Jadi Jalur Sutera Penyelundupan, Asia Tenggara Darurat Narkoba

Jum'at, 06 November 2020 - 10:11 WIB
loading...
Jadi Jalur Sutera Penyelundupan, Asia Tenggara Darurat Narkoba
Sejak lima tahun terakhir, Asia Tenggara telah menjadi jalur sutera penyelundupan dan perdagangan narkoba jenis metamfetamina. Foto/dok
A A A
BANGKOK - Asia Tenggara perlu mempererat kerja sama dalam perang melawan narkoba . Sejak lima tahun terakhir, Asia Tenggara telah menjadi jalur sutera penyelundupan dan perdagangan narkoba jenis metamfetamina.



Seperti dilansir CNN, jumlah obat sintetis yang disita otoritas berwenang di Asia Tenggara telah meningkat tujuh kali lipat sejak 2015. Bisnis narkoba kembali merekah karena berhasil menciptakan uang hingga ratusan juta dolar AS di tengah melebarnya ketimpangan ekonomi. Namun, dampaknya juga besar. (Baca: Amalan Ringan Ini Bisa Menjadi Pembawa Berkah)

Mayoritas sabu-sabu itu berputar di area Segitiga Emas antara Myanmar, Laos, dan Thailand. Wilayah Shan State di Myanmar menjadi salah satu tempat produksi terbesar. Pemerintah Myanmar pun melaksanakan operasi besar-besaran dengan menghancurkan laboratorium dan kompleks di wilayah hutan.

Negara tetangga Myanmar juga mengambil aksi serupa. Thailand menerjunkan polisi militer dan tentara untuk menangkal penyelundup narkoba yang menyusup melalui perbatasan barat daya antara Thailand dan Myanmar. Begitu pun dengan China yang menjaga ketat perbatasan agar narkoba tidak masuk ke Yunnan.

Cengkeraman yang diberikan Myanmar dan Thailand berhasil. Namun, hal itu menciptakan efek balon. Para penyelundup kini mengubah rute perjalanan menuju Laos yang diyakini bersikap lebih acuh dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya. Alhasil, perang narkoba kini masih menjadi masalah di kawasan.

Laos kini memegang peranan penting untuk turut serta dalam perang melawan narkoba. Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya dinilai perlu memperkuat kemitraan dengan Laos dalam menumpas kejahatan terorganisir dan menciptakan stabilitas kawasan. Apalagi Laos memiliki posisi wilayah yang strategis. (Baca juga: Mendikbud Sosialisasikan Perubahan Skema dana Bos)

Otoritas terkait Thailand menyatakan jumlah narkoba yang berasal dari Laos yang disita di wilayah timur laut Thailand meningkat sebesar 200%. Data serupa juga dikeluarkan pemerintah Vietnam. Belakangan ini Vietnam meningkatkan operasi perang narkoba di pegunungan yang berbatasan langsung dengan Laos.

Meningkatnya penyitaan narkoba di dekat Laos juga menunjukkan adanya peningkatan penggunaan sabu-sabu di Laos, tapi masih tidak sebanyak di negara Asia Tenggara lainnya. Selain itu, harga sabu-sabu hampir stabil di Asia Tenggara. Artinya, sebagian besar sabu-sabu berhasil didistribusikan dengan lancar.

Pengiriman narkoba kini diyakini transit di dekat Zona Ekonomi Khusus Segitiga Emas di Provinsi Bokeo, Laos Utara, yang dikuasai Zhao Wei Transnational, organisasi judi di Asia. Pemerintah Amerika Serikat (AS) menyatakan Zhao lebih dari sekadar organisasi judi tapi juga pencucian uang dan penyelundupan narkoba.

Sejauh ini aksi diplomatik dan penegakan hukum terkait narkoba di Laos dinilai masih lemah. Sebab, Laos dianggap bukan corong permasalahan narkoba. Namun, kini semuanya berbeda. Laos memiliki peran penting dan perlu dilibatkan dalam forum-forum internasional yang berbicara tentang keamanan kawasan. (Baca juga: Deteksi Dini Penting untuk Antisipasi Diabetes)

Pemerintah Asia Tenggara mengawasi perkembangan situasi di Laos dan berharap Laos akan mengambil aksi untuk menutupi celah yang dieksploitasi sindikat narkoba . Namun, tak ada negara yang mendorong Laos untuk segera melakukan aksi nyata. Padahal, Laos berada di kawasan Segitiga Emas perdagangan narkoba.

Bisnis Menggiurkan

Dari wilayah hutan di Myanmar hingga jalan raya di Filipina, polisi di seluruh Asia Tenggara berupaya memberantas pendistribusian narkoba jenis sabu-sabu. Meski menewaskan ribuan orang, permintaan terhadap sabu-sabu tidak pernah berhenti dan terus meroket. Produksinya terus meningkat di setiap tahun.

Sabu-sabu tidak lagi hanya disalahgunakan masyarakat miskin di Asia Tenggara, tapi sudah menjadi narkoba pilihan utama tanpa melihat kelas ekonomi, usia, atau jenis kelamin. Hal itu diungkapkan Jeremy Douglas dari Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) Asia Tenggara.

Selama 16 tahun bekerja di UNODC, Douglas mengaku tidak pernah melihat situasi seburuk ini. Para ahli menilai krisis sabu-sabu di Asia Tenggara dipicu isu geopolitik dan domestik. Mayoritas produksi juga dilakukan di pedalaman hutan di wilayah rawan di Thailand, Laos, dan Myanmar yang dikenal Segitiga Emas. (Baca juga: Resesi, Masyarakat Diminta Stop Belanja Kebutuhan Tak Penting)

Sementara itu, para kurir sabu-sabu menyembunyikan sabu-sabu di dalam barang lain yang dikirim secara luas melalui jalur-jalur perdagangan, termasuk infrastruktur baru yang menghubungkan Asia Tenggara. Keuntungannya yang bernilai ratusan juta dolar dicuci melalui skema keuangan yang amat rumit.

“Biasanya mereka menggunakan perusahaan resmi di negara yang pengawasannya kurang ketat,” ujar mantan Kepala Intelijen Strategis Polisi Australia John Coyne, dikutip CNN. “Kondisi itu merupakan kondisi yang menguntungkan bagi pebisnis sabu-sabu hingga akhirnya mewabah di Asia Tenggara,” tambahnya.

Penyelidikan, pelacakan, dan penyitaan sabu-sabu dalam skala besar dilakukan di seluruh kawasan Asia Tenggara. Produksinya diyakini terletak di negara bagian Shan State, Myanmar, wilayah yang bergejolak menyusul banyaknya militan dan gembong narkoba . Kelompok bersenjata di sana ingin memisahkan diri dari Myanmar.

Pemerintah Barat sering menuduh kelompok bersenjata di Shan State menggalang kekuatan ekonomi dari penjualan narkoba karena merupakan tempat yang subur dengan penegakan hukum yang lemah. Namun, kelompok bersenjata di Shan State membantah menjadikan narkoba sebagai sumber utama pendapatan. (Baca juga: Serangan Meningkat, Prancis Tingkatkan Keamanan di Perbatasan)

Sejumlah tokoh di Shan State menyatakan tanaman opium sudah lama dimusnahkan dan diganti dengan tanaman lain, seperti kopi, karet, dan teh. PBB juga menyatakan produksi dan distribusi heroin di Segitiga Emas menurun. Bagaimanapun para ahli menerangkan bisnis heroin di Shan State diganti dengan sabu-sabu.

“Hal itu didukung dengan banyak bukti,” kata Douglas. Keputusan itu tidak hanya dipaksa perubahan pasar tapi juga dimotivasi keuntungan yang tinggi dan produksi yang mudah. Tidak seperti heroin, sabu-sabu dapat dibuat di laboratorium yang dapat dipindah-pindahkan tanpa memerlukan pengolahan organik.

Sejak China mengeluarkan inisiatif One Belt One Road, proyek pembangunan infrastruktur dalam skala global, distribusi sabu-sabu juga dinilai menjadi lebih mudah dan cepat di Segitiga Emas. Saat ini sabu-sabu dari Shan State, baik dalam bentuk pil atau kristal, menyebar hingga Jepang, Selandia Baru, dan Australia.

Sabu-sabu senilai ASD1,04 miliar yang disita di Australia pada akhir 2017 juga diyakini berasal dari Shan State. Tahun ini pemerintah di Asia Tenggara seperti Thailand, Laos, Kamboja, Malaysia, dan Indonesia menggalakkan pemberantasan sabu-sabu. Dalam lima bulan penyitaan, totalnya melampaui penyitaan pada 2017. (Lihat videonya: Status Gunung Merapi Naik ke Level Siaga)

Pemerintah mengatakan para pengedar narkoba menggunakan jaringan keuangan yang rumit untuk menyembunyikan keuntungan dari penjualan sabu-sabu. Sejauh ini jaringan itu tidak diterangkan. Namun, aliran uangnya bermuara hingga Hong Kong yang sibuk dengan pergerakan uang, orang, dan barang.

“Bagi saya, hal itu terdengar masuk akal. Sebab, Hong Kong merupakan tempat yang tepat untuk proses tersebut,” kata pengamat intelijen dari Statfor, Evan Rees. Sejumlah pengedar juga diduga bekerja sama dengan perusahaan barang untuk menyelundupkan uang. Tapi, tidak ada seorang pun yang berani angkat bicara. (Muh Shamil)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1820 seconds (0.1#10.140)