6 Alasan Israel Tetap Ngotot Rebut Rafah meski Dikecam Banyak Pihak
Rabu, 08 Mei 2024 - 14:15 WIB
Menteri Keamanan Nasional sayap kanan Israel Itamar Ben-Gvir, dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, dilaporkan mengancam akan meninggalkan dan meruntuhkan koalisi Netanyahu jika Israel menyetujui kesepakatan dan gencatan senjata.
Khaled Elgindy, analis Israel-Palestina di Middle East Institute, percaya penerimaan proposal gencatan senjata oleh Hamas menempatkan Netanyahu dalam posisi yang canggung karena dia tidak dapat lagi mengklaim kesepakatan yang masuk akal tidak akan tercapai.
“Netanyahu membutuhkan perang untuk terus berlanjut dan meluas agar dia bisa tetap berkuasa. Dia secara pribadi tidak memiliki insentif,” papar dia kepada Al Jazeera.
Lovatt, dari ECFR, menambahkan invasi Rafah juga membawa risiko jangka menengah dan panjang bagi Netanyahu dan Israel.
Dia khawatir jika Israel secara signifikan meningkatkan serangannya terhadap Rafah, maka mereka akan kehilangan sisa tawanan Israel tanpa mencapai tujuan yang dinyatakan untuk “membasmi Hamas”.
“Kalau Israel masuk ke Rafah dan menimbulkan pembantaian dan kerusakan, maka tujuan strategisnya tidak akan tercapai dan saya pikir hal itu akan menciptakan lebih banyak komplikasi bagi Netanyahu dalam beberapa minggu dan bulan mendatang,” ungkap dia kepada Al Jazeera.
Pada Mei, Presiden AS Joe Biden memperingatkan Netanyahu agar tidak menginvasi Rafah dan mengatakan tindakan seperti itu akan menjadi “garis merah”.
Lovatt yakin AS harus menghukum Netanyahu karena mengabaikan ancaman Biden. Dia menambahkan AS harus menangguhkan bantuan militer dan mengklarifikasi proposal gencatan senjata yang diterima Hamas sejalan dengan proposal yang dimediasi Kepala CIA Burns.
“Tampaknya Israel mengabaikan proposal gencatan senjata yang dibuat Will Burns. Ini adalah langkah besar yang menentang diplomasi AS dan saya pikir AS perlu mengambil tindakan,” papar Lovatt kepada Al Jazeera.
Khaled Elgindy, analis Israel-Palestina di Middle East Institute, percaya penerimaan proposal gencatan senjata oleh Hamas menempatkan Netanyahu dalam posisi yang canggung karena dia tidak dapat lagi mengklaim kesepakatan yang masuk akal tidak akan tercapai.
“Netanyahu membutuhkan perang untuk terus berlanjut dan meluas agar dia bisa tetap berkuasa. Dia secara pribadi tidak memiliki insentif,” papar dia kepada Al Jazeera.
Lovatt, dari ECFR, menambahkan invasi Rafah juga membawa risiko jangka menengah dan panjang bagi Netanyahu dan Israel.
Dia khawatir jika Israel secara signifikan meningkatkan serangannya terhadap Rafah, maka mereka akan kehilangan sisa tawanan Israel tanpa mencapai tujuan yang dinyatakan untuk “membasmi Hamas”.
“Kalau Israel masuk ke Rafah dan menimbulkan pembantaian dan kerusakan, maka tujuan strategisnya tidak akan tercapai dan saya pikir hal itu akan menciptakan lebih banyak komplikasi bagi Netanyahu dalam beberapa minggu dan bulan mendatang,” ungkap dia kepada Al Jazeera.
6. Tekanan AS Lemah pada Israel
Pada Mei, Presiden AS Joe Biden memperingatkan Netanyahu agar tidak menginvasi Rafah dan mengatakan tindakan seperti itu akan menjadi “garis merah”.
Lovatt yakin AS harus menghukum Netanyahu karena mengabaikan ancaman Biden. Dia menambahkan AS harus menangguhkan bantuan militer dan mengklarifikasi proposal gencatan senjata yang diterima Hamas sejalan dengan proposal yang dimediasi Kepala CIA Burns.
“Tampaknya Israel mengabaikan proposal gencatan senjata yang dibuat Will Burns. Ini adalah langkah besar yang menentang diplomasi AS dan saya pikir AS perlu mengambil tindakan,” papar Lovatt kepada Al Jazeera.
tulis komentar anda