Paradoks Pemakaian Masker dan Pelarangan Cadar di Eropa
Jum'at, 25 September 2020 - 06:35 WIB
Belgia merupakan salah satu negara Eropa yang melarang burqa, niqab, dan cadar di tempat umum, tapi sekarang mewajibkan pemakaian masker. Poin utama yang dipaparkan ialah masyarakat yang berada di ruang publik harus dapat dikenal dan diidentifikasi atas alasan keamanan publik, kecuali untuk kegiatan kebudayaan. (Baca juga: Penting Deteksi Dini dan Kenali Gejala Pikun)
Tujuan dari undang-undang itu kini menjadi tidak valid karena semua orang diwajibkan mengenakan masker. Ahli keamanan dan intelijen Belgia, Profesor Kenneth Lasoen, mengatakan situasi ini berpeluang memperlemah pelarangan hijab full-face, terutama jika masyarakat sudah terbiasa dengan pemakaian masker.
Genevey juga mengatakan jika pelarangan burqa, niqab, dan cadar hanya didasarkan pada alasan agama, peraturan itu diskriminatif. Di Eropa, perempuan yang mengenakan burqa, niqab, dan cadar sedikit, yakni kurang dari 1%. Tapi, sekalipun dilarang, sebagian masih mengenakannya dan memilih didenda.
“Saya kira peraturan ini ironis karena pada saat bersamaan pemerintah membatasi pergerakan dan pemberdayaan perempuan aktif yang mengenakan cadar,” ujar Sanja Bilic dari Forum Perempuan Muslim Eropa (EFMW). “Beberapa dari mereka kini memutuskan untuk tinggal di rumah saja,” tambahnya.
Bilic menambahkan, pelarangan burqa, niqab, dan cadar merupakan tindak kriminalisasi terhadap kebebasan berpakaian di Eropa. Selain itu, peraturan tersebut secara tidak langsung memperburuk citra agama dan meningkatkan Islamofobia terhadap perempuan muslim yang juga aktif di dalam kegiatan sosial. (Baca juga: Mapolres Yalimo Papua Diserang, Kasat Intel Terluka Parah)
Sikap intoleran di Eropa juga meningkat. Anggota Parlemen Prancis Anne-Christine Lang juga pernah memilih keluar dari rapat setelah melihat kepala himpunan mahasiswa yang hadir mengenakan hijab. Beberapa orang Eropa beranggapan perempuan muslim dipaksa mengenakan hijab atau cadar oleh keluarganya.
“Tapi saya kurang percaya dengan pendapat tersebut. Faktanya, gelombang protes datang langsung dari pemakai niqab, bukan keluarga,” ujar Bilic. “Sebagian besar dari perempuan muslim juga mengenakan burqa, niqab, dan cadar atas pilihan mereka sendiri karena sebenarnya mereka boleh menampakkan muka.”
Namun, beberapa warga Eropa berpendapat pemakaian niqab dan masker merupakan dua isu yang berbeda. Mahasiswa lokal, Vanessa dan Victoria, mengatakan masker diwajibkan untuk melindungi kesehatan semua orang, sedangkan burqa untuk kelompok tertentu dan belum tentu untuk kelompok yang lain. (Lihat videonya: Warga Wuhan Mulai Beraktivitas Normal Kembali)
“Saya kira masker setidaknya masih membuat saya dapat membedakan mana perempuan dan laki-laki,” kata warga Prancis, Samia. “Intinya, kita perlu menjaga keamanan publik. Jadi Eropa perlu mencari cara untuk menjaga keamanan, sekalipun harus melarang pakaian tertentu, tanpa memasang stigma pada kelompok tertentu.” (Muh Shamil)
Tujuan dari undang-undang itu kini menjadi tidak valid karena semua orang diwajibkan mengenakan masker. Ahli keamanan dan intelijen Belgia, Profesor Kenneth Lasoen, mengatakan situasi ini berpeluang memperlemah pelarangan hijab full-face, terutama jika masyarakat sudah terbiasa dengan pemakaian masker.
Genevey juga mengatakan jika pelarangan burqa, niqab, dan cadar hanya didasarkan pada alasan agama, peraturan itu diskriminatif. Di Eropa, perempuan yang mengenakan burqa, niqab, dan cadar sedikit, yakni kurang dari 1%. Tapi, sekalipun dilarang, sebagian masih mengenakannya dan memilih didenda.
“Saya kira peraturan ini ironis karena pada saat bersamaan pemerintah membatasi pergerakan dan pemberdayaan perempuan aktif yang mengenakan cadar,” ujar Sanja Bilic dari Forum Perempuan Muslim Eropa (EFMW). “Beberapa dari mereka kini memutuskan untuk tinggal di rumah saja,” tambahnya.
Bilic menambahkan, pelarangan burqa, niqab, dan cadar merupakan tindak kriminalisasi terhadap kebebasan berpakaian di Eropa. Selain itu, peraturan tersebut secara tidak langsung memperburuk citra agama dan meningkatkan Islamofobia terhadap perempuan muslim yang juga aktif di dalam kegiatan sosial. (Baca juga: Mapolres Yalimo Papua Diserang, Kasat Intel Terluka Parah)
Sikap intoleran di Eropa juga meningkat. Anggota Parlemen Prancis Anne-Christine Lang juga pernah memilih keluar dari rapat setelah melihat kepala himpunan mahasiswa yang hadir mengenakan hijab. Beberapa orang Eropa beranggapan perempuan muslim dipaksa mengenakan hijab atau cadar oleh keluarganya.
“Tapi saya kurang percaya dengan pendapat tersebut. Faktanya, gelombang protes datang langsung dari pemakai niqab, bukan keluarga,” ujar Bilic. “Sebagian besar dari perempuan muslim juga mengenakan burqa, niqab, dan cadar atas pilihan mereka sendiri karena sebenarnya mereka boleh menampakkan muka.”
Namun, beberapa warga Eropa berpendapat pemakaian niqab dan masker merupakan dua isu yang berbeda. Mahasiswa lokal, Vanessa dan Victoria, mengatakan masker diwajibkan untuk melindungi kesehatan semua orang, sedangkan burqa untuk kelompok tertentu dan belum tentu untuk kelompok yang lain. (Lihat videonya: Warga Wuhan Mulai Beraktivitas Normal Kembali)
“Saya kira masker setidaknya masih membuat saya dapat membedakan mana perempuan dan laki-laki,” kata warga Prancis, Samia. “Intinya, kita perlu menjaga keamanan publik. Jadi Eropa perlu mencari cara untuk menjaga keamanan, sekalipun harus melarang pakaian tertentu, tanpa memasang stigma pada kelompok tertentu.” (Muh Shamil)
(ysw)
tulis komentar anda