Dalam Perang Lawan Corona, Sepak Terjang Mossad Tak Lagi Rahasia
Senin, 13 April 2020 - 16:40 WIB
TEL AVIV - Ketika Menteri Kesehatan Israel Yaakov Litzman terinfeksi virus corona baru, COVID-19, awal bulan ini, semua pejabat senior yang dekat dengannya dikarantina. Yang mengejutkan, para pejabat itu termasuk Direktur Mossad, Yossi Cohen.
Mossad merupakan salah satu badan intelijen Israel yang terkenal karena sepak terjangnya yang dianggap "rapi" atau rahasia.
Para agen Mossad—terutama yang terkait dengan operasi penyamaran di luar negeri atas nama perlindungan Israel—biasanya tidak berada dalam bisnis kesehatan masyarakat. Jadi, ketika badan intelijen itu diterjunkan dalam perang melawan COVID-19, semua pihak termasuk publik Israel menjadi tertarik untuk menyimaknya.
Mengapa Direktur Mossad Yossi Cohen, seorang tokoh yang dihormati di negara mayoritas Yahudi itu, berada di ruangan yang sama dengan Menteri Kesehatan Yaakov Litzman?
Jawabannya tak lain karena bos Mossad itu sedang terlibat dalam perang Israel melawan pandemi COVID-19. Badan intelijen yang sejatinya untuk operasi kontra-teroris itu menjadi salah satu aset Israel yang paling berharga dalam memperoleh peralatan medis dan teknologi manufaktur di luar negeri. Demikian diungkap para pejabat medis dan keamanan negara tersebut.
Ketika negara-negara di seluruh dunia bersaing ketat untuk memperoleh pasokan medis yang langka selama pandemi COVID-19, mereka dengan segala cara berupaya memperolehnya.
Menurut beberapa sumber yang mengetahui operasi Mossad, badan intelijen andalan Israel ini menetapkan bahwa Iran—yang sedang berjuang dengan krisis COVID-19-nya sendiri, tidak lagi menjadi ancaman keamanan langsung—badan intelijen tersebut leluasa terjun ke dalam darurat kesehatan.
Prediksi awal untuk jumlah korban virus corona baru di Israel sangat mengerikan, meskipun sejauh ini belum terbukti. Data dari worldometers, Senin (13/4/2020), Israel memiliki 11.235 kasus COVID-19 dengan 110 kematian. Sejauh ini 1.689 pasien berhasil disembuhkan.
"Tingkat ekspansi maksimum telah di belakang kami selama sekitar dua minggu dan mungkin akan menurun hampir seluruhnya dalam dua minggu," bunyi sebuah artikel yang diterbitkan hari Minggu oleh Profesor Isaac Ben Israel dari Universitas Tel Aviv.
Mossad merupakan salah satu badan intelijen Israel yang terkenal karena sepak terjangnya yang dianggap "rapi" atau rahasia.
Para agen Mossad—terutama yang terkait dengan operasi penyamaran di luar negeri atas nama perlindungan Israel—biasanya tidak berada dalam bisnis kesehatan masyarakat. Jadi, ketika badan intelijen itu diterjunkan dalam perang melawan COVID-19, semua pihak termasuk publik Israel menjadi tertarik untuk menyimaknya.
Mengapa Direktur Mossad Yossi Cohen, seorang tokoh yang dihormati di negara mayoritas Yahudi itu, berada di ruangan yang sama dengan Menteri Kesehatan Yaakov Litzman?
Jawabannya tak lain karena bos Mossad itu sedang terlibat dalam perang Israel melawan pandemi COVID-19. Badan intelijen yang sejatinya untuk operasi kontra-teroris itu menjadi salah satu aset Israel yang paling berharga dalam memperoleh peralatan medis dan teknologi manufaktur di luar negeri. Demikian diungkap para pejabat medis dan keamanan negara tersebut.
Ketika negara-negara di seluruh dunia bersaing ketat untuk memperoleh pasokan medis yang langka selama pandemi COVID-19, mereka dengan segala cara berupaya memperolehnya.
Menurut beberapa sumber yang mengetahui operasi Mossad, badan intelijen andalan Israel ini menetapkan bahwa Iran—yang sedang berjuang dengan krisis COVID-19-nya sendiri, tidak lagi menjadi ancaman keamanan langsung—badan intelijen tersebut leluasa terjun ke dalam darurat kesehatan.
Prediksi awal untuk jumlah korban virus corona baru di Israel sangat mengerikan, meskipun sejauh ini belum terbukti. Data dari worldometers, Senin (13/4/2020), Israel memiliki 11.235 kasus COVID-19 dengan 110 kematian. Sejauh ini 1.689 pasien berhasil disembuhkan.
"Tingkat ekspansi maksimum telah di belakang kami selama sekitar dua minggu dan mungkin akan menurun hampir seluruhnya dalam dua minggu," bunyi sebuah artikel yang diterbitkan hari Minggu oleh Profesor Isaac Ben Israel dari Universitas Tel Aviv.
tulis komentar anda