Kepala Pertahanan Jelaskan Bagaimana Ukraina Bisa Dihancurkan
loading...
A
A
A
KIEV - Rencana perdamaian besar yang ditandatangani untuk mengakhiri perang di Ukraina timur, dapat menyebabkan keruntuhan negara itu jika dilaksanakan.
Pernyataan itu diungkapkan Kepala Dewan Keamanan dan Pertahanan Nasional Ukraina Alexey Danilov yang telah memperingatkan ketika ketegangan berkobar di perbatasan bersama dengan Rusia.
Berbicara kepada Associated Press (AP) pada Senin (31/1/2022), Alexey Danilov bersikeras bahwa pejabat Ukraina harus meninjau kesepakatan damai untuk menghindari fondasi negara Eropa Timur runtuh.
“Pemenuhan perjanjian Minsk berarti kehancuran negara. Ketika itu ditandatangani di bawah laras senjata Rusia, dan Jerman dan Prancis mengawasi, sudah jelas bagi semua orang yang rasional bahwa tidak mungkin untuk mengimplementasikan dokumen-dokumen itu,” tutur dia, dilansir RT.com.
Menurut Danilov, negara-negara Barat seharusnya tidak mendorong Ukraina memberlakukan persyaratan saat ini yang ditetapkan dalam perjanjian.
“Jika mereka bersikeras memenuhi perjanjian Minsk sebagaimana adanya, itu akan sangat berbahaya bagi negara kita,” ujar dia.
“Jika masyarakat tidak menerima perjanjian itu, itu dapat menyebabkan situasi internal yang sangat sulit dan Rusia mengandalkan itu,” papar kepala keamanan itu.
Pernyataannya muncul di tengah meningkatnya ketegangan di perbatasan Rusia-Ukraina dalam beberapa bulan terakhir.
Pada Desember, Sekretaris Pers Kremlin Dmitry Peskov mengatakan, “Kemungkinan permusuhan di Ukraina masih tinggi,” ketika ditanya tentang kemungkinan perang di timur negara itu.
Perjanjian Minsk, ditandatangani pada 2014 dan 2015 oleh Ukraina, Rusia, dan organisasi antar pemerintah OSCE. Kesepakatan itu ditandatangani dalam upaya mengakhiri perang di Donbass.
Selain gencatan senjata, Protokol Minsk dan Minsk II juga mencakup kesepakatan reformasi konstitusi di Ukraina, dengan desentralisasi dan kekuasaan ekstra untuk wilayah Donetsk dan Lugansk yang memisahkan diri. Hingga saat ini, rencana tersebut masih belum bisa dilaksanakan.
Ukraina, Prancis, Jerman, dan Rusia pertama kali bersidang pada 2014, pada peringatan 70 tahun pendaratan Sekutu D-Day di Normandia selama Perang Dunia II.
Konflik di Ukraina timur pecah setelah peristiwa Maidan 2014, ketika pemerintah terpilih digulingkan setelah protes jalanan yang diwarnai kekerasan, dengan kedua republik mendeklarasikan otonomi mereka dari Kiev.
Baik Rusia, Ukraina, maupun negara anggota PBB lainnya tidak mengakui kedaulatan republik yang memisahkan diri itu.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menuduh separatis didukung Moskow dan sebelumnya telah menyatakan preferensinya untuk bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai gantinya.
Moskow bersikeras bahwa Rusia bukan pihak dalam konflik, bagaimanapun, dan mengatakan beban ada di Kiev untuk mencapai kesepakatan dengan para pemimpin kedua wilayah di perbatasan Rusia.
Lihat Juga: 5 Negara Sahabat Korea Utara, Semua Musuh AS Termasuk Pemilik Bom Nuklir Terbanyak di Dunia
Pernyataan itu diungkapkan Kepala Dewan Keamanan dan Pertahanan Nasional Ukraina Alexey Danilov yang telah memperingatkan ketika ketegangan berkobar di perbatasan bersama dengan Rusia.
Berbicara kepada Associated Press (AP) pada Senin (31/1/2022), Alexey Danilov bersikeras bahwa pejabat Ukraina harus meninjau kesepakatan damai untuk menghindari fondasi negara Eropa Timur runtuh.
“Pemenuhan perjanjian Minsk berarti kehancuran negara. Ketika itu ditandatangani di bawah laras senjata Rusia, dan Jerman dan Prancis mengawasi, sudah jelas bagi semua orang yang rasional bahwa tidak mungkin untuk mengimplementasikan dokumen-dokumen itu,” tutur dia, dilansir RT.com.
Menurut Danilov, negara-negara Barat seharusnya tidak mendorong Ukraina memberlakukan persyaratan saat ini yang ditetapkan dalam perjanjian.
“Jika mereka bersikeras memenuhi perjanjian Minsk sebagaimana adanya, itu akan sangat berbahaya bagi negara kita,” ujar dia.
“Jika masyarakat tidak menerima perjanjian itu, itu dapat menyebabkan situasi internal yang sangat sulit dan Rusia mengandalkan itu,” papar kepala keamanan itu.
Pernyataannya muncul di tengah meningkatnya ketegangan di perbatasan Rusia-Ukraina dalam beberapa bulan terakhir.
Pada Desember, Sekretaris Pers Kremlin Dmitry Peskov mengatakan, “Kemungkinan permusuhan di Ukraina masih tinggi,” ketika ditanya tentang kemungkinan perang di timur negara itu.
Perjanjian Minsk, ditandatangani pada 2014 dan 2015 oleh Ukraina, Rusia, dan organisasi antar pemerintah OSCE. Kesepakatan itu ditandatangani dalam upaya mengakhiri perang di Donbass.
Selain gencatan senjata, Protokol Minsk dan Minsk II juga mencakup kesepakatan reformasi konstitusi di Ukraina, dengan desentralisasi dan kekuasaan ekstra untuk wilayah Donetsk dan Lugansk yang memisahkan diri. Hingga saat ini, rencana tersebut masih belum bisa dilaksanakan.
Ukraina, Prancis, Jerman, dan Rusia pertama kali bersidang pada 2014, pada peringatan 70 tahun pendaratan Sekutu D-Day di Normandia selama Perang Dunia II.
Konflik di Ukraina timur pecah setelah peristiwa Maidan 2014, ketika pemerintah terpilih digulingkan setelah protes jalanan yang diwarnai kekerasan, dengan kedua republik mendeklarasikan otonomi mereka dari Kiev.
Baik Rusia, Ukraina, maupun negara anggota PBB lainnya tidak mengakui kedaulatan republik yang memisahkan diri itu.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menuduh separatis didukung Moskow dan sebelumnya telah menyatakan preferensinya untuk bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai gantinya.
Moskow bersikeras bahwa Rusia bukan pihak dalam konflik, bagaimanapun, dan mengatakan beban ada di Kiev untuk mencapai kesepakatan dengan para pemimpin kedua wilayah di perbatasan Rusia.
Lihat Juga: 5 Negara Sahabat Korea Utara, Semua Musuh AS Termasuk Pemilik Bom Nuklir Terbanyak di Dunia
(sya)