Dilema Arab Saudi, Bela Siapa Jika Iran-Israel Perang Habis-habisan?

Minggu, 25 Agustus 2024 - 10:22 WIB
loading...
Dilema Arab Saudi, Bela...
Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman. Arab Saudi dalam dilema soal netralitasnya jika Iran-Israel perang habis-habisan. Foto/SPA
A A A
RIYADH - Arab Saudi, yang terperangkap dalam ketidakpastian, memandang perang habis-habisan Iran-Israel sebagai sesuatu yang tidak tepat waktu. Netralitas menjadi sesuatu yang tidak nyaman, dan terjun ke dalam pertikaian sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari.

Meningkatnya ketegangan antara Iran dan Israel, yang berpuncak pada perang Israel-Hamas di Gaza, telah menjerumuskan Arab Saudi ke dalam kondisi ketidakpastian.

Meskipun persaingan lama Riyadh dengan Teheran, rekonsiliasi baru-baru ini dengan Iran, meningkatnya ketegangan regional, dan kepentingan domestik Arab Saudi sendiri telah menyebabkan para pemimpinnya mengadopsi nada yang lebih hati-hati dan pasifis.

Kali ini, Arab Saudi telah membingkai responsnya terhadap tindakan Israel terhadap Iran dalam istilah hukum, bukan politik.

Riyadh mengutuk pembunuhan pemimpin Hamas Ismail Haniyeh di Teheran pada 31 Juli sebagai "pelanggaran terang-terangan" terhadap kedaulatan Iran.



Sebelumnya, serangan Israel terhadap konsulat Iran di Damaskus pada 1 April, diikuti oleh serangan rudal dan pesawat nirawak balasan Iran dua minggu kemudian, mendorong Arab Saudi, bersama dengan negara-negara Teluk lainnya, untuk segera mengutuk serangan Israel dan memperingatkan tentang "bahaya perang dan konsekuensinya yang mengerikan".

Meskipun ada ketegangan historis dengan Iran, Arab Saudi telah secara aktif terlibat dalam upaya diplomatik untuk mencegah eskalasi yang dahsyat. Menteri Luar Negeri Pangeran Faisal bin Farhan telah menjadi yang terdepan dalam komunikasi dengan semua pihak yang terlibat, menganjurkan "pengekangan ganda" dan menekankan: "Kami tidak membutuhkan lebih banyak konflik di wilayah kami.”

Monarki Teluk yang kaya energi, yang masih terguncang akibat dampak pemberontakan Arab Spring dan bergulat dengan penderitaan Gaza, kini menghadapi bencana lain yang mengancam di depan pintunya–perang habis-habisan antara Israel dan Iran.

Awalnya, Arab Saudi, bersama dengan negara-negara regional lainnya, menolak untuk membuka wilayah udaranya bagi Israel dan Amerika Serikat selama serangan tersebut.

Arab Saudi Tidak Siap untuk Perang Regional


Arab Saudi, yang dulunya ingin “memotong kepala ular”–seperti yang terungkap dalam kabel WikiLeaks pada tahun 2008, ketika Raja Abdullah dengan bersemangat menyerukan serangan AS terhadap Iran sebelum negara itu mencapai kemampuan nuklir–kini menghadapi situasi yang jauh lebih rumit. “Ular” itu telah menjadi hydra, dan pengaruh Iran menyebar.

Yang menambah kerumitan adalah masalah kebingungan Saudi. Riyadh cenderung merasa ditinggalkan oleh AS setiap kali Washington berdamai dengan Teheran. Namun, mereka khawatir tentang konsekuensi perang AS atau Israel terhadap Iran, perang yang mungkin akan membuat mereka membayar harga termahal. Ketakutan ini diperparah oleh kekecewaan, terutama terhadap kubu Partai Demokrat AS seperti Presiden Joe Biden, yang pernah mengancam akan mengubah kerajaan itu menjadi negara paria.



Saat ini, Saudi menjalani glasnost dan perestroika Soviet versi mereka sendiri–Visi 2030, periode reformasi dan diversifikasi. Visi ini juga mencerminkan pergeseran strategis: bermitra dengan China, menarik diri dari perang Yaman, mempertahankan “gencatan senjata” dengan Iran, dan memprioritaskan reformasi dalam negeri daripada keterlibatan asing seperti perang Rusia-Ukraina dan koalisi pimpinan AS baru-baru ini di Laut Merah.

Bagi Saudi, perang dengan Iran–baik yang dimulai oleh Israel atau pihak lain–adalah skenario yang tidak akan pernah menang.

Perang akan terjadi di halaman belakang mereka dan orang-orang Arab akan menanggung beban kehancuran. Tanah Arab akan menjadi medan pertempuran karena Israel dan Iran tidak memiliki perbatasan yang sama.

Perang semacam itu akan menghancurkan visi Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS) tentang Timur Tengah yang makmur dan bersatu, sebuah mimpi yang pernah disamakannya dengan “Eropa baru”. Sebaliknya, kawasan itu dapat berubah secara tragis menjadi Eropa pasca-Perang Dunia II, yang terpecah dan terpuruk selama beberapa dekade.

Sebagai pemain kunci di pasar minyak global, Arab Saudi sangat menyadari konsekuensi ekonomi dari gangguan apa pun terhadap pasokan minyak jika terjadi perang regional.

Contoh terbaru dari Houthi, kelompok yang relatif kecil, menimbulkan ancaman kritis terhadap rute pelayaran internasional di Laut Merah dan Teluk Aden selama perang Gaza, meskipun dengan upaya pencegahan yang halus oleh koalisi Angkatan Laut yang dipimpin AS-Inggris. Selain itu, kedekatan kerajaan dengan zona konflik dan keberadaan milisi yang didukung Iran di negara tetangga—Irak dan Yaman—di poros perlawanan Iran menimbulkan ancaman keamanan yang signifikan.

Sebelum mempertimbangkan pertempuran semacam itu, Saudi membutuhkan jaminan keamanan yang kuat dari sekutu Barat mereka, yang sama seperti yang dinikmati Israel untuk memastikan pencegahan.

Terus terang, itu adalah tugas yang berat, setidaknya untuk saat ini. Meskipun kemampuan ofensif mereka melampaui Iran, Saudi menyadari perlunya pertahanan udara yang kuat untuk melawan persenjataan rudal dan pesawat nirawak Iran yang sangat banyak.

Kekhawatiran itu menggarisbawahi pentingnya usulan Presiden Donald Trump tahun 2020 untuk NATO Timur Tengah melawan Iran, khususnya yang menyatukan Arab Saudi, Israel, dan negara-negara Arab lainnya.

Berdasarkan momentum Perjanjian Abraham, yang menormalisasi hubungan antara Israel dan beberapa negara Arab, AS membayangkan kerangka kerja sama pertahanan regional. Ini termasuk mengalihkan wilayah tanggung jawab operasional Israel dari Komando Eropa AS (EUCOM) ke Komando Pusat AS (CENTCOM) dan mengusulkan pertahanan udara dan rudal terpadu (IAMD). Visi ini tampaknya membuahkan hasil, meskipun dengan cara yang rapuh dan rahasia.

Meskipun diakui oleh Israel dan dibantah oleh pemerintah Arab, termasuk Riyadh, laporan dari media seperti Wall Street Journal menunjukkan bahwa Arab Saudi telah berperan dalam mencegat rudal dan pesawat nirawak Iran dalam serangan Teheran ke Israel pada April lalu.

Tentu saja, itu adalah tanda kerja sama, bukan niat untuk terlibat dalam perang skala penuh antara keduanya.

Berbeda dengan pejabat Arab, Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant secara terbuka melihatnya sebagai "kesempatan untuk membangun aliansi strategis melawan ancaman serius dari Iran, yang mengancam akan menempatkan bahan peledak nuklir di kepala rudal-rudal tersebut".

Serangan Iran terhadap Israel memiliki dua tujuan. Pertama, serangan itu mengungkap pertahanan udara Israel yang tangguh dan dukungan Barat yang tak tergoyahkan, yang membanggakan tingkat keberhasilan pencegatan yang mengesankan, yaitu 99%.

Kedua, narasi ini tidak diragukan lagi akan memicu dorongan paralel untuk kemampuan pertahanan canggih di Arab Saudi, sekaligus menimbulkan kekhawatiran tentang perlakuan yang tidak setara terhadap sekutu dalam menghadapi ancaman Iran.

Hal ini mengingatkan semua pihak tentang bagaimana Saudi telah menanggung ancaman serius dari pemberontak Houthi yang didukung Iran sejak 2015 (lebih dari 430 rudal balistik dan 851 pesawat nirawak bersenjata).

Hubungan kompleks Presiden Biden dengan MBS dari Arab Saudi semakin memperumit situasi, mengguncang jaminan keamanan. Serangan oleh rudal dan pesawat nirawak Houthi yang dipasok Iran terhadap fasilitas energi utama Saudi pada tahun 2019 dan 2021 menandai titik balik.

Penarikan baterai rudal Patriot AS berikutnya pada tahun 2021 memperburuk perasaan ditinggalkan dan kurangnya komitmen AS, seperti yang diungkapkan oleh Pangeran Turki Al-Faisal kepada CNBC: “Tidak menunjukkan niat Amerika yang dinyatakan untuk membantu Arab Saudi mempertahankan diri dari musuh eksternal.”

Baru-baru ini, Arab Saudi mengambil langkah mundur dari perselisihan dengan Iran, langkah menuju normalisasi dengan Israel, dan langkah lainnya menuju pakta keamanan dengan AS sebelum pemilihan presiden Amerika pada bulan November.

Namun, pecahnya perang Hamas-Israel telah menghentikan kemajuan di bidang-bidang tersebut. Salah satu alasannya adalah upaya Arab Saudi untuk menyeimbangkan keharusan moral dengan pertimbangan strategis.

Secara tradisional, Arab Saudi adalah pendukung perjuangan Palestina. Secara moral dan populer, Arab Saudi jua merasa tidak dapat menerima persekutuannya dengan Israel—yang menduduki wilayah Palestina dan baru-baru ini menewaskan 34.000 orang di Gaza—dalam melawan Iran, terutama di saat perang.

Namun, meskipun telah bekerja sama secara diam-diam dengan Israel, Arab Saudi secara resmi terjebak dalam teka-teki “ayam atau telur”. Haruskah solusi untuk masalah Palestina datang sebelum menormalisasi hubungan dengan Israel, atau sebaliknya?

Netralitas Arab Saudi Tidak Menentu


Dalam lanskap regional multipolar di mana Iran dan Israel—keduanya musuh Arab—, terlibat dalam konflik yang berkepanjangan, Arab Saudi dapat dikatakan akan memperoleh keuntungan strategis dalam keseimbangan kekuatan regional. Perlu dicatat bahwa permusuhan Arab-Israel sudah ada sebelum permusuhan Iran dan belum terselesaikan sejak 1948.

Saudi mungkin menganggap diri mereka beruntung karena telah dengan hati-hati menjalin “gencatan senjata” dengan Iran dan menghindari normalisasi formal dengan Israel, yang akan memberikan penyangga strategis jika terjadi perang. Sikap ini memungkinkan mereka untuk mempertahankan netralitas, siap untuk menengahi, atau setidaknya mengirim pesan yang menenangkan kepada Iran jika perlu.

Dalam upaya Arab Saudi untuk otonomi kebijakan luar negeri, netralitas telah menjadi salah satu alat strategisnya. Hal ini memungkinkan Riyadh untuk menghindari keterlibatan dalam persaingan AS, seperti yang terlihat dalam konflik seperti perang Rusia-Ukraina dan eskalasi Israel-Iran yang sedang terjadi. Keterpisahan seperti itu sejalan dengan kepentingan politik dan ekonomi Saudi.

Memang, setiap upaya Arab Saudi untuk tetap netral dalam perang yang membayangi antara Israel dan Iran merupakan tindakan penyeimbangan yang genting. Kerajaan itu menampung sejumlah aset bisnis dan pertahanan Amerika di wilayahnya, termasuk baterai Patriot, yang memerlukan kerja sama rutin dengan AS, terutama dalam keadaan darurat seperti perang Israel-Iran.

Namun, kerja sama semacam itu harus dibayar dengan harga mahal. Pemimpin Iran telah berulang kali mengancam akan membalas setiap agresi AS, kemungkinan menargetkan kepentingan-kepentingannya di Timur Tengah dan sekitarnya.

Tindakan tersebut akan membahayakan rekonsiliasi yang rapuh dan telah berlangsung bertahun-tahun dengan Iran yang diharapkan banyak orang akan akhirnya mendinginkan permusuhan selama puluhan tahun.

Riyadh juga khawatir konflik tersebut dapat meluas dan memicu kembali perang dengan pemberontak Houthi yang didukung Iran–perang delapan tahun yang baru saja mereka tinggalkan setelah gencatan senjata yang goyah hampir dua tahun lalu.

Arab Saudi Terseret ke Dalam Keributan?


Perang antara Iran dan Israel akan sangat mirip dengan perang Iran-Irak tahun 1980-an, sebuah pengingat bahwa sejarah sering terulang kembali. Seperti Irak pada saat itu, Israel dianggap oleh Arab Saudi sebagai ancaman yang tidak terlalu langsung dibandingkan Iran.

Meskipun sikap netral Arab Saudi pada awalnya, kebutuhan untuk mengimbangi Iran yang sedang bangkit dan secara ideologis menentang akhirnya membuatnya mendukung Irak, meskipun secara tidak langsung, skenario yang berpotensi serupa dengan Israel jika terjadi perang dengan Iran.

Kebijakan seperti itu sekarang sama rapuhnya. Duduk di tengah jalan dan menolak wilayah udara dan wilayah untuk operasi AS terhadap Iran dapat merusak kredibilitas dan hubungan Saudi dengan Washington. Saudi takut dipandang sebagai “kambing hitam” AS, tetapi dalam skenario terburuk mereka dapat ditekan untuk mengizinkan serangan AS dari wilayah mereka.

Ali Shihabi, seorang jurnalis Saudi yang dekat dengan istana kerajaan, mengakui kemungkinan ini dalam artikel di Financial Times. “Tetapi hanya jika AS bertanggung jawab atas konsekuensinya,” tulis dia, yang dikutip Politics Today, Minggu (25/8/2024).

Apa pun itu, keterlibatan AS pasti akan menyeret Arab Saudi ke dalam pertikaian dengan Iran demi keamanannya sendiri.
(mas)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1392 seconds (0.1#10.140)