Pemerintah Diminta Tegas Terhadap China Terkait Muslim Uighur
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merilis sebuah laporan terkait etnis minoritas di wilayah Xinjiang China yang dipaksa untuk bekerja di luar keinginan mereka dan menghadapi kekerasan fisik serta seksual.
Perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan harkat dan derajat tersebut, disebut juga merupakan bentuk perbudakan modern.
Dalam laporan setebal 20 halaman tersebut, pelapor khusus PBB tentang bentuk-bentuk perbudakan kontemporer, Tomoya Obokata, mengatakan bahwa muslim Uighur , Kazakh dan etnis minoritas lainnya, digunakan China dalam kerja paksa dibeberapa sektor, seperti pertanian dan manufaktur.
Setiap orang yang di cluster dalam kelompok-kelompok ini, telah ditahan dan wajib tunduk pada penempatan kerja di bawah sistem pendidikan serta pelatihan keterampilan kejuruan yang diamanatkan negara, serta program pengentasan kemiskinan yang menempatkan surplus pekerja pedesaan di sektor-sektor yang kekurangan pekerja.
Tindakan serupa ternyata juga ada di negara tetangga Tibet. Menurut laporan yang diterbitkan untuk sesi ke-51 Dewan Hak Asasi Manusia PBB, di mana program transfer tenaga kerja ekstensif telah menggeser petani Tibet, penggembala dan pekerja pedesaan lainnya ke pekerjaan berketerampilan rendah dan bergaji rendah.
Meskipun program-program ini dapat menciptakan kesempatan kerja bagi minoritas dan meningkatkan pendapatan mereka seperti yang diklaim oleh pemerintah China, sang pelapor khusus menganggap bahwa indikator kerja paksa telah menunjuk pada sifat kerja paksa yang diberikan kepada masyarakat.
Laporan tersebut menambahkan bahwa para pekerja mengalami pengawasan berlebihan, kondisi hidup dan kerja yang kejam, pembatasan pergerakan melalui pengasingan, ancaman, kekerasan fisik dan seksual, perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan harkat hidup sebagai manusia.
Dalam laporan tersebut, dikatakan dalam beberapa kasus kondisi yang dihadapi para pekerja mungkin sama dengan perbudakan, dimana sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang memerlukan analisis independen lebih lanjut.
Pemerintah China telah menahan sekitar 1,8 juta warga Uighur dan minoritas Muslim lainnya di jaringan luas kamp pendidikan ulang, yang menurut Beijing dimaksudkan untuk mencegah ekstremisme agama dan terorisme di wilayah tersebut.
Kerja paksa atau wajib kerja telah menjadi bagian penting dari represi sistematis terhadap kelompok-kelompok tersebut.
Menanggapi hal ini, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), meminta masyarakat dunia khususnya Indonesia, untuk lebih tegas bersikap terhadap Pemerintah China, terkait temuan PBB perihal kerja paksa bagi etnis minoritas di negara mereka.
Ketua DPP IMM, Rimbo Bugis mengatakan, cara-cara yang dilakukan otoritas China ini merupakan kejahatan kemanusiaan yang sama dengan era perbudakan di masa dulu.
“Jika laporan ini benar, China artinya kembali mengulang masa kelam perbudakan tempo dulu, dengan program kerja paksa yang mereka terapkan kepada muslim Uighur dan etnis minoritas lainnya di negara mereka,” kata Rimbo kepada wartawan, Selasa, (23/8/2022).
“Apapun alasannya, kerja paksa tidak dapat dibenarkan dan tidak boleh dipaksakan untuk dilakukan kepada siapapun, termasuk etnis minoritas di China. China jelas melanggar HAM,” lanjut Rimbo.
IMM sendiri mensinyalir China menggunakan cara-cara perbudakan kepada orang-orang Uighur, untuk dijadikan sebagai alat penting untuk memajukan ekonomi China.
Laporan Obokata sendiri muncul ketika kelompok aktivis Uighur menunggu penerbitan laporan yang terlambat tentang pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang oleh Kepala Hak Asasi Manusia PBB, Michelle Bachelet, yang awalnya memberi tahu bahwa kantornya hampir menyelesaikan penilaiannya atas tuduhan hak asasi manusia.
Pada bulan Juli lalu, kantor Bachelet mengatakan laporan itu masih dalam proses dan akan dirilis sebelum dia meninggalkan kantor akhir bulan ini.
Tindakan Bachelet ini telah membuat marah kelompok aktivis Uighur setelah petinggi Hal Asasi Manusia (HAM) PBB ini mengunjungi China termasuk Xinjiang, pada akhir Mei lalu, mengulangi pernyataan China bahwa kamp-kamp interniran yang disebut oleh Beijing sebagai pusat pelatihan kejuruan, semuanya telah ditutup.
Kelompok-kelompok tersebut mengecam perjalanan itu sebagai kesempatan propaganda yang memungkinkan China untuk menutupi kejahatannya terhadap kemanusiaan dan genosida terhadap Uighur.
Amerika Serikat (AS) dan legislatif dari beberapa negara Barat lainnya telah menyatakan bahwa penindasan China di Xinjiang, merupakan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
“Peluncuran laporan PBB tentang bentuk-bentuk perbudakan kontemporer sangat signifikan pada saat China melakukan segala dayanya untuk menekan publikasi laporan Uighur oleh kantor Komisaris Tinggi PBB Bachelet,” pungkas Rimbo.
Sementara itu, Presiden Kongres Uighur Dunia (WUC), Dolkun Isa kepada Radio Free Asia (RFA) menilai peluncuran laporan PBB tentang bentuk-bentuk perbudakan kontemporer sangat signifikan pada saat China melakukan segala dayanya untuk menekan publikasi laporan Uighur oleh kantor Komisaris Tinggi PBB Bachelet.
“Temuan laporan Obokata bahwa kerja paksa, dan bahkan perbudakan, ada di Xinjiang menunjukkan kejahatan yang dilakukan China terhadap Uighur,” kata Isa.
Kampanye untuk Uighur (CFU) yang berbasis di Washington, D.C. mengatakan laporan itu adalah penilaian yang sangat penting dan komprehensif.
“Sungguh melegakan melihat PBB akhirnya mengakui sejauh mana kekejaman ini terjadi,” katanya. Sekarang tindakan nyata diperlukan untuk meminta PKC [Partai Komunis China] bertanggung jawab atas kejahatan ini berdasarkan temuan baru-baru ini.” tegas Isa.
Seorang peneliti di Victims of Communism Memorial Foundation yang berbasis di Washington dan ahli di wilayah Xinjiang, Andrian Zenz menyebut laporan PBB itu sebagai pernyataan yang kuat, di mana pelapor menyatakan bahwa ada bukti yang masuk akal untuk menyimpulkan bahwa kerja paksa sedang berlangsung di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang dan kemudian program serupa yang ada di Tibet.
“Dan kemudian dia mengatakan dalam beberapa kasus situasinya mungkin sama dengan perbudakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan,” katanya kepada RFA.
“Itu bentuk terkuat. Ini semacam penilaian formal pada tingkat yang sangat tinggi.”
Zenz mencatat bahwa laporan Obokata muncul hampir empat hari setelah China meratifikasi dua konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) tentang kerja paksa, salah satunya dirancang untuk melawan kerja paksa yang disponsori negara, melarang penggunaannya untuk tujuan politik dan pembangunan ekonomi.
Konvensi lainnya melarang penggunaan kerja paksa dalam segala bentuk dan mewajibkan negara pihak untuk membuat praktik kerja paksa dapat dihukum sebagai pelanggaran pidana.
“Dalam beberapa kasus, situasinya mungkin sama dengan perbudakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Itu bentuk terkuat, semacam penilaian formal pada tingkat yang sangat tinggi,” kata Zenz.
Perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan harkat dan derajat tersebut, disebut juga merupakan bentuk perbudakan modern.
Dalam laporan setebal 20 halaman tersebut, pelapor khusus PBB tentang bentuk-bentuk perbudakan kontemporer, Tomoya Obokata, mengatakan bahwa muslim Uighur , Kazakh dan etnis minoritas lainnya, digunakan China dalam kerja paksa dibeberapa sektor, seperti pertanian dan manufaktur.
Setiap orang yang di cluster dalam kelompok-kelompok ini, telah ditahan dan wajib tunduk pada penempatan kerja di bawah sistem pendidikan serta pelatihan keterampilan kejuruan yang diamanatkan negara, serta program pengentasan kemiskinan yang menempatkan surplus pekerja pedesaan di sektor-sektor yang kekurangan pekerja.
Tindakan serupa ternyata juga ada di negara tetangga Tibet. Menurut laporan yang diterbitkan untuk sesi ke-51 Dewan Hak Asasi Manusia PBB, di mana program transfer tenaga kerja ekstensif telah menggeser petani Tibet, penggembala dan pekerja pedesaan lainnya ke pekerjaan berketerampilan rendah dan bergaji rendah.
Meskipun program-program ini dapat menciptakan kesempatan kerja bagi minoritas dan meningkatkan pendapatan mereka seperti yang diklaim oleh pemerintah China, sang pelapor khusus menganggap bahwa indikator kerja paksa telah menunjuk pada sifat kerja paksa yang diberikan kepada masyarakat.
Laporan tersebut menambahkan bahwa para pekerja mengalami pengawasan berlebihan, kondisi hidup dan kerja yang kejam, pembatasan pergerakan melalui pengasingan, ancaman, kekerasan fisik dan seksual, perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan harkat hidup sebagai manusia.
Dalam laporan tersebut, dikatakan dalam beberapa kasus kondisi yang dihadapi para pekerja mungkin sama dengan perbudakan, dimana sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang memerlukan analisis independen lebih lanjut.
Pemerintah China telah menahan sekitar 1,8 juta warga Uighur dan minoritas Muslim lainnya di jaringan luas kamp pendidikan ulang, yang menurut Beijing dimaksudkan untuk mencegah ekstremisme agama dan terorisme di wilayah tersebut.
Kerja paksa atau wajib kerja telah menjadi bagian penting dari represi sistematis terhadap kelompok-kelompok tersebut.
Menanggapi hal ini, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), meminta masyarakat dunia khususnya Indonesia, untuk lebih tegas bersikap terhadap Pemerintah China, terkait temuan PBB perihal kerja paksa bagi etnis minoritas di negara mereka.
Ketua DPP IMM, Rimbo Bugis mengatakan, cara-cara yang dilakukan otoritas China ini merupakan kejahatan kemanusiaan yang sama dengan era perbudakan di masa dulu.
“Jika laporan ini benar, China artinya kembali mengulang masa kelam perbudakan tempo dulu, dengan program kerja paksa yang mereka terapkan kepada muslim Uighur dan etnis minoritas lainnya di negara mereka,” kata Rimbo kepada wartawan, Selasa, (23/8/2022).
“Apapun alasannya, kerja paksa tidak dapat dibenarkan dan tidak boleh dipaksakan untuk dilakukan kepada siapapun, termasuk etnis minoritas di China. China jelas melanggar HAM,” lanjut Rimbo.
IMM sendiri mensinyalir China menggunakan cara-cara perbudakan kepada orang-orang Uighur, untuk dijadikan sebagai alat penting untuk memajukan ekonomi China.
Laporan Obokata sendiri muncul ketika kelompok aktivis Uighur menunggu penerbitan laporan yang terlambat tentang pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang oleh Kepala Hak Asasi Manusia PBB, Michelle Bachelet, yang awalnya memberi tahu bahwa kantornya hampir menyelesaikan penilaiannya atas tuduhan hak asasi manusia.
Pada bulan Juli lalu, kantor Bachelet mengatakan laporan itu masih dalam proses dan akan dirilis sebelum dia meninggalkan kantor akhir bulan ini.
Tindakan Bachelet ini telah membuat marah kelompok aktivis Uighur setelah petinggi Hal Asasi Manusia (HAM) PBB ini mengunjungi China termasuk Xinjiang, pada akhir Mei lalu, mengulangi pernyataan China bahwa kamp-kamp interniran yang disebut oleh Beijing sebagai pusat pelatihan kejuruan, semuanya telah ditutup.
Kelompok-kelompok tersebut mengecam perjalanan itu sebagai kesempatan propaganda yang memungkinkan China untuk menutupi kejahatannya terhadap kemanusiaan dan genosida terhadap Uighur.
Amerika Serikat (AS) dan legislatif dari beberapa negara Barat lainnya telah menyatakan bahwa penindasan China di Xinjiang, merupakan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
“Peluncuran laporan PBB tentang bentuk-bentuk perbudakan kontemporer sangat signifikan pada saat China melakukan segala dayanya untuk menekan publikasi laporan Uighur oleh kantor Komisaris Tinggi PBB Bachelet,” pungkas Rimbo.
Sementara itu, Presiden Kongres Uighur Dunia (WUC), Dolkun Isa kepada Radio Free Asia (RFA) menilai peluncuran laporan PBB tentang bentuk-bentuk perbudakan kontemporer sangat signifikan pada saat China melakukan segala dayanya untuk menekan publikasi laporan Uighur oleh kantor Komisaris Tinggi PBB Bachelet.
“Temuan laporan Obokata bahwa kerja paksa, dan bahkan perbudakan, ada di Xinjiang menunjukkan kejahatan yang dilakukan China terhadap Uighur,” kata Isa.
Kampanye untuk Uighur (CFU) yang berbasis di Washington, D.C. mengatakan laporan itu adalah penilaian yang sangat penting dan komprehensif.
“Sungguh melegakan melihat PBB akhirnya mengakui sejauh mana kekejaman ini terjadi,” katanya. Sekarang tindakan nyata diperlukan untuk meminta PKC [Partai Komunis China] bertanggung jawab atas kejahatan ini berdasarkan temuan baru-baru ini.” tegas Isa.
Seorang peneliti di Victims of Communism Memorial Foundation yang berbasis di Washington dan ahli di wilayah Xinjiang, Andrian Zenz menyebut laporan PBB itu sebagai pernyataan yang kuat, di mana pelapor menyatakan bahwa ada bukti yang masuk akal untuk menyimpulkan bahwa kerja paksa sedang berlangsung di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang dan kemudian program serupa yang ada di Tibet.
“Dan kemudian dia mengatakan dalam beberapa kasus situasinya mungkin sama dengan perbudakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan,” katanya kepada RFA.
“Itu bentuk terkuat. Ini semacam penilaian formal pada tingkat yang sangat tinggi.”
Zenz mencatat bahwa laporan Obokata muncul hampir empat hari setelah China meratifikasi dua konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) tentang kerja paksa, salah satunya dirancang untuk melawan kerja paksa yang disponsori negara, melarang penggunaannya untuk tujuan politik dan pembangunan ekonomi.
Konvensi lainnya melarang penggunaan kerja paksa dalam segala bentuk dan mewajibkan negara pihak untuk membuat praktik kerja paksa dapat dihukum sebagai pelanggaran pidana.
“Dalam beberapa kasus, situasinya mungkin sama dengan perbudakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Itu bentuk terkuat, semacam penilaian formal pada tingkat yang sangat tinggi,” kata Zenz.
(ian)