6 Alasan Israel Tetap Ngotot Rebut Rafah meski Dikecam Banyak Pihak

Rabu, 08 Mei 2024 - 14:15 WIB
Seorang anak melihat ketika para pengungsi membongkar tenda mereka menjelang serangan militer Israel di Rafah, Jalur Gaza selatan, 6 Mei 2024. Foto/REUTERS/Hatem Khaled
RAFAH - Israel tampaknya dibutakan oleh pengumuman Hamas pada Senin (6/5/2024) bahwa pejuang Palestina telah menyetujui proposal gencatan senjata Mesir-Qatar.

Namun pemerintah Israel dengan cepat memperjelas posisinya, usulan tersebut bukanlah sesuatu yang akan mereka setujui, dan, yang lebih eksplisit, pasukan militer Israel segera mengambil alih Rafah, wilayah Palestina di perbatasan Mesir dengan Gaza.

Alasan Israel Berambisi Rebut Rafah



1. Israel Yakin Genosida di Gaza Harus Berlanjut



Bagi banyak analis, pesan pemerintah Israel jelas yakni tidak akan ada gencatan senjata permanen, dan perang dahsyat di Gaza akan terus berlanjut.

“Israel ingin memiliki hak untuk melanjutkan operasi di Gaza,” ujar Mairav Zonszein, analis senior Israel-Palestina untuk International Crisis Group (ICG).

Dia menambahkan, kesepakatan tampaknya tidak mungkin terjadi selama Israel menolak mengakhiri perang untuk selamanya.

“Jika Anda memasuki kesepakatan gencatan senjata, maka Anda (pada akhirnya) memerlukan gencatan senjata,” papar dia kepada Al Jazeera.

2. Israel Berdalih Serang Hamas



Israel berdalih pengeboman Israel di Rafah mempunyai tujuan nyata untuk membubarkan batalion Hamas dan menguasai jalur penyeberangan Gaza-Mesir.

Rezim kolonial Zionis juga menuduh Hamas menggunakan Rafah untuk menyelundupkan senjata ke daerah kantong yang terkepung.

Namun kelompok-kelompok kemanusiaan dengan cepat menunjukkan penutupan penyeberangan akan berdampak buruk bagi lebih dari satu juta warga Palestina yang tinggal di Rafah, yang sebagian besar dari mereka adalah pengungsi.

3. Israel Berniat Hancurkan Gaza Secara Total



Serangan di Rafah membahayakan harapan tercapainya kesepakatan antara Israel dan Hamas, yang telah ditengahi oleh Mesir, Qatar, dan Amerika Serikat selama berhari-hari, dengan William Burns, kepala Badan Intelijen Pusat (CIA), yang sangat terlibat dalam hal ini.

Israel mengatakan persyaratan gencatan senjata Hamas berbeda dari proposal sebelumnya. Namun para analis percaya masalah yang lebih luas adalah Israel tidak bersedia menyetujui gencatan senjata permanen, bahkan setelah Hamas membebaskan tawanan Israel.

“Beberapa hari terakhir telah membuktikan Israel tidak melakukan negosiasi dengan itikad baik. Saat Hamas menyetujui kesepakatan, Israel bersedia meledakkannya dengan memulai serangan mereka di Rafah,” ungkap Omar Rahman, pakar Israel-Palestina di Dewan Urusan Global Timur Tengah, wadah pemikir di Doha, Qatar.

“Tujuannya adalah untuk menghancurkan Gaza secara total,” katanya kepada Al Jazeera.

4. Netanyahu Ingin Jual Kemenangan



Rafah telah menjadi tempat perlindungan terakhir bagi warga Palestina yang melarikan diri dari serangan Israel di wilayah utara dan tengah wilayah tersebut.

Wilayah ini tidak sepenuhnya terhindar dari serangan, namun tentara Israel hingga hari Senin belum mengirimkan pasukan darat untuk menduduki wilayah di sana.

Namun setelah melakukan operasi darat di seluruh Gaza, dan dengan Hamas yang masih beroperasi serta puluhan tawanan Israel yang masih ditahan, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah memulai serangannya di Rafah.

Teka-teki yang dihadapi Netanyahu adalah dia menjanjikan kemenangan publik Israel melawan Hamas dan sebagian besar warga Yahudi Israel mendukung invasi ke Rafah, menurut survei yang dilakukan pada bulan Maret oleh Institut Demokrasi Israel.

Namun Amerika Serikat (AS), meskipun memberikan dukungan besar kepada Israel selama perang di Gaza, telah menegaskan mereka tidak akan mendukung invasi besar-besaran.

Kabinet perang Israel mungkin berusaha memuaskan opini publik dengan melanjutkan serangan Rafah dan awalnya menolak gencatan senjata, menurut Hugh Lovatt, pakar Israel-Palestina di Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa (ECFR).

“Mungkin terlalu sulit bagi pemerintah Israel untuk menerima proposal yang dianggap (oleh publik Israel) sesuai dengan persyaratan Hamas,” ujar dia kepada Al Jazeera.

“Dengan memasuki Rafah, Israel terlihat mengatakan…kami telah mengambil alih koridor tersebut, kami telah memberantas infrastruktur teroris dan sekarang kami dapat melakukan gencatan senjata,” papar dia.

5. Netanyahu Ingin Tetap Berkuasa



Karir politik Netanyahu juga bergantung pada kelanjutan perang di Gaza, menurut para analis kepada Al Jazeera.

Mereka menjelaskan gencatan senjata permanen dapat menyebabkan runtuhnya koalisi sayap kanan, sehingga mendorong pemilihan umum dini dan pemecatannya dari kekuasaan.

Menteri Keamanan Nasional sayap kanan Israel Itamar Ben-Gvir, dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, dilaporkan mengancam akan meninggalkan dan meruntuhkan koalisi Netanyahu jika Israel menyetujui kesepakatan dan gencatan senjata.

Khaled Elgindy, analis Israel-Palestina di Middle East Institute, percaya penerimaan proposal gencatan senjata oleh Hamas menempatkan Netanyahu dalam posisi yang canggung karena dia tidak dapat lagi mengklaim kesepakatan yang masuk akal tidak akan tercapai.

“Netanyahu membutuhkan perang untuk terus berlanjut dan meluas agar dia bisa tetap berkuasa. Dia secara pribadi tidak memiliki insentif,” papar dia kepada Al Jazeera.

Lovatt, dari ECFR, menambahkan invasi Rafah juga membawa risiko jangka menengah dan panjang bagi Netanyahu dan Israel.

Dia khawatir jika Israel secara signifikan meningkatkan serangannya terhadap Rafah, maka mereka akan kehilangan sisa tawanan Israel tanpa mencapai tujuan yang dinyatakan untuk “membasmi Hamas”.

“Kalau Israel masuk ke Rafah dan menimbulkan pembantaian dan kerusakan, maka tujuan strategisnya tidak akan tercapai dan saya pikir hal itu akan menciptakan lebih banyak komplikasi bagi Netanyahu dalam beberapa minggu dan bulan mendatang,” ungkap dia kepada Al Jazeera.

6. Tekanan AS Lemah pada Israel



Pada Mei, Presiden AS Joe Biden memperingatkan Netanyahu agar tidak menginvasi Rafah dan mengatakan tindakan seperti itu akan menjadi “garis merah”.

Lovatt yakin AS harus menghukum Netanyahu karena mengabaikan ancaman Biden. Dia menambahkan AS harus menangguhkan bantuan militer dan mengklarifikasi proposal gencatan senjata yang diterima Hamas sejalan dengan proposal yang dimediasi Kepala CIA Burns.

“Tampaknya Israel mengabaikan proposal gencatan senjata yang dibuat Will Burns. Ini adalah langkah besar yang menentang diplomasi AS dan saya pikir AS perlu mengambil tindakan,” papar Lovatt kepada Al Jazeera.

Dia menjelaskan, “Ini tentang menyelamatkan Netanyahu dari dirinya sendiri dan menyelamatkan Israel dari dirinya sendiri.”

AS telah menunda penjualan ribuan senjata presisi ke Israel, namun Elgindy skeptis AS akan memberikan tekanan lebih besar untuk mencegah bencana di Rafah.

Dia mengatakan Biden tampaknya masih belum memahami kesalahan strategis Israel di Gaza atau skala bencana yang diakibatkannya.

“Beberapa orang di pemerintahan Biden telah mencapai kesimpulan tersebut (bahwa Israel melakukan kesalahan strategis), tetapi mereka bukanlah pengambil keputusan. Mereka bukan presiden,” ungkap dia kepada Al Jazeera.

Zonszein, dari Crisis Group, menambahkan tidak jelas seberapa jauh AS akan mendorong Netanyahu agar menerima gencatan senjata.

Dia mengatakan bahwa AS tampaknya telah memberikan jaminan pribadi kepada para mediator bahwa setiap gencatan senjata pada akhirnya akan mengakhiri perang secara permanen.

“AS sangat tertarik untuk menghentikan invasi Israel ke Rafah dan saya pikir AS mempunyai kemampuan untuk menghentikannya,” papar dia. “Mereka tidak ingin terlihat membantu Hamas, jadi ini adalah situasi yang sulit.”

(sya)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More