Laporan Al Jazeera: China Gelar Tur Media untuk Ubah Narasi HAM di Xinjiang
loading...
A
A
A
BEIJING - Bertujuan untuk mengubah narasi mengenai wilayah Xinjiang di mana China dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), Beijing mengadakan apa yang disebut sebagai tur media dengan negara-negara sahabat.
Menurut laporan Al Jazeera, langkah China itu untuk menyebarkan versi berbeda mengenai wilayah Xinjiang.
Di bawah visi Presiden China Xi Jinping untuk "menceritakan kisah Xinjiang" dan "dengan percaya diri menyebarkan stabilitas sosial yang sangat baik di Xinjiang”, setidaknya ada lima tur serupa yang diadakan pada 2023.
Al Jazeera mengutip laporan Olsi Jazexhi, seorang sejarawan dan jurnalis Albania-Kanada yang awalnya mengira bahwa laporan tentang pelanggaran HAM di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang (Xinjiang) di China bagian Barat adalah "kebohongan”.
Berbagai laporan dari orang-orang yang melarikan diri dari wilayah tersebut serta laporan dari sejumlah organisasi HAM memberikan gambaran tentang pelanggaran HAM yang dilakukan China dalam skala besar.
Minoritas Muslim di Xinjiang—yang sebagian besar adalah warga Uighur berbahasa Turki—dilaporkan mengalami perampasan kebebasan dasar, warisan budaya dan agamanya, dan setidaknya 1 juta dari mereka ditahan di jaringan kamp penahanan yang luas.
Komunitas internasional juga telah memperhatikan hal ini, dan PBB telah menyampaikan keprihatinannya. Tapi Jazexhi masih belum yakin saat itu.
"Saya yakin bahwa cerita-cerita tersebut adalah sebuah skema yang dibangun Amerika Serikat dan Barat untuk mendiskreditkan China dan mengalihkan perhatian dari catatan HAM mereka mengenai Muslim," katanya, seperti dikutip dari ANI pada Kamis (4/1/2024).
Setelah itu, Jazexhi menghubungi Kedutaan China dan segera diundang untuk mengikuti tur media bagi jurnalis asing. "Saya pergi untuk membela pemerintah China," kenangnya.
Namun, Jazexhi segera menyadari bahwa membela narasi China adalah "tugas yang jauh lebih sulit" daripada yang dia perkirakan.
Dalam beberapa hari pertama di Xinjiang, dia dan jurnalis asing lainnya harus mengikuti serangkaian ceramah yang diberikan pejabat China tentang sejarah wilayah tersebut beserta masyarakatnya.
"Mereka menggambarkan penduduk asli Xinjiang sebagai imigran, dan Islam sebagai agama asing di wilayah tersebut," tutur Jazexhi. "Itu tidak benar."
Kekecewaannya berlanjut ketika dia dan jurnalis lainnya dibawa tuan rumah mereka yang berasal dari China ke salah satu pusat pelatihan kejuruan di luar ibu kota regional Urumqi, menurut laporan Al Jazeera.
Jazexhi juga berkesempatan berinteraksi dengan beberapa warga Uighur dan dengan cepat menjadi jelas bahwa mereka bukanlah "teroris" atau "ekstremis" seperti yang diklaim Beijing.
Dia mengira akan mengungkap kebohongan Barat saat menjalani tur tersebut, namun yang terjadi adalah, dirinya justru menyaksikan penindasan dalam skala besar. "Apa yang saya lihat adalah upaya memberantas Islam dari Xinjiang," ungkap Jazexhi.
Sejak kunjungan Jazexhi, Dewan HAM PBB telah menemukan bahwa pembatasan dan perampasan yang dilakukan China di Xinjiang mungkin merupakan "kejahatan terhadap kemanusiaan”.
Pemerintah AS serta anggota Parlemen di Australia, Kanada, Prancis, dan Inggris telah menyebut perlakuan China terhadap warga Uighur dan Muslim berbahasa Turki lainnya di wilayah tersebut sebagai genosida. Sementara itu, beberapa negara telah memberlakukan pembatasan ekonomi terhadap barang-barang dari Xinjiang sebagai tanggapan atas bukti adanya kerja paksa di wilayah tersebut, lanjut laporan Al Jazeera.
Namun, terlepas dari semua kritik tersebut, Beijing terus mengatur kunjungan—terutama bagi diplomat dan jurnalis dari negara-negara Muslim—ke Xinjiang.
Media China telah melaporkan setidaknya lima tur media serupa yang terjadi pada 2023, dengan kunjungan ke Xinjiang juga diatur untuk diplomat asing dan cendekiawan Islam.
Moiz Farooq, yang merupakan editor eksekutif Daily Ittehad Media Group dan Pakistan Economic Net, mengunjungi Xinjiang pada pertengahan Desember sebagai bagian dari delegasi perwakilan media dari Pakistan.
Seperti Jazexhi di tahun 2019, Farooq juga pergi ke Xinjiang dengan tujuan mengamati sendiri bahwa cerita yang didengarnya tidak benar.
Berbeda dengan Jazexhi, Farooq meninggalkan Xinjiang karena terkesan dengan tingkat pembangunan di wilayah tersebut, dan meyakinkan bahwa sebagian besar Muslim setempat menjalani kehidupan bebas.
Farooq tidak percaya bahwa pernyataan dan laporan dari organisasi HAM dan badan-badan PBB yang merinci pelanggaran HAM di Xinjiang adalah benar.
Naz Parveen adalah direktur China Window Institute di Peshawar, Pakistan, dan dia mengikuti tur yang sama dengan Farooq. DIa juga terkesan dengan kemakmuran yang dilihat di Xinjiang.
Menggemakan karakterisasi Beijing mengenai situasi tersebut, Parveen percaya bahwa apa yang disebut sebagai pelanggaran HAM di Xinjiang dapat lebih tepat digambarkan sebagai "operasi penegakan hukum yang menargetkan ekstremisme agama,” menurut laporan Al Jazeera.
Dalam tur lainnya ke Xinjiang di bulan September, lembaga penyiaran pemerintah China; CGTN, mengutip kolumnis dan politisi Filipina Mussolini Sinsuat Lidasan yang memuji tindakan "anti-terorisme" China di Xinjiang.
Dalam tur yang sama, Donovan Ralph Martin, editor Daily Scrum News di Kanada, juga dikutip oleh CGTN yang mengatakan bahwa "tentu saja ada kebebasan beragama di Xinjiang, dan siapa pun yang tidak mengatakan hal tersebut adalah orang bodoh."
Pada tahun 2020, Presiden China Xi Jinping menyerukan untuk "menceritakan kisah Xinjiang" dan "dengan percaya diri menyebarkan stabilitas sosial yang sangat baik di Xinjiang."
Aktivis Kanada-Uighur, Rukiye Turdush, memandang tur media sebagai bagian integral dari misi tersebut. "Dia ingin mengubah narasi tentang Xinjiang," sebutnya.
Henryk Szadziewski adalah peneliti senior di LSM Proyek Hak Asasi Manusia Uyghur. Dia mengatakan tur media, seperti yang dilakukan di Xinjiang, adalah taktik umum yang dilakukan negara-negara yang menyembunyikan sesuatu.
Turdush tidak terlalu percaya pada kesimpulan yang diambil para jurnalis asing berdasarkan pembicaraan dengan warga Uighur yang telah hidup dalam lingkungan ketakutan selama bertahun-tahun dan menjadi sasaran pengawasan ketat serta propaganda negara.
"Hanya sedikit warga Uighur dan warga Turki lainnya di Xinjiang yang punya banyak pilihan selain diam atau menggemakan propaganda China," ujarnya.
Sejumlah jurnalis Australia dalam tur media di bulan September melaporkan bahwa mereka berbicara dengan penjual suvenir yang tidak dirujuk oleh pemandu wisata mereka. Penjual tersebut mengatakan bahwa ia telah menghabiskan waktu di kamp interniran, tetapi ketika para jurnalis mulai mengajukan lebih banyak pertanyaan, seseorang tiba-tiba muncul dan mulai merekam jawaban penjual tersebut, imbuh laporan Al Jazeera.
Bahkan mantan kepala HAM PBB Michelle Bachelet menganggap kunjungannya yang telah lama tertunda telah "dikoreografikan" dengan cermat. Namun laporan terakhirnya, yang dirilis beberapa saat sebelum dia meninggalkan jabatannya, menemukan bahwa China mungkin telah melakukan "kejahatan terhadap kemanusiaan" di Xinjiang.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, langkah-langkah keamanan di Xinjiang tampaknya telah dilonggarkan, menurut Maya Wang, direktur asosiasi Asia di Human Rights Watch. Kamp penahanan telah ditutup dan pos pemeriksaan polisi telah disingkirkan.
Sebaliknya, jaringan besar kamera keamanan canggih dengan pengenalan wajah dilaporkan telah dipasang di seluruh wilayah tersebut. Sementara orang-orang yang sebelumnya ditahan di kamp, telah dipindahkan ke sistem penjara China yang tidak jelas, lanjut laporan Al Jazeera.
Di saat yang sama, informasi yang masuk dan keluar dari Xinjiang tetap dikontrol ketat, sementara penduduknya dihukum karena melakukan kontak tidak sah dengan orang-orang di luar China.
"Genosida masih terjadi, namun kini lebih terselubung," kata Turdush.
Terlepas dari kontroversi seputar tur yang diselenggarakan tersebut, baik Turdush maupun Jazexhi percaya bahwa jurnalis dan pejabat asing harus terus mengunjungi Xinjiang selama mereka menentang narasi yang disajikan kepada mereka.
"Mereka harus pergi (mengikuti tur)," kata Jazexhi. "Dan mereka harus mengatakan kebenaran tentang apa yang mereka lihat di Xinjiang dan apa yang tidak mereka lihat," ucapnya.
Menurut laporan Al Jazeera, langkah China itu untuk menyebarkan versi berbeda mengenai wilayah Xinjiang.
Di bawah visi Presiden China Xi Jinping untuk "menceritakan kisah Xinjiang" dan "dengan percaya diri menyebarkan stabilitas sosial yang sangat baik di Xinjiang”, setidaknya ada lima tur serupa yang diadakan pada 2023.
Al Jazeera mengutip laporan Olsi Jazexhi, seorang sejarawan dan jurnalis Albania-Kanada yang awalnya mengira bahwa laporan tentang pelanggaran HAM di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang (Xinjiang) di China bagian Barat adalah "kebohongan”.
Berbagai laporan dari orang-orang yang melarikan diri dari wilayah tersebut serta laporan dari sejumlah organisasi HAM memberikan gambaran tentang pelanggaran HAM yang dilakukan China dalam skala besar.
Minoritas Muslim di Xinjiang—yang sebagian besar adalah warga Uighur berbahasa Turki—dilaporkan mengalami perampasan kebebasan dasar, warisan budaya dan agamanya, dan setidaknya 1 juta dari mereka ditahan di jaringan kamp penahanan yang luas.
Komunitas internasional juga telah memperhatikan hal ini, dan PBB telah menyampaikan keprihatinannya. Tapi Jazexhi masih belum yakin saat itu.
"Saya yakin bahwa cerita-cerita tersebut adalah sebuah skema yang dibangun Amerika Serikat dan Barat untuk mendiskreditkan China dan mengalihkan perhatian dari catatan HAM mereka mengenai Muslim," katanya, seperti dikutip dari ANI pada Kamis (4/1/2024).
Setelah itu, Jazexhi menghubungi Kedutaan China dan segera diundang untuk mengikuti tur media bagi jurnalis asing. "Saya pergi untuk membela pemerintah China," kenangnya.
Namun, Jazexhi segera menyadari bahwa membela narasi China adalah "tugas yang jauh lebih sulit" daripada yang dia perkirakan.
Dalam beberapa hari pertama di Xinjiang, dia dan jurnalis asing lainnya harus mengikuti serangkaian ceramah yang diberikan pejabat China tentang sejarah wilayah tersebut beserta masyarakatnya.
"Mereka menggambarkan penduduk asli Xinjiang sebagai imigran, dan Islam sebagai agama asing di wilayah tersebut," tutur Jazexhi. "Itu tidak benar."
Kejahatan terhadap Kemanusiaan
Kekecewaannya berlanjut ketika dia dan jurnalis lainnya dibawa tuan rumah mereka yang berasal dari China ke salah satu pusat pelatihan kejuruan di luar ibu kota regional Urumqi, menurut laporan Al Jazeera.
Jazexhi juga berkesempatan berinteraksi dengan beberapa warga Uighur dan dengan cepat menjadi jelas bahwa mereka bukanlah "teroris" atau "ekstremis" seperti yang diklaim Beijing.
Dia mengira akan mengungkap kebohongan Barat saat menjalani tur tersebut, namun yang terjadi adalah, dirinya justru menyaksikan penindasan dalam skala besar. "Apa yang saya lihat adalah upaya memberantas Islam dari Xinjiang," ungkap Jazexhi.
Sejak kunjungan Jazexhi, Dewan HAM PBB telah menemukan bahwa pembatasan dan perampasan yang dilakukan China di Xinjiang mungkin merupakan "kejahatan terhadap kemanusiaan”.
Pemerintah AS serta anggota Parlemen di Australia, Kanada, Prancis, dan Inggris telah menyebut perlakuan China terhadap warga Uighur dan Muslim berbahasa Turki lainnya di wilayah tersebut sebagai genosida. Sementara itu, beberapa negara telah memberlakukan pembatasan ekonomi terhadap barang-barang dari Xinjiang sebagai tanggapan atas bukti adanya kerja paksa di wilayah tersebut, lanjut laporan Al Jazeera.
Namun, terlepas dari semua kritik tersebut, Beijing terus mengatur kunjungan—terutama bagi diplomat dan jurnalis dari negara-negara Muslim—ke Xinjiang.
Media China telah melaporkan setidaknya lima tur media serupa yang terjadi pada 2023, dengan kunjungan ke Xinjiang juga diatur untuk diplomat asing dan cendekiawan Islam.
Moiz Farooq, yang merupakan editor eksekutif Daily Ittehad Media Group dan Pakistan Economic Net, mengunjungi Xinjiang pada pertengahan Desember sebagai bagian dari delegasi perwakilan media dari Pakistan.
Seperti Jazexhi di tahun 2019, Farooq juga pergi ke Xinjiang dengan tujuan mengamati sendiri bahwa cerita yang didengarnya tidak benar.
Narasi Xinjiang
Berbeda dengan Jazexhi, Farooq meninggalkan Xinjiang karena terkesan dengan tingkat pembangunan di wilayah tersebut, dan meyakinkan bahwa sebagian besar Muslim setempat menjalani kehidupan bebas.
Farooq tidak percaya bahwa pernyataan dan laporan dari organisasi HAM dan badan-badan PBB yang merinci pelanggaran HAM di Xinjiang adalah benar.
Naz Parveen adalah direktur China Window Institute di Peshawar, Pakistan, dan dia mengikuti tur yang sama dengan Farooq. DIa juga terkesan dengan kemakmuran yang dilihat di Xinjiang.
Menggemakan karakterisasi Beijing mengenai situasi tersebut, Parveen percaya bahwa apa yang disebut sebagai pelanggaran HAM di Xinjiang dapat lebih tepat digambarkan sebagai "operasi penegakan hukum yang menargetkan ekstremisme agama,” menurut laporan Al Jazeera.
Dalam tur lainnya ke Xinjiang di bulan September, lembaga penyiaran pemerintah China; CGTN, mengutip kolumnis dan politisi Filipina Mussolini Sinsuat Lidasan yang memuji tindakan "anti-terorisme" China di Xinjiang.
Dalam tur yang sama, Donovan Ralph Martin, editor Daily Scrum News di Kanada, juga dikutip oleh CGTN yang mengatakan bahwa "tentu saja ada kebebasan beragama di Xinjiang, dan siapa pun yang tidak mengatakan hal tersebut adalah orang bodoh."
Pada tahun 2020, Presiden China Xi Jinping menyerukan untuk "menceritakan kisah Xinjiang" dan "dengan percaya diri menyebarkan stabilitas sosial yang sangat baik di Xinjiang."
Aktivis Kanada-Uighur, Rukiye Turdush, memandang tur media sebagai bagian integral dari misi tersebut. "Dia ingin mengubah narasi tentang Xinjiang," sebutnya.
Henryk Szadziewski adalah peneliti senior di LSM Proyek Hak Asasi Manusia Uyghur. Dia mengatakan tur media, seperti yang dilakukan di Xinjiang, adalah taktik umum yang dilakukan negara-negara yang menyembunyikan sesuatu.
Turdush tidak terlalu percaya pada kesimpulan yang diambil para jurnalis asing berdasarkan pembicaraan dengan warga Uighur yang telah hidup dalam lingkungan ketakutan selama bertahun-tahun dan menjadi sasaran pengawasan ketat serta propaganda negara.
"Hanya sedikit warga Uighur dan warga Turki lainnya di Xinjiang yang punya banyak pilihan selain diam atau menggemakan propaganda China," ujarnya.
“Genosida Masih Terjadi”
Sejumlah jurnalis Australia dalam tur media di bulan September melaporkan bahwa mereka berbicara dengan penjual suvenir yang tidak dirujuk oleh pemandu wisata mereka. Penjual tersebut mengatakan bahwa ia telah menghabiskan waktu di kamp interniran, tetapi ketika para jurnalis mulai mengajukan lebih banyak pertanyaan, seseorang tiba-tiba muncul dan mulai merekam jawaban penjual tersebut, imbuh laporan Al Jazeera.
Bahkan mantan kepala HAM PBB Michelle Bachelet menganggap kunjungannya yang telah lama tertunda telah "dikoreografikan" dengan cermat. Namun laporan terakhirnya, yang dirilis beberapa saat sebelum dia meninggalkan jabatannya, menemukan bahwa China mungkin telah melakukan "kejahatan terhadap kemanusiaan" di Xinjiang.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, langkah-langkah keamanan di Xinjiang tampaknya telah dilonggarkan, menurut Maya Wang, direktur asosiasi Asia di Human Rights Watch. Kamp penahanan telah ditutup dan pos pemeriksaan polisi telah disingkirkan.
Sebaliknya, jaringan besar kamera keamanan canggih dengan pengenalan wajah dilaporkan telah dipasang di seluruh wilayah tersebut. Sementara orang-orang yang sebelumnya ditahan di kamp, telah dipindahkan ke sistem penjara China yang tidak jelas, lanjut laporan Al Jazeera.
Di saat yang sama, informasi yang masuk dan keluar dari Xinjiang tetap dikontrol ketat, sementara penduduknya dihukum karena melakukan kontak tidak sah dengan orang-orang di luar China.
"Genosida masih terjadi, namun kini lebih terselubung," kata Turdush.
Terlepas dari kontroversi seputar tur yang diselenggarakan tersebut, baik Turdush maupun Jazexhi percaya bahwa jurnalis dan pejabat asing harus terus mengunjungi Xinjiang selama mereka menentang narasi yang disajikan kepada mereka.
"Mereka harus pergi (mengikuti tur)," kata Jazexhi. "Dan mereka harus mengatakan kebenaran tentang apa yang mereka lihat di Xinjiang dan apa yang tidak mereka lihat," ucapnya.
(mas)