Juru Bicara Pemberontak Suriah Ditangkap di Prancis

Sabtu, 01 Februari 2020 - 19:30 WIB
Juru Bicara Pemberontak Suriah Ditangkap di Prancis
Juru Bicara Pemberontak Suriah Ditangkap di Prancis
A A A
PARIS - Seorang komandan senior kelompok pemberontak Suriah ditangkap oleh pihak keamanan Prancis. Ia ditangkap atas dugaan penghilangan sejumlah aktivis hak asasi manusia.

Sebuah sumber pengadilan mengatakan kepada AFP bahwa mantan juru bicara kelompok pemberontak Jaish al-Islam, Islam Alloush, ditahan di kota Marseille.

Penangkapan itu menyusul pengajuan pengaduan pidana tahun lalu oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia terhadap anggota Jaish al-Islam. Mereka dituduh telah melakukan kejahatan perang termasuk penyiksaan dan penculikan.

Jaish al-Islam telah lama dicurigai terlibat dalam penghilangan aktivis hak asasi manusia Suriah Razan Zaitouneh, suaminya Wael Hamada dan dua rekannya, Samira Khalil dan Nazem Hammadi.

Setelah tiga tahun mengumpulkan keterangan, kelompok-kelompok hak asasi manusia dapat memberi isyarat kepada otoritas Prancis pada bulan Januari tentang keberadaan Alloush - yang nama aslinya adalah Majdi Mustafa Nameh - di selatan Prancis.

Organisasi hak asasi manusia, FIDH, salah satu yang mengajukan pengaduan, mengatakan bahwa mereka berharap penangkapan Alloush dapat membantu mengungkap nasib para aktivis.

"Komitmen damai Razan, kebenaran dan nilai-nilainya tetap melambangkan harapan yang diajukan oleh awal pemberontakan demokratis Suriah," kata Clemence Bectarte, Pengacara dan Koordinator Kelompok Aksi Litigasi FIDH.

"Orang-orang Suriah layak tahu apa yang akhirnya terjadi padanya," imbuhnya seperti dikutip dari Middle East Eye, Sabtu (1/2/2020).

Menyusul pemberontakan terhadap Presiden Suriah Bashar al-Assad pada 2011, Razan Zaitouneh menjadi salah satu tokoh masyarakat sipil yang berkampanye menentang penindasan pemerintahnya terhadap oposisi.

Dia juga seorang kritikus sengit tentang pelanggaran yang dilakukan oleh kelompok pemberontak, yang membuat marah Jaish al-Islam.

Kelompok itu, yang semula dianggap dekat dengan Arab Saudi dan beberapa kali didanai oleh Turki, mengadvokasi kelompok ultra-konservatif, dan pemimpin Zahran Alloush dikenal karena membuat komentar sektarian terhadap Alawit dan Syiah.

Namun, kelompok itu adalah penentang sengit kelompok ISIS, yang mereka perangi pada beberapa kesempatan.

Dalam sebuah pernyataan dengan kelompok-kelompok hak asasi manusia lainnya, FIDH mengatakan Alloush diduga terlibat dalam pendaftaran paksa anak-anak dalam kelompok bersenjata dan mengatakan beberapa korban juga secara langsung memberatkan dia karena penculikan dan penyiksaan.

Mereka menambahkan bahwa Jaish al-Islam melakukan "pemerintahan teror" di daerah-daerah yang dikontrol dan berjumlah lebih dari 20.000 pejuang.

Kelompok itu kehilangan kendali atas Ghouta timur pada April 2018 setelah serangan oleh pemerintah Assad.

Menulis untuk Middle East Eye tahun lalu, suami Samira Khalil Yassin al-Haj Saleh mengatakan bahwa ia masih berharap untuk mengetahui apa yang terjadi pada istrinya dan meminta dukungan Jaish al-Islam dan para pemantau internasional untuk campur tangan.

"Ketidakhadiran Samira adalah kerugian besar, tetapi dia adalah motivasi saya untuk terus maju, dan untuk melangkah lebih jauh, dalam perjuangan putus asa untuk kebebasan, martabat manusia dan keadilan ini," tulisnya.

"Pada jam terakhir 2019, sudah waktunya bagi PBB dan Turki untuk mengambil langkah konkret guna mengungkap nasib istri saya, teman-teman kami dan puluhan ribu lainnya yang telah hilang," tukasnya.
(ian)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5007 seconds (0.1#10.140)