Ukraina: Referendum Jelang G20 Bukti Rusia Permalukan Diri
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kedutaan Besar Ukraina untuk Indonesia menilai referendum secara paksa wilayah yang dijajah menjelang kegiatan Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Bali adalah bukti negara Rusia secara sadar tengah memperlakukan diri.
“Ini bukan kali pertama Rusia memaksakan refendum bagi wilayah Ukraina, tahun 2014 mereka melakukan hal yang sama bagi wilayah Donetsk dan Luhansk dan dunia tidak mengakui hal tersebut. Namun kali ini Rusia melangkah lebih jauh, pemaksaan dilakukan menjelang KTT G-20,” tutur Duta Besar Ukraina untuk Indonesia, Vasyl Hamianin, Jumat (30/9), dalam rilis yang diterima Sindonews.
Pada 23-27 September, Federasi Rusia menggelar “referendum” di wilayah-wilayah Ukraina yang diduduki sementara, yaitu Kherson, Zaporizhzhia, Luhansk, dan Donetsk. Rakyat dipaksa memilih untuk sepakat menjadi bagian Rusia.
Pemerintah Ukraina menegaskan berhak untuk memulihkan integritas wilayah kami menggunakan jalur militer maupun diplomasi, dan akan terus berjuang untuk membebaskan wilayah yang berada di bawah pendudukan sementara.
“Ukraina tidak akan pernah tunduk pada satu pun ultimatum rusia. Upaya Moskow untuk membuat garis pemisah baru, atau melemahkan dukungan internasional kepada bangsa Ukraina yang merdeka dan berdaulat pasti akan gagal,” tegasnya
Menurut Vasyl Hamianin dengan menyelenggarakan “referendum” palsu di wilayah-wilayah Ukraina yang diduduki sementara, Federasi Rusia dengan sengaja menunjukkan bahwa semua sinyal yang mereka tentang upaya negosiasi hanyalah dalih untuk menutupi agresi bersenjatanya.
Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Politik dan Pemeliharaan Perdamaian, Rosemary DiCarlo, pada Selasa (27/9/2022) mengatakan bahwa referendum yang didukung Rusia di wilayah Ukraina yang diduduki "bukanlah ekspresi asli dari keinginan rakyat" atau "legal" di bawah hukum internasional.
DiCarlo mengatakan PBB tetap berkomitmen penuh pada kedaulatan, persatuan, kemerdekaan, dan integritas wilayah Ukraina dan menuntut agar Rusia patuh pada hukum internasional dan menghormati hukum Ukraina.
Tuan rumah G20, Presiden Jokow Widodo sebagai pemimpin pertama Asia yang berkunjun ke Kiev dan Moskow pada Kamis (29/9) pun menilai referendum yang dilakukan Rusia semakin memperumit penyelesaian damai yang akibatnya akan memperpanjang dampak secara global.
"Referendum yang kemarin dilakukan di empat wilayah Ukraina: Di Donetsk, di Luhansk, di Zaporizhzhia, dan Kherson, makin merumitkan lagi kapan akan selesai dan imbasnya kepada ekonomi seperti apa. Makin rumit," kata Jokowi.
Mulai 1 Desember 2021 hingga 30 November 2022, Indonesia mendapatkan kepercayaan memegang Presidensi G20 Tahun 2022. Dalam Presidensi tersebut Indonesia mengusung tema “Recover Together, Recover Stronger” atau “Pulih Bersama, Bangkit Perkasa”.
Dijadwalkan KTT G-20 akan digelar pada 15 November di Bali. Melalui tema tersebut, Indonesia ingin mengajak seluruh dunia untuk bahu-membahu, saling mendukung untuk pulih bersama serta tumbuh lebih kuat dan berkelanjutan.
Pengamat Hubungan Internasional Universitas Airlangga, Radityo Dharmaputra menilai seharusnya Indonesia secara tegas menolak mengakui segala bentuk aneksasi berkedok referendum palsu yang dilakukan Rusia.
“Dibandingkan dengan referendum Timor Timur dulu, referendum di Ukraina ini dilakukan tanpa mandat PBB, tanpa kesepakatan dengan negara yang berdaulat di sana, dan justru dikelola oleh negara agresor. Jelas bahwa yang dilakukan Rusia tidak legal, tidak legitimate, dan tidak bisa diterima oleh negara dan masyarakat dunia di manapun,” tegasnya.
Menurut mahasiswa doktoral Universitas Tartu di Estonia tersebut, jika pemerintah Indonesia diam dengan alasan “netralitas”, “bebas-aktif”, dan “agar G20 terjaga”, maka Indonesia sudah tidak punya lagi posisi moral apapun sebagai negara middle-power maupun sebagai bagian dari masyarakat global.
“Ini bukan kali pertama Rusia memaksakan refendum bagi wilayah Ukraina, tahun 2014 mereka melakukan hal yang sama bagi wilayah Donetsk dan Luhansk dan dunia tidak mengakui hal tersebut. Namun kali ini Rusia melangkah lebih jauh, pemaksaan dilakukan menjelang KTT G-20,” tutur Duta Besar Ukraina untuk Indonesia, Vasyl Hamianin, Jumat (30/9), dalam rilis yang diterima Sindonews.
Pada 23-27 September, Federasi Rusia menggelar “referendum” di wilayah-wilayah Ukraina yang diduduki sementara, yaitu Kherson, Zaporizhzhia, Luhansk, dan Donetsk. Rakyat dipaksa memilih untuk sepakat menjadi bagian Rusia.
Pemerintah Ukraina menegaskan berhak untuk memulihkan integritas wilayah kami menggunakan jalur militer maupun diplomasi, dan akan terus berjuang untuk membebaskan wilayah yang berada di bawah pendudukan sementara.
“Ukraina tidak akan pernah tunduk pada satu pun ultimatum rusia. Upaya Moskow untuk membuat garis pemisah baru, atau melemahkan dukungan internasional kepada bangsa Ukraina yang merdeka dan berdaulat pasti akan gagal,” tegasnya
Menurut Vasyl Hamianin dengan menyelenggarakan “referendum” palsu di wilayah-wilayah Ukraina yang diduduki sementara, Federasi Rusia dengan sengaja menunjukkan bahwa semua sinyal yang mereka tentang upaya negosiasi hanyalah dalih untuk menutupi agresi bersenjatanya.
Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Politik dan Pemeliharaan Perdamaian, Rosemary DiCarlo, pada Selasa (27/9/2022) mengatakan bahwa referendum yang didukung Rusia di wilayah Ukraina yang diduduki "bukanlah ekspresi asli dari keinginan rakyat" atau "legal" di bawah hukum internasional.
DiCarlo mengatakan PBB tetap berkomitmen penuh pada kedaulatan, persatuan, kemerdekaan, dan integritas wilayah Ukraina dan menuntut agar Rusia patuh pada hukum internasional dan menghormati hukum Ukraina.
Tuan rumah G20, Presiden Jokow Widodo sebagai pemimpin pertama Asia yang berkunjun ke Kiev dan Moskow pada Kamis (29/9) pun menilai referendum yang dilakukan Rusia semakin memperumit penyelesaian damai yang akibatnya akan memperpanjang dampak secara global.
"Referendum yang kemarin dilakukan di empat wilayah Ukraina: Di Donetsk, di Luhansk, di Zaporizhzhia, dan Kherson, makin merumitkan lagi kapan akan selesai dan imbasnya kepada ekonomi seperti apa. Makin rumit," kata Jokowi.
Mulai 1 Desember 2021 hingga 30 November 2022, Indonesia mendapatkan kepercayaan memegang Presidensi G20 Tahun 2022. Dalam Presidensi tersebut Indonesia mengusung tema “Recover Together, Recover Stronger” atau “Pulih Bersama, Bangkit Perkasa”.
Dijadwalkan KTT G-20 akan digelar pada 15 November di Bali. Melalui tema tersebut, Indonesia ingin mengajak seluruh dunia untuk bahu-membahu, saling mendukung untuk pulih bersama serta tumbuh lebih kuat dan berkelanjutan.
Pengamat Hubungan Internasional Universitas Airlangga, Radityo Dharmaputra menilai seharusnya Indonesia secara tegas menolak mengakui segala bentuk aneksasi berkedok referendum palsu yang dilakukan Rusia.
“Dibandingkan dengan referendum Timor Timur dulu, referendum di Ukraina ini dilakukan tanpa mandat PBB, tanpa kesepakatan dengan negara yang berdaulat di sana, dan justru dikelola oleh negara agresor. Jelas bahwa yang dilakukan Rusia tidak legal, tidak legitimate, dan tidak bisa diterima oleh negara dan masyarakat dunia di manapun,” tegasnya.
Menurut mahasiswa doktoral Universitas Tartu di Estonia tersebut, jika pemerintah Indonesia diam dengan alasan “netralitas”, “bebas-aktif”, dan “agar G20 terjaga”, maka Indonesia sudah tidak punya lagi posisi moral apapun sebagai negara middle-power maupun sebagai bagian dari masyarakat global.
(esn)