Pesawat Pembom Nuklir AS Dekati China, Bisa Picu Perang
Kamis, 21 Mei 2020 - 07:27 WIB
Pada 29 April, Angkatan Udara AS mengirim dua B-1B Lancers untuk penerbangan bolak-balik 32 jam di atas Laut China Selatan. Pesawat itu merotasi pesawat pembom B-1, B-2 dan B-52.
Pada 14 Mei, Angkatan Laut China memulai latihan militer 11 minggu di perairan lepas kota pelabuhan utara Tangshan di Laut Kuning. AS mengirim kapal perang melintasi Selat Taiwan pada hari yang sama, yang menandai manuver keenamnya di selat tersebut sepanjang tahun ini.
Komando Indo-Pasifik AS mengatakan pada hari Rabu bahwa Angkatan Laut AS telah melakukan latihan perang ranjau di Laut China Timur.
China juga berniat meningkatkan kekuatan militernya. Negara ini menempatkan dua kapal selam strategis bertenaga nuklir yang baru di-upgrade ke dalam layanan militer bulan lalu dan juga mempertimbangkan peluncuran generasi baru pesawat pembom supersonik Xian H-20 pada tahun ini.
Zhu Feng, direktur studi internasional di Universitas Nanjing, mengatakan ketegangan di Laut China Selatan menjadi semakin memanas dan bergejolak dalam tiga bulan terakhir dan terkait erat dengan konflik politik dan diplomatik antara kedua negara.
Militer AS khawatir bahwa krisis virus corona baru (Covid-19) dapat menawarkan jendela peluang bagi China untuk meningkatkan kehadiran militer di Laut China Selatan, atau bahkan meningkatkan kemungkinan operasi militernya terhadap Taiwan.
"Respons keras China mungkin lebih jauh mendorong pemerintah Trump untuk menahan China di bidang lain, terus maju dengan strategi Indo-Pasifik AS, sebuah taktik penting bagi AS untuk menarik sekutu di wilayah tersebut ke sisinya dan lebih jauh mengasingkan China," kata Zhu.
Song Zhongping, seorang komentator urusan militer yang bermarkas di Hong Kong, mengatakan seringnya penerbangan pembom B-1B dan B-52 tidak hanya untuk menampilkan kehadiran militer AS tetapi juga latihan yang untuk menghadapi potensi perang di masa depan.
"B-1, menggantikan B-52, perlu terbang di sekitar perairan untuk mengetahui kondisi medan perang dengan baik," katanya.
"China dan AS memasuki kompetisi penuh dan situasinya lebih suram daripada Perang Dingin AS-Uni Soviet. Risiko konflik militer tidak dapat dikesampingkan di Laut China Selatan dan Selat Taiwan. Dan itu meningkat," kata Song.
Pada 14 Mei, Angkatan Laut China memulai latihan militer 11 minggu di perairan lepas kota pelabuhan utara Tangshan di Laut Kuning. AS mengirim kapal perang melintasi Selat Taiwan pada hari yang sama, yang menandai manuver keenamnya di selat tersebut sepanjang tahun ini.
Komando Indo-Pasifik AS mengatakan pada hari Rabu bahwa Angkatan Laut AS telah melakukan latihan perang ranjau di Laut China Timur.
China juga berniat meningkatkan kekuatan militernya. Negara ini menempatkan dua kapal selam strategis bertenaga nuklir yang baru di-upgrade ke dalam layanan militer bulan lalu dan juga mempertimbangkan peluncuran generasi baru pesawat pembom supersonik Xian H-20 pada tahun ini.
Zhu Feng, direktur studi internasional di Universitas Nanjing, mengatakan ketegangan di Laut China Selatan menjadi semakin memanas dan bergejolak dalam tiga bulan terakhir dan terkait erat dengan konflik politik dan diplomatik antara kedua negara.
Militer AS khawatir bahwa krisis virus corona baru (Covid-19) dapat menawarkan jendela peluang bagi China untuk meningkatkan kehadiran militer di Laut China Selatan, atau bahkan meningkatkan kemungkinan operasi militernya terhadap Taiwan.
"Respons keras China mungkin lebih jauh mendorong pemerintah Trump untuk menahan China di bidang lain, terus maju dengan strategi Indo-Pasifik AS, sebuah taktik penting bagi AS untuk menarik sekutu di wilayah tersebut ke sisinya dan lebih jauh mengasingkan China," kata Zhu.
Song Zhongping, seorang komentator urusan militer yang bermarkas di Hong Kong, mengatakan seringnya penerbangan pembom B-1B dan B-52 tidak hanya untuk menampilkan kehadiran militer AS tetapi juga latihan yang untuk menghadapi potensi perang di masa depan.
"B-1, menggantikan B-52, perlu terbang di sekitar perairan untuk mengetahui kondisi medan perang dengan baik," katanya.
"China dan AS memasuki kompetisi penuh dan situasinya lebih suram daripada Perang Dingin AS-Uni Soviet. Risiko konflik militer tidak dapat dikesampingkan di Laut China Selatan dan Selat Taiwan. Dan itu meningkat," kata Song.
Lihat Juga :
tulis komentar anda