Kekerasan Meningkat, YouTube Hapus Channel Junta Myanmar
Jum'at, 05 Maret 2021 - 22:49 WIB
YANGON - Situs pemutar video terbesar YouTube telah menghapus channel yang dijalankan oleh junta militer Myanmar menyusul meningkatnya aksi kekerasan di negara tersebut secara dramatis.
Ini adalah gelombang tindakan terbaru yang diambil oleh perusahaan media sosial sejak kudeta militer terjadi di negara itu pada 1 Februari, yang telah memicu serangkaian aksi protes massal dan penumpasan brutal oleh pasukan keamanan.
Channel yang dihapus pada hari Jumat (5/3/2021) berasal dari stasiuan penyiaran termasuk MRTV dan Myawaddy Media.
"Kami telah menghentikan sejumlah channel dan menghapus beberapa video dari YouTube sesuai dengan pedoman komunitas kami dan hukum yang berlaku," kata juru bicara YouTube, yang dimiliki oleh Google, seperti dikutip dari CNN.
TikTok, yang dijalankan oleh raksasa teknologi China ByteDance, juga mengumumkan bahwa mereka sedang berupaya untuk menghapus beberapa konten di Myanmar.
"Promosi kebencian dan kekerasan sama sekali tidak memiliki tempat di platform kami," kata juru bicara TikTok dalam sebuah pernyataan, tanpa menjelaskan lebih lanjut.
"Kami secara agresif menghapus konten di Myanmar yang melanggar prinsip kami, dan terus memantau situasinya," sambung pernyataan itu.
Jaringan media sosial telah dipaksa untuk meningkatkan respons mereka terhadap situasi politik di Myanmar setelah militer mengambil alih kekuasaan.
Beberapa minggu lalu, Facebook membatasi akun militer karena menyebarkan "informasi yang salah", dengan mengatakan mereka memperlakukan situasi di Myanmar sebagai keadaan darurat.
Facebook juga "menangguhkan tanpa batas" lembaga pemerintah Myanmar menggunakan saluran khusus yang disediakan bagi pejabat untuk mengirimkan permintaan penghapusan konten.
"Sejak peristiwa kudeta 1 Februari, termasuk kekerasan mematikan, telah memicu perlunya larangan ini," tulis Rafael Frankel, direktur kebijakan Facebook untuk ekonomi berkembang di Asia Pasifik, dalam sebuah postingan di blog pada saat itu.
Setelah kudeta, layanan internet dan berita, termasuk Facebook dan Twitter, terganggu di seluruh Myanmar, membatasi kemampuan orang untuk mendapatkan informasi tentang peristiwa tersebut.
Setidaknya 54 orang telah dibunuh oleh polisi dan perwira militer di Myanmar sejak 1 Februari, termasuk sedikitnya 30 orang pada Rabu lalu, menurut Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet. Korban tewas sebenarnya, bagaimanapun, bisa jauh lebih tinggi, dia memperingatkan.
Dalam sebuah pernyataan pada hari Kamis, Bachelet mengatakan bahwa lebih dari 1.700 orang telah ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang sejak Februari, dengan jumlah insiden yang meningkat dalam beberapa hari terakhir.
"Setidaknya 700 orang ditahan pada hari Rabu saja," tambahnya.
Ini adalah gelombang tindakan terbaru yang diambil oleh perusahaan media sosial sejak kudeta militer terjadi di negara itu pada 1 Februari, yang telah memicu serangkaian aksi protes massal dan penumpasan brutal oleh pasukan keamanan.
Channel yang dihapus pada hari Jumat (5/3/2021) berasal dari stasiuan penyiaran termasuk MRTV dan Myawaddy Media.
"Kami telah menghentikan sejumlah channel dan menghapus beberapa video dari YouTube sesuai dengan pedoman komunitas kami dan hukum yang berlaku," kata juru bicara YouTube, yang dimiliki oleh Google, seperti dikutip dari CNN.
TikTok, yang dijalankan oleh raksasa teknologi China ByteDance, juga mengumumkan bahwa mereka sedang berupaya untuk menghapus beberapa konten di Myanmar.
"Promosi kebencian dan kekerasan sama sekali tidak memiliki tempat di platform kami," kata juru bicara TikTok dalam sebuah pernyataan, tanpa menjelaskan lebih lanjut.
"Kami secara agresif menghapus konten di Myanmar yang melanggar prinsip kami, dan terus memantau situasinya," sambung pernyataan itu.
Jaringan media sosial telah dipaksa untuk meningkatkan respons mereka terhadap situasi politik di Myanmar setelah militer mengambil alih kekuasaan.
Beberapa minggu lalu, Facebook membatasi akun militer karena menyebarkan "informasi yang salah", dengan mengatakan mereka memperlakukan situasi di Myanmar sebagai keadaan darurat.
Facebook juga "menangguhkan tanpa batas" lembaga pemerintah Myanmar menggunakan saluran khusus yang disediakan bagi pejabat untuk mengirimkan permintaan penghapusan konten.
"Sejak peristiwa kudeta 1 Februari, termasuk kekerasan mematikan, telah memicu perlunya larangan ini," tulis Rafael Frankel, direktur kebijakan Facebook untuk ekonomi berkembang di Asia Pasifik, dalam sebuah postingan di blog pada saat itu.
Setelah kudeta, layanan internet dan berita, termasuk Facebook dan Twitter, terganggu di seluruh Myanmar, membatasi kemampuan orang untuk mendapatkan informasi tentang peristiwa tersebut.
Setidaknya 54 orang telah dibunuh oleh polisi dan perwira militer di Myanmar sejak 1 Februari, termasuk sedikitnya 30 orang pada Rabu lalu, menurut Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet. Korban tewas sebenarnya, bagaimanapun, bisa jauh lebih tinggi, dia memperingatkan.
Dalam sebuah pernyataan pada hari Kamis, Bachelet mengatakan bahwa lebih dari 1.700 orang telah ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang sejak Februari, dengan jumlah insiden yang meningkat dalam beberapa hari terakhir.
"Setidaknya 700 orang ditahan pada hari Rabu saja," tambahnya.
(ian)
tulis komentar anda