barat, serta Pakistan dan India di selatan.

The Uyghur Human Rights Project mengatakan kepada Newsweek awal bulan ini bahwa ada beberapa kekhawatiran di antara komunitas Uighur bahwa pemerintahan Presiden terpilih Joe Biden yang akan datang tidak akan cukup tangguh menghadapi China.

"Namun, dukungan bipartisan tentang masalah di Washington dan kemampuan Biden untuk memerintahkan negara-negara koalisi untuk menekan China, keduanya merupakan tanda-tanda yang menggembirakan," kata LSM itu.
(ber)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1513 seconds (0.1#10.140)