Pria Kulit Hitam Tewas Saat Ditahan Polisi, Aksi Protes Pecah di Paris
Rabu, 03 Juni 2020 - 12:55 WIB
PARIS - Sekitar 20.000 orang turun ke jalan untuk memprotes kematian seorang pria kulit hitam di dalam tahanan polisi Prancis pada tahun 2016 lalu. Beberapa demonstran terlibat bentrokan dengan polisi dan menggunakan slogan-slogan yang digunakan dalam demonstrasi yang berkecamuk di Amerika Serikat (AS) .
Para demonstran berunjuk rasa di luar pengadilan di Paris meskipun ada larangan berkumpul lebih dari 10 orang terkait dengan penyebaran virus Corona, sebelum akhirnya bentrokan meletus yang melibatkan gas air mata, peluru karet, pembakaran barikade dan proyektil.
Para demonstran melakukan aksi protes setelah dua laporan medis yang dirilis terkait penyebab kematian Adama Traore menunjukkan hasil berbeda. Kasus Adama Traore sendiri telah menjadi seruan terhadap kebrutalan polisi di Prancis.
Banyak pengunjukrasa mendapat inspirasi dari gerakan protes di Amerika Serikat atas pembunuhan polisi George Floyd minggu lalu, seorang pria kulit hitam tak bersenjata, mengacungkan slogan viral dalam bahasa Inggris seperti "Black Lives Matter" dan "Aku tidak bisa bernapas".
Protes dimulai pada sore hari di luar pengadilan di timur laut Paris, sebelum proyektil dilemparkan dan polisi menggunakan gas air mata untuk membubarkan kerumunan, yang tersebar ke jalan-jalan di sekitarnya.
Bentrokan sporadis pecah di dekat jalan lingkar yang mengelilingi Paris, dengan batu-batu dilemparkan ke polisi, yang merespons dengan menembakkan peluru karet.
Polisi pun lantas mendirikan barikade di beberapa jalan.
"Ada beberapa insiden di sela-sela protes yang dilarang dan pasukan keamanan ikut campur," kata polisi prefektur Paris seperti dikutip dari AFP, Rabu (3/6/2020).
Pihak kepolisian memperkirakan sekitar 20.000 orang mengikuti aksi protes itu.
Sebelumnya pada hari itu, kakak perempuan Traore, Assa, berbicara kepada orang banyak.
"Hari ini kita tidak hanya berbicara tentang pertarungan keluarga Traore. Ini adalah perjuangan untuk semua orang. Ketika kita berjuang untuk George Floyd, kita berjuang untuk Adama Traore," katanya.
"Apa yang terjadi di Amerika Serikat adalah gaung dari apa yang terjadi di Prancis," imbuhnya.
Protes diadakan di seluruh Perancis, dengan 2.500 pengunjuk rasa menghadiri aksi protes di kota utara Lille, 1.800 di Marseille, dan 1.200 di Lyon.
Kasus Traore sendiri telah lama menjadi kontroversi di Prancis.
Setelah perselisihan tentang pemeriksaan identitas, Traore (24) ditangkap di sebuah rumah di mana ia bersembunyi setelah lari dari pengejaran polisi selama 15 menit pada tahun 2016.
Salah satu dari tiga petugas yang menangkap telah memberi tahu penyelidik bahwa mereka menjepit Traore dengan badan mereka.
Traore kemudian kehilangan kesadaran di dalam kendaraan mereka dan meninggal di kantor polisi terdekat. Dia masih diborgol ketika paramedis tiba.
Pada hari Jumat, para ahli medis Prancis membebaskan tiga petugas polisi, mengatakan bahwa Traore tidak mati "mati lemas karena posisional" tetapi dari "edema kardiogenik" yang dikaitkan dengan kesehatannya yang buruk.
Temuan itu, laporan resmi ketiga untuk membersihkan para petugas, membatalkan laporan medis pihak keluarga pemuda itu yang mengatakan ia meninggal karena sesak napas.
Tetapi pada hari Selasa, sebuah penyelidikan baru yang ditugaskan oleh keluarga Traore mengatakan bahwa kematiannya disebabkan oleh teknik penangkapan yang digunakan oleh petugas.
"Duel" laporan medis juga terjadi dalam kasus George Floyd. Autopsi awal mengatakan ia meninggal karena masalah jantung, sementara autopsi yang dilakukan pihak keluarga mengatakan ia meninggal karena sesak napas akibat tekanan yang berkelanjutan.
Autopsi resmi Floyd kemudian mengonfirmasi bahwa dia meninggal dalam pembunuhan yang melibatkan "kompresi leher". (Baca: Autopsi Independen: George Floyd Tewas karena Asfiksia, Ini Pembunuhan )
Kepala Kepolisian Paris Didier Lallement, yang melarang aksi protes, sebelumnya pada hari Selasa menulis surat kepada petugas polisi dan membela tindakan mereka.
Dia mengatakan dia bersimpati dengan "rasa sakit" yang harus dirasakan oleh petugas dihadapkan pada tuduhan kekerasan dan rasisme, diulang tanpa henti oleh jejaring sosial dan kelompok aktivis tertentu.
"Pasukan kepolisian Paris tidak kejam, tidak juga rasis: ia bertindak dalam kerangka hak untuk kebebasan bagi semua orang," ia menegaskan dalam email ke 27.500 penegak hukum kota.
Beberapa perwira Prancis juga telah diselidiki karena kebrutalan terhadap anggota masyarakat dalam demonstrasi anti-pemerintah "rompi kuning" yang telah berjalan lama, dan terbaru pemogokan reformasi anti-pensiun.
Puluhan pengunjuk rasa dilumpuhkan oleh peluru karet atau granat setrum, beberapa kehilangan mata atau tangan.
Pada 3 Januari tahun ini, seorang pria berusia 42 tahun mati lemas setelah tertelungkup ke tanah saat penangkapan di Paris.
Pekan lalu, seorang anak berusia 14 tahun satu matanya terluka parah selama operasi polisi di Bondy, salah satu pinggiran utara Paris. Peristiwa ini memicu aksi protes.
Para demonstran berunjuk rasa di luar pengadilan di Paris meskipun ada larangan berkumpul lebih dari 10 orang terkait dengan penyebaran virus Corona, sebelum akhirnya bentrokan meletus yang melibatkan gas air mata, peluru karet, pembakaran barikade dan proyektil.
Para demonstran melakukan aksi protes setelah dua laporan medis yang dirilis terkait penyebab kematian Adama Traore menunjukkan hasil berbeda. Kasus Adama Traore sendiri telah menjadi seruan terhadap kebrutalan polisi di Prancis.
Banyak pengunjukrasa mendapat inspirasi dari gerakan protes di Amerika Serikat atas pembunuhan polisi George Floyd minggu lalu, seorang pria kulit hitam tak bersenjata, mengacungkan slogan viral dalam bahasa Inggris seperti "Black Lives Matter" dan "Aku tidak bisa bernapas".
Protes dimulai pada sore hari di luar pengadilan di timur laut Paris, sebelum proyektil dilemparkan dan polisi menggunakan gas air mata untuk membubarkan kerumunan, yang tersebar ke jalan-jalan di sekitarnya.
Bentrokan sporadis pecah di dekat jalan lingkar yang mengelilingi Paris, dengan batu-batu dilemparkan ke polisi, yang merespons dengan menembakkan peluru karet.
Polisi pun lantas mendirikan barikade di beberapa jalan.
"Ada beberapa insiden di sela-sela protes yang dilarang dan pasukan keamanan ikut campur," kata polisi prefektur Paris seperti dikutip dari AFP, Rabu (3/6/2020).
Pihak kepolisian memperkirakan sekitar 20.000 orang mengikuti aksi protes itu.
Sebelumnya pada hari itu, kakak perempuan Traore, Assa, berbicara kepada orang banyak.
"Hari ini kita tidak hanya berbicara tentang pertarungan keluarga Traore. Ini adalah perjuangan untuk semua orang. Ketika kita berjuang untuk George Floyd, kita berjuang untuk Adama Traore," katanya.
"Apa yang terjadi di Amerika Serikat adalah gaung dari apa yang terjadi di Prancis," imbuhnya.
Protes diadakan di seluruh Perancis, dengan 2.500 pengunjuk rasa menghadiri aksi protes di kota utara Lille, 1.800 di Marseille, dan 1.200 di Lyon.
Kasus Traore sendiri telah lama menjadi kontroversi di Prancis.
Setelah perselisihan tentang pemeriksaan identitas, Traore (24) ditangkap di sebuah rumah di mana ia bersembunyi setelah lari dari pengejaran polisi selama 15 menit pada tahun 2016.
Salah satu dari tiga petugas yang menangkap telah memberi tahu penyelidik bahwa mereka menjepit Traore dengan badan mereka.
Traore kemudian kehilangan kesadaran di dalam kendaraan mereka dan meninggal di kantor polisi terdekat. Dia masih diborgol ketika paramedis tiba.
Pada hari Jumat, para ahli medis Prancis membebaskan tiga petugas polisi, mengatakan bahwa Traore tidak mati "mati lemas karena posisional" tetapi dari "edema kardiogenik" yang dikaitkan dengan kesehatannya yang buruk.
Temuan itu, laporan resmi ketiga untuk membersihkan para petugas, membatalkan laporan medis pihak keluarga pemuda itu yang mengatakan ia meninggal karena sesak napas.
Tetapi pada hari Selasa, sebuah penyelidikan baru yang ditugaskan oleh keluarga Traore mengatakan bahwa kematiannya disebabkan oleh teknik penangkapan yang digunakan oleh petugas.
"Duel" laporan medis juga terjadi dalam kasus George Floyd. Autopsi awal mengatakan ia meninggal karena masalah jantung, sementara autopsi yang dilakukan pihak keluarga mengatakan ia meninggal karena sesak napas akibat tekanan yang berkelanjutan.
Autopsi resmi Floyd kemudian mengonfirmasi bahwa dia meninggal dalam pembunuhan yang melibatkan "kompresi leher". (Baca: Autopsi Independen: George Floyd Tewas karena Asfiksia, Ini Pembunuhan )
Kepala Kepolisian Paris Didier Lallement, yang melarang aksi protes, sebelumnya pada hari Selasa menulis surat kepada petugas polisi dan membela tindakan mereka.
Dia mengatakan dia bersimpati dengan "rasa sakit" yang harus dirasakan oleh petugas dihadapkan pada tuduhan kekerasan dan rasisme, diulang tanpa henti oleh jejaring sosial dan kelompok aktivis tertentu.
"Pasukan kepolisian Paris tidak kejam, tidak juga rasis: ia bertindak dalam kerangka hak untuk kebebasan bagi semua orang," ia menegaskan dalam email ke 27.500 penegak hukum kota.
Beberapa perwira Prancis juga telah diselidiki karena kebrutalan terhadap anggota masyarakat dalam demonstrasi anti-pemerintah "rompi kuning" yang telah berjalan lama, dan terbaru pemogokan reformasi anti-pensiun.
Puluhan pengunjuk rasa dilumpuhkan oleh peluru karet atau granat setrum, beberapa kehilangan mata atau tangan.
Pada 3 Januari tahun ini, seorang pria berusia 42 tahun mati lemas setelah tertelungkup ke tanah saat penangkapan di Paris.
Pekan lalu, seorang anak berusia 14 tahun satu matanya terluka parah selama operasi polisi di Bondy, salah satu pinggiran utara Paris. Peristiwa ini memicu aksi protes.
(ber)
tulis komentar anda