Takut akan Keamanannya, Putra Mahkota Saudi Dilaporkan Sembunyi di Superyacht
A
A
A
RIYADH - Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman dilaporkan menghabiskan lebih banyak waktunya di superyacht (kapal pesiar mewah)-nya demi keamanan. Kebijakan agresif yang dia ambil membuat putra Raja Salman ini memiliki banyak saingan di negaranya dan di sekitar wilayah Timur Tengah.
Pangeran Mohammed resmi diangkat sebagai Putra Mahkota pada tahun 2017. Sejak itu, pangeran yang menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan ini mengejar kebijakan agresif termasuk meluncurkan agresi di Yaman untuk memerangi pemberontak Houthi.
Laporan tentang ketakutan Mohammed akan keselamatannya itu muncul dari Bruce Riedel, Direktur Brookings Institution’s Intelligence Project. Menurutnya, perubahan pada garis keturunan suksesi dan keputusan oleh putra mahkota berusia 32 tahun di dalam dan luar negeri telah merusak stabilitas kerajaan.
Menurutnya, Pangeran Mohammed sadar akan permusuhan yang sedang tumbuh.
"Takut untuk keamanannya, putra mahkota dikatakan menghabiskan banyak malam di kapal pesiar (senilai) setengah miliar dolar yang ditambatkan di Jeddah," tulis Riedel untuk Al-Monitor, di mana dia adalah seorang kolumnis.
Mengutip laporan Business Insider, Selasa (25/9/2018), Pangeran Mohammed tertarik pada superyacht senilai 0,5 miliar dolar yang panjangnya 440 kaki. Kapal pesiar mewah itu bernama Serene.
Dia tertarik memilikinya setelah melihatnya pada akhir 2016 ketika berlibur di wilayah selatan Prancis.
Dia membelinya dari miliarder Rusia. Kapal pesiar mewah itu mencakup dua helipad, dinding panjat dalam ruangan, spa lengkap, dan tiga kolam renang.
Namun, sang pangeran membelinya saat dia mendorong penghematan negara, di mana pemerintah telah memotong anggaran belanja besar-besaran dan pembekuan kontrak pemerintah.
"Ini adalah istana terapung yang lebih panjang dari lapangan sepak bola dan dengan banyak keistimewaan," tulis Riedel mengacu pada kapal pesiar Serene. "Ini juga merupakan pintu keluar potensial."
Isu-isu utama kebijakan luar negeri yang telah membangkitkan kemarahan terhadap Pangeran Mohammed antara lain perang di Yaman dan blokade terhadap Qatar.
Menurut Riedel, kritik terhadap perang berdarah di Yaman—yang telah menyebabkan banyak orang kelaparan dan menderita penyakit—telah berkembang di dalam Arab Saudi selama berbulan-bulan.
Sebuah video dari Pangeran Ahmed bin Abdulaziz—saudara tiri Raja Salman—secara terbuka menyalahkan Pangeran Mohammed soal perang di Yaman. Video itu viral di kerajaan pada bulan ini.
Kebijakan blokade terhadap Qatar atas tuduhan Doha mendukung terorisme dan dekat dengan Iran juga memicu kritik di dalam negeri Saudi. Menurut Riedel, seorang ulama telah ditangkap dan menghadapi eksekusi karena mengkritik kebijakan itu. Sikap Dewan Kerja Sama Islam (OKI), menurut Riedel, juga terbelah gara-gara kebijakan itu.
Kebijakan lain adalah penangkapan massal para eksekutif bisnis dan anggota keluarga kerajaan pada musim gugur lalu. Penangkapan massal itu dilakukan terkait operasi anti-korupsi. Langkah itu membuat investor waswas dan mengurangi kepercayaan pada kemampuan Pangeran Mohammed untuk mengelola masalah ekonomi Saudi.
Di antara lusinan pebisnis dan pangeran yang ditangkap adalah Pangeran Mutaib bin Abdullah, pemimpin pasukan tempur Saudi yang ikut terlibat dalam agresi di Yaman. Tak hanya ditangkap, Pangeran Mutaib juga dipecat. Langkah itu dikhawatirkan bisa mengasingkan Pangeran Mohammed dari militer Saudi.
Rosie Bsheer, seorang profesor sejarah di Yale, mengatakan pemecatan Pangeran Mutaib akan menimbulkan ketidakpuasan, dan gerakan anti-Salman.
Riedel menambahkan proses penggantian Raja Salman bisa berubah menjadi kekerasan.
"Administrasi Trump telah memberikan cek kosong kepada Arab Saudi dan mendukung perangnya di Yaman," tulis Riedel. “Putra mahkota telah dipuji oleh Gedung Putih. Ini pendekatan yang bodoh dan berbahaya."
Pangeran Mohammed resmi diangkat sebagai Putra Mahkota pada tahun 2017. Sejak itu, pangeran yang menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan ini mengejar kebijakan agresif termasuk meluncurkan agresi di Yaman untuk memerangi pemberontak Houthi.
Laporan tentang ketakutan Mohammed akan keselamatannya itu muncul dari Bruce Riedel, Direktur Brookings Institution’s Intelligence Project. Menurutnya, perubahan pada garis keturunan suksesi dan keputusan oleh putra mahkota berusia 32 tahun di dalam dan luar negeri telah merusak stabilitas kerajaan.
Menurutnya, Pangeran Mohammed sadar akan permusuhan yang sedang tumbuh.
"Takut untuk keamanannya, putra mahkota dikatakan menghabiskan banyak malam di kapal pesiar (senilai) setengah miliar dolar yang ditambatkan di Jeddah," tulis Riedel untuk Al-Monitor, di mana dia adalah seorang kolumnis.
Mengutip laporan Business Insider, Selasa (25/9/2018), Pangeran Mohammed tertarik pada superyacht senilai 0,5 miliar dolar yang panjangnya 440 kaki. Kapal pesiar mewah itu bernama Serene.
Dia tertarik memilikinya setelah melihatnya pada akhir 2016 ketika berlibur di wilayah selatan Prancis.
Dia membelinya dari miliarder Rusia. Kapal pesiar mewah itu mencakup dua helipad, dinding panjat dalam ruangan, spa lengkap, dan tiga kolam renang.
Namun, sang pangeran membelinya saat dia mendorong penghematan negara, di mana pemerintah telah memotong anggaran belanja besar-besaran dan pembekuan kontrak pemerintah.
"Ini adalah istana terapung yang lebih panjang dari lapangan sepak bola dan dengan banyak keistimewaan," tulis Riedel mengacu pada kapal pesiar Serene. "Ini juga merupakan pintu keluar potensial."
Isu-isu utama kebijakan luar negeri yang telah membangkitkan kemarahan terhadap Pangeran Mohammed antara lain perang di Yaman dan blokade terhadap Qatar.
Menurut Riedel, kritik terhadap perang berdarah di Yaman—yang telah menyebabkan banyak orang kelaparan dan menderita penyakit—telah berkembang di dalam Arab Saudi selama berbulan-bulan.
Sebuah video dari Pangeran Ahmed bin Abdulaziz—saudara tiri Raja Salman—secara terbuka menyalahkan Pangeran Mohammed soal perang di Yaman. Video itu viral di kerajaan pada bulan ini.
Kebijakan blokade terhadap Qatar atas tuduhan Doha mendukung terorisme dan dekat dengan Iran juga memicu kritik di dalam negeri Saudi. Menurut Riedel, seorang ulama telah ditangkap dan menghadapi eksekusi karena mengkritik kebijakan itu. Sikap Dewan Kerja Sama Islam (OKI), menurut Riedel, juga terbelah gara-gara kebijakan itu.
Kebijakan lain adalah penangkapan massal para eksekutif bisnis dan anggota keluarga kerajaan pada musim gugur lalu. Penangkapan massal itu dilakukan terkait operasi anti-korupsi. Langkah itu membuat investor waswas dan mengurangi kepercayaan pada kemampuan Pangeran Mohammed untuk mengelola masalah ekonomi Saudi.
Di antara lusinan pebisnis dan pangeran yang ditangkap adalah Pangeran Mutaib bin Abdullah, pemimpin pasukan tempur Saudi yang ikut terlibat dalam agresi di Yaman. Tak hanya ditangkap, Pangeran Mutaib juga dipecat. Langkah itu dikhawatirkan bisa mengasingkan Pangeran Mohammed dari militer Saudi.
Rosie Bsheer, seorang profesor sejarah di Yale, mengatakan pemecatan Pangeran Mutaib akan menimbulkan ketidakpuasan, dan gerakan anti-Salman.
Riedel menambahkan proses penggantian Raja Salman bisa berubah menjadi kekerasan.
"Administrasi Trump telah memberikan cek kosong kepada Arab Saudi dan mendukung perangnya di Yaman," tulis Riedel. “Putra mahkota telah dipuji oleh Gedung Putih. Ini pendekatan yang bodoh dan berbahaya."
(mas)