100.000 Pengungsi Suriah di Turki Berencana Bentuk Konvoi Masuk ke Eropa
Jum'at, 23 September 2022 - 00:34 WIB
LONDON - Sekelompok besar pengungsi Suriah berkumpul di Turki dalam upaya untuk membentuk konvoi dan memasuki Uni Eropa melalui Yunani. The Guardian melaporkan pada Rabu (21/9/2022), sekitar 100.000 dari lebih dari 3,5 juta warga Suriah di Turki diperkirakan akan bergabung dengan konvoi itu.
Menurut penyelenggara, konvoi itu dinamai "Kafilah Cahaya". Rencana untuk membentuk grup telah terbentuk selama beberapa minggu melalui aplikasi perpesanan Telegram. Peserta disarankan untuk membawa barang-barang penting untuk perjalanan, seperti tenda, kantong tidur, dan makanan kaleng.
Penyelenggara karavan mengumumkan bahwa titik awal gerakan ini adalah Edirne di timur laut Turki. Dari sana, para pengungsi berharap dapat membangun momentum yang cukup untuk memungkinkan mereka menyeberangi perbatasan ke Yunani tanpa hambatan.
Faktor utama di balik pembentukan gerakan karavan adalah meningkatnya kemarahan di antara para pengungsi atas cara mereka diperlakukan di Turki. Penyelenggara mengkritik "rasisme yang menjijikkan" yang telah menyebabkan serangan mematikan terhadap warga Suriah.
Faris Mohammed Al-Ali, seorang warga Suriah berusia 18 tahun, tewas di Turki dalam dugaan serangan rasis bulan ini. Sementara Leyla Mohammed, 70, adalah korban serangan pada bulan Mei yang memicu kemarahan di seluruh dunia.
“Pengungsi Suriah telah melarikan diri dari konflik berdarah, penyiksaan, penghilangan paksa dan pelanggaran menjijikkan lainnya untuk mencari keselamatan di Turki. Sangat mengerikan bahwa mereka sekarang menghadapi serangan lebih lanjut,” kata Sara Hashash dari kelompok hak asasi manusia Syria Campaign.
Sementara Khairu, seorang warga Suriah berusia 22 tahun yang telah tinggal di Turki sejak 2018, mengungkapkan kepada The Guardian, bahwa di Turki tak ada masa depan bagi pengungsi Suriah.
“Tidak ada masa depan bagi saya dan setiap warga Suriah di sini,” ujarnya. Khairu menambahkan, bahwa dia hanya ingin hidup tanpa rasa takut akan hari esok, karena ketakutan akan hari esok adalah kematian yang sangat lambat.
Namun, ada kekhawatiran di antara beberapa anggota kelompok Telegram yang berkekuatan 100.000 orang, bahwa deportasi ke Suriah dapat digunakan sebagai hukuman jika para pengungsi tertangkap mencoba menyeberang ke Yunani.
Taha Elghazi, seorang aktivis pengungsi Suriah terkemuka di Turki, mengatakan dia memahami kekhawatiran di antara warga Suriah yang tinggal di negara itu tentang rasisme dan kesengsaraan ekonomi, tetapi memperingatkan bahwa karavan kemungkinan akan gagal dalam tujuannya.
Menurut penyelenggara, konvoi itu dinamai "Kafilah Cahaya". Rencana untuk membentuk grup telah terbentuk selama beberapa minggu melalui aplikasi perpesanan Telegram. Peserta disarankan untuk membawa barang-barang penting untuk perjalanan, seperti tenda, kantong tidur, dan makanan kaleng.
Penyelenggara karavan mengumumkan bahwa titik awal gerakan ini adalah Edirne di timur laut Turki. Dari sana, para pengungsi berharap dapat membangun momentum yang cukup untuk memungkinkan mereka menyeberangi perbatasan ke Yunani tanpa hambatan.
Faktor utama di balik pembentukan gerakan karavan adalah meningkatnya kemarahan di antara para pengungsi atas cara mereka diperlakukan di Turki. Penyelenggara mengkritik "rasisme yang menjijikkan" yang telah menyebabkan serangan mematikan terhadap warga Suriah.
Faris Mohammed Al-Ali, seorang warga Suriah berusia 18 tahun, tewas di Turki dalam dugaan serangan rasis bulan ini. Sementara Leyla Mohammed, 70, adalah korban serangan pada bulan Mei yang memicu kemarahan di seluruh dunia.
“Pengungsi Suriah telah melarikan diri dari konflik berdarah, penyiksaan, penghilangan paksa dan pelanggaran menjijikkan lainnya untuk mencari keselamatan di Turki. Sangat mengerikan bahwa mereka sekarang menghadapi serangan lebih lanjut,” kata Sara Hashash dari kelompok hak asasi manusia Syria Campaign.
Sementara Khairu, seorang warga Suriah berusia 22 tahun yang telah tinggal di Turki sejak 2018, mengungkapkan kepada The Guardian, bahwa di Turki tak ada masa depan bagi pengungsi Suriah.
“Tidak ada masa depan bagi saya dan setiap warga Suriah di sini,” ujarnya. Khairu menambahkan, bahwa dia hanya ingin hidup tanpa rasa takut akan hari esok, karena ketakutan akan hari esok adalah kematian yang sangat lambat.
Namun, ada kekhawatiran di antara beberapa anggota kelompok Telegram yang berkekuatan 100.000 orang, bahwa deportasi ke Suriah dapat digunakan sebagai hukuman jika para pengungsi tertangkap mencoba menyeberang ke Yunani.
Taha Elghazi, seorang aktivis pengungsi Suriah terkemuka di Turki, mengatakan dia memahami kekhawatiran di antara warga Suriah yang tinggal di negara itu tentang rasisme dan kesengsaraan ekonomi, tetapi memperingatkan bahwa karavan kemungkinan akan gagal dalam tujuannya.
(esn)
tulis komentar anda