Dilema Arab Saudi, Bela Siapa Jika Iran-Israel Perang Habis-habisan?
loading...
A
A
A
Terus terang, itu adalah tugas yang berat, setidaknya untuk saat ini. Meskipun kemampuan ofensif mereka melampaui Iran, Saudi menyadari perlunya pertahanan udara yang kuat untuk melawan persenjataan rudal dan pesawat nirawak Iran yang sangat banyak.
Kekhawatiran itu menggarisbawahi pentingnya usulan Presiden Donald Trump tahun 2020 untuk NATO Timur Tengah melawan Iran, khususnya yang menyatukan Arab Saudi, Israel, dan negara-negara Arab lainnya.
Berdasarkan momentum Perjanjian Abraham, yang menormalisasi hubungan antara Israel dan beberapa negara Arab, AS membayangkan kerangka kerja sama pertahanan regional. Ini termasuk mengalihkan wilayah tanggung jawab operasional Israel dari Komando Eropa AS (EUCOM) ke Komando Pusat AS (CENTCOM) dan mengusulkan pertahanan udara dan rudal terpadu (IAMD). Visi ini tampaknya membuahkan hasil, meskipun dengan cara yang rapuh dan rahasia.
Meskipun diakui oleh Israel dan dibantah oleh pemerintah Arab, termasuk Riyadh, laporan dari media seperti Wall Street Journal menunjukkan bahwa Arab Saudi telah berperan dalam mencegat rudal dan pesawat nirawak Iran dalam serangan Teheran ke Israel pada April lalu.
Tentu saja, itu adalah tanda kerja sama, bukan niat untuk terlibat dalam perang skala penuh antara keduanya.
Berbeda dengan pejabat Arab, Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant secara terbuka melihatnya sebagai "kesempatan untuk membangun aliansi strategis melawan ancaman serius dari Iran, yang mengancam akan menempatkan bahan peledak nuklir di kepala rudal-rudal tersebut".
Serangan Iran terhadap Israel memiliki dua tujuan. Pertama, serangan itu mengungkap pertahanan udara Israel yang tangguh dan dukungan Barat yang tak tergoyahkan, yang membanggakan tingkat keberhasilan pencegatan yang mengesankan, yaitu 99%.
Kedua, narasi ini tidak diragukan lagi akan memicu dorongan paralel untuk kemampuan pertahanan canggih di Arab Saudi, sekaligus menimbulkan kekhawatiran tentang perlakuan yang tidak setara terhadap sekutu dalam menghadapi ancaman Iran.
Hal ini mengingatkan semua pihak tentang bagaimana Saudi telah menanggung ancaman serius dari pemberontak Houthi yang didukung Iran sejak 2015 (lebih dari 430 rudal balistik dan 851 pesawat nirawak bersenjata).
Hubungan kompleks Presiden Biden dengan MBS dari Arab Saudi semakin memperumit situasi, mengguncang jaminan keamanan. Serangan oleh rudal dan pesawat nirawak Houthi yang dipasok Iran terhadap fasilitas energi utama Saudi pada tahun 2019 dan 2021 menandai titik balik.
Kekhawatiran itu menggarisbawahi pentingnya usulan Presiden Donald Trump tahun 2020 untuk NATO Timur Tengah melawan Iran, khususnya yang menyatukan Arab Saudi, Israel, dan negara-negara Arab lainnya.
Berdasarkan momentum Perjanjian Abraham, yang menormalisasi hubungan antara Israel dan beberapa negara Arab, AS membayangkan kerangka kerja sama pertahanan regional. Ini termasuk mengalihkan wilayah tanggung jawab operasional Israel dari Komando Eropa AS (EUCOM) ke Komando Pusat AS (CENTCOM) dan mengusulkan pertahanan udara dan rudal terpadu (IAMD). Visi ini tampaknya membuahkan hasil, meskipun dengan cara yang rapuh dan rahasia.
Meskipun diakui oleh Israel dan dibantah oleh pemerintah Arab, termasuk Riyadh, laporan dari media seperti Wall Street Journal menunjukkan bahwa Arab Saudi telah berperan dalam mencegat rudal dan pesawat nirawak Iran dalam serangan Teheran ke Israel pada April lalu.
Tentu saja, itu adalah tanda kerja sama, bukan niat untuk terlibat dalam perang skala penuh antara keduanya.
Berbeda dengan pejabat Arab, Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant secara terbuka melihatnya sebagai "kesempatan untuk membangun aliansi strategis melawan ancaman serius dari Iran, yang mengancam akan menempatkan bahan peledak nuklir di kepala rudal-rudal tersebut".
Serangan Iran terhadap Israel memiliki dua tujuan. Pertama, serangan itu mengungkap pertahanan udara Israel yang tangguh dan dukungan Barat yang tak tergoyahkan, yang membanggakan tingkat keberhasilan pencegatan yang mengesankan, yaitu 99%.
Kedua, narasi ini tidak diragukan lagi akan memicu dorongan paralel untuk kemampuan pertahanan canggih di Arab Saudi, sekaligus menimbulkan kekhawatiran tentang perlakuan yang tidak setara terhadap sekutu dalam menghadapi ancaman Iran.
Hal ini mengingatkan semua pihak tentang bagaimana Saudi telah menanggung ancaman serius dari pemberontak Houthi yang didukung Iran sejak 2015 (lebih dari 430 rudal balistik dan 851 pesawat nirawak bersenjata).
Hubungan kompleks Presiden Biden dengan MBS dari Arab Saudi semakin memperumit situasi, mengguncang jaminan keamanan. Serangan oleh rudal dan pesawat nirawak Houthi yang dipasok Iran terhadap fasilitas energi utama Saudi pada tahun 2019 dan 2021 menandai titik balik.