Krisis Yerusalem Memanas, Abbas Temui Raja Salman
A
A
A
RAMALLAH - Di tengah krisis Yerusalem yang semakin memanas, Presiden Palestina Mahmoud Abbas dijadwalkan menemui Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud di Riyadh, Arab Saudi, pada hari Selasa (19/12/2017).
Abbas bersama Raja Salman dan Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman akan membahas pengakuan Amerika Serikat atas Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. Jadwal pertemuan Abbas dan Raja Arab Saudi itu disampaikan Duta Besar Palestina untuk Arab Saudi, Bassam al-Agha, hari Senin.
Al-Agha mengatakan kepada Voice of Palestine bahwa perjalanan pemimpin Palestina tersebut mencerminkan koordinasi yang berkelanjutan antara Abbas dan Raja Salman.
Baca Juga: 14 dari 15 Anggota DK PBB Tolak Status Yerusalem, AS: Penghinaan!
Namun, kunjungan Abbas terjadi di tengah kekhawatiran Palestina yang melihat respons Saudi yang lemah terhadap langkah Trump. Banyak negara, termasuk Indonesia, mendesak AS membatalkan pengakuan Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.
Raja Salman sejatinya telah mengutuk keputusan sepihak Presiden Trump tersebut. Pernyataan sikap pemimpin Saudi ini pernah disampaikan saat negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menggelar Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa (KTT-LB) di Istanbul beberapa waktu lalu.
”Kerajaan telah menyerukan sebuah solusi politik untuk menyelesaikan krisis regional, yang terpenting adalah masalah Palestina dan pemulihan hak-hak sah rakyat Palestina, termasuk hak untuk mendirikan negara merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya,” kata Raja Salman, saat itu.
Baca Juga: Raja Salman: Hak Palestina Merdeka Beribukota di Yerusalem Timur
Keputusan Presiden AS Donald Trump, lanjut Raja Salman, mewakili bias ekstrem terhadap hak-hak rakyat Palestina di Yerusalem yang telah dijamin oleh resolusi internasional.
“Saya mengulangi penghukuman Kerajaan dan penyesalan yang kuat atas keputusan AS mengenai Yerusalem, karena menghapus hak-hak bersejarah rakyat Palestina di Yerusalem,” imbuh pemimpin Kerajaan Saudi ini.
Terkait polemik Yerusalem, pemimpin senior Palestina dilaporkan mempertimbangkan alternatif untuk merumuskan strategi baru untuk menangani Israel dan AS dalam sebuah pertemuan di Ramallah pada hari Senin malam. Para pemimpin senior itu, termasuk komite eksekutif PLO, Perdana Menteri Palestina Rami Hamdallah, menteri hingga kepala keamanan Palestina.
Pertemuan itu untuk menekankan bahwa AS telah kehilangan perannya sebagai mediator dan untuk membahas pembatalan Kesepakatan Oslo 1993.
Hamdallah, sebelum pertemuan tersebut, mengatakan bahwa langkah AS tidak akan pernah memberi legitimasi kepada Israel di Yerusalem.”Atau di setiap inci tanah kami dan tidak akan pernah dapat mengubah identitas, sifat dan sejarah Yerusalem yang merupakan Kota Kristen-Islam Arab Palestina dan ibu kota abadi negara Palestina,” kata Hamdallah.
“Tidak mungkin ada negara Palestina tanpa Yerusalem menjadi ibukotanya dan tanpa itu tidak akan pernah ada kedamaian di wilayah ini atau seluruh dunia,” ujarnya, seperti dikutip Jerusalem Post.
Abbas bersama Raja Salman dan Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman akan membahas pengakuan Amerika Serikat atas Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. Jadwal pertemuan Abbas dan Raja Arab Saudi itu disampaikan Duta Besar Palestina untuk Arab Saudi, Bassam al-Agha, hari Senin.
Al-Agha mengatakan kepada Voice of Palestine bahwa perjalanan pemimpin Palestina tersebut mencerminkan koordinasi yang berkelanjutan antara Abbas dan Raja Salman.
Baca Juga: 14 dari 15 Anggota DK PBB Tolak Status Yerusalem, AS: Penghinaan!
Namun, kunjungan Abbas terjadi di tengah kekhawatiran Palestina yang melihat respons Saudi yang lemah terhadap langkah Trump. Banyak negara, termasuk Indonesia, mendesak AS membatalkan pengakuan Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.
Raja Salman sejatinya telah mengutuk keputusan sepihak Presiden Trump tersebut. Pernyataan sikap pemimpin Saudi ini pernah disampaikan saat negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menggelar Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa (KTT-LB) di Istanbul beberapa waktu lalu.
”Kerajaan telah menyerukan sebuah solusi politik untuk menyelesaikan krisis regional, yang terpenting adalah masalah Palestina dan pemulihan hak-hak sah rakyat Palestina, termasuk hak untuk mendirikan negara merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya,” kata Raja Salman, saat itu.
Baca Juga: Raja Salman: Hak Palestina Merdeka Beribukota di Yerusalem Timur
Keputusan Presiden AS Donald Trump, lanjut Raja Salman, mewakili bias ekstrem terhadap hak-hak rakyat Palestina di Yerusalem yang telah dijamin oleh resolusi internasional.
“Saya mengulangi penghukuman Kerajaan dan penyesalan yang kuat atas keputusan AS mengenai Yerusalem, karena menghapus hak-hak bersejarah rakyat Palestina di Yerusalem,” imbuh pemimpin Kerajaan Saudi ini.
Terkait polemik Yerusalem, pemimpin senior Palestina dilaporkan mempertimbangkan alternatif untuk merumuskan strategi baru untuk menangani Israel dan AS dalam sebuah pertemuan di Ramallah pada hari Senin malam. Para pemimpin senior itu, termasuk komite eksekutif PLO, Perdana Menteri Palestina Rami Hamdallah, menteri hingga kepala keamanan Palestina.
Pertemuan itu untuk menekankan bahwa AS telah kehilangan perannya sebagai mediator dan untuk membahas pembatalan Kesepakatan Oslo 1993.
Hamdallah, sebelum pertemuan tersebut, mengatakan bahwa langkah AS tidak akan pernah memberi legitimasi kepada Israel di Yerusalem.”Atau di setiap inci tanah kami dan tidak akan pernah dapat mengubah identitas, sifat dan sejarah Yerusalem yang merupakan Kota Kristen-Islam Arab Palestina dan ibu kota abadi negara Palestina,” kata Hamdallah.
“Tidak mungkin ada negara Palestina tanpa Yerusalem menjadi ibukotanya dan tanpa itu tidak akan pernah ada kedamaian di wilayah ini atau seluruh dunia,” ujarnya, seperti dikutip Jerusalem Post.
(mas)