Gara-gara Demo Rusuh, Presiden Tunisia Pecat PM dan Bekukan DPR
Senin, 26 Juli 2021 - 07:45 WIB
TUNIS - Presiden Tunisia Kais Saied memecat Perdana Menteri (PM) Hicham Mechichi dan membekukan kegiatan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Parlemen pada hari Minggu. Keputusan itu muncul setelah demo rusuh untuk memprotes penanganan pandemi COVID-19 dan situasi ekonomi.
Presiden Kais Saied juga mencabut kekebalan semua anggota Parlemen dan mengatakan dia akan menunjuk PM baru dalam beberapa jam mendatang untuk membawa ketenangan di negara itu.
Ribuan orang telah turun ke jalan di Ibu Kota Tunisia, Tunis, dan kota-kota lain pada hari Minggu menentang pembatasan terkait pandemi COVID-19. Demo yang diwarnai kerusuhan itu sebagian besar didominasi kaum muda yang berteriak; "Get out! [Keluar!]” dan slogan-slogan yang menyerukan pembubaran Parlemen dan pemilu dini.
Protes diserukan pada peringatan 64 tahun kemerdekaan Tunisia oleh sebuah kelompok baru yang disebut "Gerakan 25 Juli".
Pasukan keamanan dikerahkan, terutama di Tunis di mana blokade polisi memblokir semua jalan menuju arteri utama ibu kota, Avenue Bourguiba. Jalan itu adalah situs kunci bagi revolusi Tunisia satu dekade lalu yang menjatuhkan rezim diktator dan memicu pemberontakan Arab Spring.
Polisi juga dikerahkan di sekitar gedung Parlemen, mencegah demonstran mengaksesnya.
Polisi menggunakan gas air mata untuk membubarkan beberapa demonstran yang melemparkan proyektil ke arah petugas dan melakukan beberapa penangkapan. Bentrokan juga terjadi di beberapa kota lain, terutama di Nabeul, Sousse, Kairouan, Sfax dan Tozeur.
Para pengunjuk rasa juga menyerbu kantor partaiIslam; Ennahdha, kekuatan dominan di Parlemen. Video yang beredar secara online menunjukkan asap mengepul keluar dari gedung Ennahdha. Para penyerang merusak komputer dan peralatan lain di dalamnya dan melemparkan dokumen ke jalan.
Partai tersebut mengecam serangan tersebut, dengan mengatakan bahwa “geng kriminal” dari dalam dan luar Tunisia sedang mencoba untuk “menyemai kekacauan dan kehancuran demi agenda yang bertujuan merusak proses demokrasi Tunisia”.
Dalam pengumumannya, Presiden Kais Saied mengatakan bahwa dia akan mengambil alih otoritas eksekutif dengan bantuan PM baru, yang mendorong tantangan terbesar bagi konstitusi 2014 yang membagi kekuasaan antara presiden, perdana menteri dan parlemen.
"Banyak orang tertipu oleh kemunafikan, pengkhianatan dan perampokan hak-hak rakyat," katanya dalam sebuah pernyataan yang disiarkan di media pemerintah, seperti dikutip Al Jazeera, Senin (26/7/2021).
"Saya memperingatkan siapa pun yang berpikir untuk menggunakan senjata...dan siapa pun yang menembakkan peluru, angkatan bersenjata akan merespons dengan peluru," imbuh presiden.
Ketua Parlemen Tunisia Rached Ghannouchi menuduh Presiden Saied melancarkan "kudeta terhadap revolusi dan konstitusi" setelah tindakan tersebut.
"Kami menganggap lembaga-lembaga itu masih berdiri dan pendukung Ennahda dan rakyat Tunisia akan membela revolusi," kata Ghannouchi, yang mengepalai Ennahda, kepada kantor berita Reuters melalui telepon.
Partai itu juga mengecam langkah presiden sebagai "kudeta negara terhadap revolusi".
"Apa yang dilakukan Kais Saied adalah kudeta negara terhadap revolusi dan konstitusi, dan anggota Ennahda dan rakyat Tunisia akan membela revolusi," tulis Ennahda dalam sebuah pernyataan di halaman Facebook-nya.
Saied telah terjerat dalam perselisihan politik dengan Perdana Menteri Mechichi selama lebih dari setahun, ketika negara itu bergulat dengan krisis ekonomi, krisis fiskal yang membayangi, dan respons yang gagal terhadap pandemi COVID-19.
Presiden Kais Saied juga mencabut kekebalan semua anggota Parlemen dan mengatakan dia akan menunjuk PM baru dalam beberapa jam mendatang untuk membawa ketenangan di negara itu.
Ribuan orang telah turun ke jalan di Ibu Kota Tunisia, Tunis, dan kota-kota lain pada hari Minggu menentang pembatasan terkait pandemi COVID-19. Demo yang diwarnai kerusuhan itu sebagian besar didominasi kaum muda yang berteriak; "Get out! [Keluar!]” dan slogan-slogan yang menyerukan pembubaran Parlemen dan pemilu dini.
Protes diserukan pada peringatan 64 tahun kemerdekaan Tunisia oleh sebuah kelompok baru yang disebut "Gerakan 25 Juli".
Pasukan keamanan dikerahkan, terutama di Tunis di mana blokade polisi memblokir semua jalan menuju arteri utama ibu kota, Avenue Bourguiba. Jalan itu adalah situs kunci bagi revolusi Tunisia satu dekade lalu yang menjatuhkan rezim diktator dan memicu pemberontakan Arab Spring.
Polisi juga dikerahkan di sekitar gedung Parlemen, mencegah demonstran mengaksesnya.
Polisi menggunakan gas air mata untuk membubarkan beberapa demonstran yang melemparkan proyektil ke arah petugas dan melakukan beberapa penangkapan. Bentrokan juga terjadi di beberapa kota lain, terutama di Nabeul, Sousse, Kairouan, Sfax dan Tozeur.
Para pengunjuk rasa juga menyerbu kantor partaiIslam; Ennahdha, kekuatan dominan di Parlemen. Video yang beredar secara online menunjukkan asap mengepul keluar dari gedung Ennahdha. Para penyerang merusak komputer dan peralatan lain di dalamnya dan melemparkan dokumen ke jalan.
Partai tersebut mengecam serangan tersebut, dengan mengatakan bahwa “geng kriminal” dari dalam dan luar Tunisia sedang mencoba untuk “menyemai kekacauan dan kehancuran demi agenda yang bertujuan merusak proses demokrasi Tunisia”.
Dalam pengumumannya, Presiden Kais Saied mengatakan bahwa dia akan mengambil alih otoritas eksekutif dengan bantuan PM baru, yang mendorong tantangan terbesar bagi konstitusi 2014 yang membagi kekuasaan antara presiden, perdana menteri dan parlemen.
"Banyak orang tertipu oleh kemunafikan, pengkhianatan dan perampokan hak-hak rakyat," katanya dalam sebuah pernyataan yang disiarkan di media pemerintah, seperti dikutip Al Jazeera, Senin (26/7/2021).
"Saya memperingatkan siapa pun yang berpikir untuk menggunakan senjata...dan siapa pun yang menembakkan peluru, angkatan bersenjata akan merespons dengan peluru," imbuh presiden.
Ketua Parlemen Tunisia Rached Ghannouchi menuduh Presiden Saied melancarkan "kudeta terhadap revolusi dan konstitusi" setelah tindakan tersebut.
"Kami menganggap lembaga-lembaga itu masih berdiri dan pendukung Ennahda dan rakyat Tunisia akan membela revolusi," kata Ghannouchi, yang mengepalai Ennahda, kepada kantor berita Reuters melalui telepon.
Partai itu juga mengecam langkah presiden sebagai "kudeta negara terhadap revolusi".
"Apa yang dilakukan Kais Saied adalah kudeta negara terhadap revolusi dan konstitusi, dan anggota Ennahda dan rakyat Tunisia akan membela revolusi," tulis Ennahda dalam sebuah pernyataan di halaman Facebook-nya.
Saied telah terjerat dalam perselisihan politik dengan Perdana Menteri Mechichi selama lebih dari setahun, ketika negara itu bergulat dengan krisis ekonomi, krisis fiskal yang membayangi, dan respons yang gagal terhadap pandemi COVID-19.
(min)
Lihat Juga :
tulis komentar anda