Redam Demonstrasi, Pemimpin Hong Kong Berlakukan UU Darurat

Jum'at, 04 Oktober 2019 - 16:14 WIB
Redam Demonstrasi, Pemimpin Hong Kong Berlakukan UU Darurat
Redam Demonstrasi, Pemimpin Hong Kong Berlakukan UU Darurat
A A A
HONG KONG - Pemimpin Hong Kong, Carrie Lam, berlakukan undang-undang darurat era kolonial untuk pertama kalinya dalam lebih dari 50 tahun. Langkah dramatis ini dilakukan untuk memadamkan meningkatnya kekerasan di kota yang dikuasai China itu.

Berpidato dalam sebuah konferensi pers, Lam mengatakan larangan penggunaan masker wajah akan berlaku pada hari Sabtu di bawah undang-undang darurat. Pemberlakukan undang-undang darurat ini memungkinkan pihak berwenang untuk membuat peraturan apa pun dalam hal apa pun untuk kepentingan umum.

Banyak pengunjuk rasa memakai topeng untuk menyembunyikan identitas mereka karena takut pimpinan tempat mereka bekerja menghadapi tekanan untuk mengambil tindakan terhadap mereka.

“Hampir semua pengunjuk rasa memakai topeng, dengan tujuan menyembunyikan identitas mereka. Itu sebabnya mereka menjadi lebih tidak terkendali," kata Lam.

"Kami tidak bisa membiarkan peraturan yang ada menganggur dan membiarkan kekerasan meningkat dan situasi terus memburuk," sambungnya seperti dikutip dari Reuters, Jumat (4/10/2019).

Lam menggambarkan wilayah itu dalam bahaya serius, tetapi tidak dalam keadaan darurat.

Tidak jelas bagaimana pemerintah akan menerapkan larangan topeng di sebuah kota di mana banyak dari 7,4 juta penduduk memakainya setiap hari untuk melindungi diri dari infeksi setelah wabah Sindrom Pernafasan Akut Parah (SARS) yang mematikan terjadi pada tahun 2003.

Meski begitu, tidak ada jaminan pemberlakukan undang-undang darurat akan meredakan ketegangan, dan itu hanya akan membuat para pengunjuk rasa semakin marah.

"Ini adalah seperangkat peraturan kolonial kuno, dan Anda tidak menggunakannya kecuali Anda tidak dapat membuat undang-undang lagi," kata Martin Lee, seorang veteran aktivis pro-demokrasi Hong Kong dan salah satu pengacara paling terkemuka di kota itu, tak lama sebelum konfirmasi pemberlakukan undang-undang darurat.

"Begitu Anda mulai, tidak ada akhirnya," imbuhnya.

Bahkan sebelum aturan baru dikonfirmasi, protes terhadap regulasi itu telah dimulai di seluruh pusat keuangan Asia, dengan ratusan pekerja kantor mengenakan topeng berkumpul untuk berbaris.

"Kebrutalan polisi menjadi lebih serius dan pembentukan undang-undang anti-topeng adalah untuk mengancam kita dari protes," kata seorang pengunjuk rasa, yang meminta untuk diidentifikasi sebagai hanya Chan, seorang pekerja industri keuangan berusia 27 tahun.

Sementara kelompok-kelompok pro-Beijing telah mendorong pemberlakuan undang-undang untuk melarang masker di demonstrasi.

Protes anti-pemerintah selama empat bulan telah menjerumuskan bekas koloni Inggris itu ke dalam krisis politik terbesarnya sejak penyerahannya ke Beijing pada tahun 1997 dan telah menciptakan tantangan serius bagi pemimpin Tiongkok Xi Jinping.

Aksi yang awalnya menentang rancangan undang-undang ekstradisi, yang bisa membuat orang dikirim untuk diadili di pengadilan China, telah berkembang menjadi seruan untuk lima tuntutan, termasuk hak pilih universal dan penyelidikan atas dugaan kebrutalan polisi.

Kekerasan meningkat di Hong Kong pada hari Selasa, bertepatan dengan peringatan ke-70 berdirinya Republik Rakyat China. Ketika itu polisi menembakkan sekitar 1.800 voli gas air mata, 900 peluru karet dan enam peluru hidup - salah satunya menghantam seorang remaja berusia 18 tahun.

Mahasiswa itu, Tony Tsang, ditembak dari jarak dekat ketika ia melawan seorang perwira dengan apa yang tampak seperti tiang putih. Dia telah didakwa dengan kerusuhan, yang dijatuhi hukuman maksimum 10 tahun, dan menyerang seorang petugas. Tsang dalam kondisi stabil di rumah sakit.

Penembakan membuat marah para pengunjuk rasa yang mengamuk di seluruh kota, melemparkan bom bensin, memblokir jalan dan memulai kebakaran ketika polisi merespons dengan gas air mata.

Para pengunjuk rasa marah terhadap apa yang mereka lihat sebagai campur tangan Beijing dalam urusan kota mereka meskipun ada janji otonomi dalam formula "satu negara, dua sistem" saat Hong Kong kembali ke China pada tahun 1997.

China menampik tuduhan itu dan menuduh pemerintah asing, termasuk Amerika Serikat (AS) dan Inggris, menggerakkan sentimen anti-Cina.
(ian)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4700 seconds (0.1#10.140)