Eks Agen Mossad: Hampir Tak Mungkin Memberantas Serangan Teror di Prancis

Jum'at, 30 Oktober 2020 - 14:38 WIB
loading...
Eks Agen Mossad: Hampir Tak Mungkin Memberantas Serangan Teror di Prancis
Polisi siaga di area jalan sekitar gereja Notre-Dame Basilica di Nice, Prancis, tempat serangan pisau yang menewaskan tiga orang terjadi pada Kamis (29/10/2020). Foto/REUTERS
A A A
PARIS - Gad Shimron, mantan agen Mossad yang juga komentator keamanan terkemuka, mengatakan hampir tidak mungkin untuk memberantas serangan teror tunggal (lone-wolf) yang saat ini melanda Prancis . Alasannya, karena sangat sulit untuk menembus pikiran ribuan radikal di seluruh negara tersebut dan melacak mereka.

Serangan pisau yang menewaskan tiga orang di gereja Notre-Dame Basilica di Nice kemarin merupakan serangan teror terbaru di Prancis. Wali Kota Nice, Christian Estrosi, telah menyebut serangan itu sebagai "aksi teror" dan Prancis telah meningkatkan sistem peringatan keamanan nasionalnya ke tingkat tertinggi. (Baca: Tiga Tewas dalam Serangan di Gereja Prancis, Satu Korban Dipenggal )

Bagi Shirmon, serangan di Nice itu tidak mengejutkan. Sebagai seseorang yang telah menghadapi ancaman keamanan selama bertahun-tahun, dia mengatakan Prancis memiliki sejarah panjang serangan terhadap sasaran sipil dan terkadang militer.

Sejarah kekerasan teroris di negara itu dimulai pada akhir abad ke-19 ketika kaum anarkis melakukan pemboman di ibu kota dan bahkan membunuh seorang presiden Prancis.

Pada abad ke-20, selama keterlibatan Prancis di Aljazair, Front de la Liberation Nationale (FLN) menyerang target Prancis di daratan dan di Afrika Utara atas nama penentuan nasib sendiri. (Baca: Ini Reaksi Dunia atas Serangan Teror di Gereja Nice, Prancis )

Sekarang, bagaimanapun, teror telah berubah bentuk, mengambil bentuk radikalisme Islam, yang akarnya dapat ditelusuri kembali ke akhir 1960-an, ketika Prancis membuka pintunya untuk imigrasi dari bekas jajahan negara itu di Afrika Utara.

Saat itu, ribuan orang pindah ke Republik Prancis untuk mencari pekerjaan dan peluang yang lebih baik. Banyak yang berhasil berintegrasi ke dalam masyarakat Prancis, tetapi mayoritas menderita ketidaksetaraan dan diskriminasi, sesuatu yang mendorong generasi muda ke ekstremisme.

Apakah Teror Tak Dapat Dihentikan?

Kadang-kadang, ekstremisme ini bermula dari keinginan untuk meniru radikal lain. Di lain waktu, ini berasal dari keinginan untuk menarik perhatian, tapi apapun alasannya, Shimron mengatakan hampir tidak mungkin untuk menahan fenomena tersebut. (Baca juga: Begini Kronologi Serangan Teror di Gereja Prancis yang Tewaskan 3 Orang )

"Apa yang kita saksikan akhir-akhir ini adalah gelombang yang disebut serangan tunggal (lone-wolf). Sangat sulit untuk melawannya karena bahkan badan keamanan terbaik dunia tidak dapat menembus pikiran setiap ekstremis Muslim di Prancis. Dan itu juga alasannya mengapa kita akan melihat lebih banyak dari itu terjadi," paparnya, seperti dikutip Sputniknews, Jumat (30/10/2020).

Di negara di mana sepuluh persen populasinya beragama Islam dan di mana ide-ide radikal sering tersebar di masjid, olahraga, dan pusat budaya di seluruh negeri, prediksi itu mengkhawatirkan.

Dalam upaya untuk menghentikan penyebaran fenomena tersebut, pihak berwenang Prancis telah mulai menekan masjid-masjid yang diduga jadi tempat pertemuan kauam radikal dan institusi Muslim lainnya yang mereka yakini sebagai pusat ekstremisme. Namun, Shimron ragu tindakan ini atau lainnya akan mengarah pada kemenangan atas teror.

"Pihak berwenang Prancis tidak dapat bereaksi terlalu radikal terhadap situasi dan memutuskan untuk menutup semua masjid di negara itu," katanya, mengacu pada potensi kekuatan elektoral pemilih Muslim. "Itu sebabnya, otoritas Prancis perlu berjalan di atas cangkang telur dan menginvestasikan upaya besar pada human and electronic intelligence untuk mencegah tindakan seperti itu terjadi.

Prancis telah mengambil langkah-langkah yang diperlukan ke arah itu. Badan keamanannya, DGSE, yang tugasnya memantau kelompok-kelompok Islam, memiliki anggaran tahunan lebih dari USD830 juta, dan pada 2015, menyusul serangkaian serangan mematikan di Republik Prancis, negara itu meningkatkan pembagian intelijennya dengan sejumlah negara Eropa serta Israel dalam upaya untuk melihat mereka, yang berani menantang keamanan bangsa.

Tetapi Shimron yakin Prancis tidak dapat benar-benar belajar dari pengalaman Israel, yang relatif berhasil mengatasi ancaman keamanannya sendiri, karena sifat kedua negara yang sangat berbeda.

Sebaliknya, dia menyarankan Prancis menginvestasikan sumber daya yang lebih besar untuk melacak dan memetakan mereka, yang menimbulkan potensi bahaya dan melihat ke mata ekstremisme, "tanpa menceburkan kepala mereka ke pasir".

"Prancis dan seluruh dunia terbangun. Pada 2015 (selama gelombang serangan teror) Paris berhati-hati menyebut serangan itu sebagai teror Islam. Sekarang sudah berubah. Virus kebenaran politik telah hilang dan orang-orang tidak lagi malu untuk mengejanya," paparnya.
(min)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1385 seconds (0.1#10.140)