Dulu Resor Bintang 5, Hotel Terapung Pertama Ini Jadi Besi Karatan di Pelabuhan Korut
loading...
A
A
A
SEOUL - Dulunya merupakan resor bintang lima eksklusif yang mengapung langsung di atas Great Barrier Reef Australia . Hari ini, ia berada di pelabuhan Korea Utara (Korut), 20 menit berkendara dari Zona Demiliterisasi, area terlarang yang memisahkan kedua Korea.
Untuk hotel terapung pertama di dunia, itu menjadi perhentian terakhir dalam perjalanan 10.000 mil yang aneh. Perjalanan lebih dari 30 tahun lalu itu dimulai dengan menggunakan helikopter untuk menyambanginya dan penuh makanan mewah berakhir dengan tragedi.
Sekarang ditandai untuk dibongkar, kapal berkarat dengan masa lalu yang penuh warna ini menghadapi masa depan yang tidak pasti.
Hotel terapung ini merupakan gagasan dari Doug Tarca, seorang penyelam profesional dan pengusaha kelahiran Italia yang tinggal di Townsville, di pantai timur laut Queensland, Australia.
"Dia sangat mencintai dan menghargai Great Barrier Reef," kata Robert de Jong, kurator di Townsville Maritime Museum seperti dikutip dari CNN, Jumat (12/11/2021).
Pada tahun 1983, Tarca memulai sebuah perusahaan, Reef Link, untuk mengangkut day-trippers melalui katamaran dari Townsville ke formasi karang di lepas pantai.
"Tapi kemudian dia berkata: 'Tunggu. Bagaimana dengan membiarkan orang tinggal di karang semalaman?'" ungkap de Jong.
Awalnya, Tarca berpikir untuk menambatkan kapal pesiar tua secara permanen ke karang, tetapi ia kemudian menyadari akan lebih murah dan lebih ramah lingkungan untuk merancang dan membangun hotel terapung khusus sebagai gantinya. Konstruksi dimulai pada 1986 di galangan kapal Bethlehem Singapura, anak perusahaan dari perusahaan baja terbesar AS yang sekarang sudah tidak beroperasi lagi.
Hotel ini menelan biaya sekitar USD45 juta atau lebih dari USD100 juta saat ini dan diangkut dengan kapal angkat berat ke John Brewer Reef, lokasi yang dipilihnya di dalam Taman Laut Great Barrier Reef Australia.
"Ini adalah karang berbentuk tapal kuda, dengan perairan tenang di tengahnya, sangat ideal untuk hotel terapung," tutur de Jong.
Hotel ini diamankan ke dasar laut dengan tujuh jangkar besar, diposisikan sedemikian rupa sehingga tidak akan merusak karang. Tidak ada limbah yang dipompa ke laut, air disirkulasikan kembali dan sampah apa pun dibawa ke lokasi di daratan, agak membatasi dampak lingkungan dari struktur tersebut.
Dinamakan Four Seasons Barrier Reef Resort, secara resmi dibuka untuk bisnis pada tanggal 9 Maret 1988.
"Itu adalah hotel bintang lima dan tidak murah," ucap de Jong. "(Hotel) itu memiliki 176 kamar dan dapat menampung 350 tamu. Ada klub malam, dua restoran, laboratorium penelitian, perpustakaan, dan toko tempat Anda bisa membeli peralatan menyelam. Bahkan ada lapangan tenis, meskipun saya pikir sebagian besar bola tenis mungkin berakhir di Pasifik," selorohnya.
Untuk mencapai hotel ini diperlukan perjalanan dua jam dengan kapal katamaran cepat, atau naik helikopter yang jauh lebih cepat dan juga lebih mahal, dengan penyesuaian inflasi USD350 per perjalanan pulang pergi.
Awalnya hotel ini cukup ramai dan menjadi impian bagi para penyelam. Bahkan non-penyelam dapat menikmati pemandangan terumbu karang yang luar biasa, berkat kapal selam khusus yang disebut The Yellow Submarine.
Namun, semua segera menjadi jelas bahwa dampak cuaca buruk terhadap para tamu telah diremehkan.
"Jika cuaca buruk dan Anda harus kembali ke kota untuk mengejar pesawat, helikopter tidak dapat terbang dan katamaran tidak dapat berlayar, sehingga menyebabkan banyak ketidaknyamanan," kata de Jong.
Menariknya, staf hotel tinggal di lantai paling atas, yang mana di hotel terapung adalah lokasi yang paling tidak diinginkan karena paling sering berayun. Menurut de Jong, staf menggunakan botol wiski kosong yang digantung di langit-langit untuk mengukur situasi laut: ketika mulai bergoyang di luar kendali, mereka tahu banyak tamu akan mabuk laut.
"Itu mungkin salah satu alasan mengapa hotel ini tidak pernah benar-benar sukses secara komersial," katanya.
Masalah lain: topan menghantam struktur hanya satu minggu sebelum pembukaan, merusak kolam air tawar yang merupakan bagian dari kompleks. Sebuah tempat pembuangan amunisi Perang Dunia II ditemukan dua mil dari hotel, membuat takut beberapa pelanggan. Selain itu tidak banyak yang bisa dilakukan di hotel itu selain menyelam atau snorkeling.
Setelah hanya satu tahun, Four Seasons Barrier Reef Resort menjadi terlalu mahal untuk dioperasionalkan, dan ditutup tanpa pernah mencapai tingkat hunian penuh.
"(Hotel) itu menghilang dengan sangat tenang," kata de Jong. "Dan (hotel) itu dijual ke sebuah perusahaan di Kota Ho Chi Minh di Vietnam, yang ingin menarik wisatawan," ungkapnya.
Pada tahun 1989 hotel terapung memulai perjalanan keduanya, kali ini 3.400 mil ke utara. Berganti nama menjadi Saigon Hotel, namun lebih dikenal sebagai "The Floater", hotel ini tetap tertambat di Sungai Saigon selama hampir satu dekade.
"(Hotel) itu menjadi sangat sukses, dan saya pikir alasannya adalah karena itu bukan di wilayah yang antah berantah, tetapi di tepi laut. (Hotel) itu mengambang, tetapi terhubung ke daratan," terang de Jong.
Namun, pada tahun 1998, The Floater kehabisan tenaga secara finansial dan ditutup. Namun alih-alih dibongkar, ia menemukan kehidupan baru yang tidak mungkin: dibeli oleh Korut untuk menarik wisatawan ke Gunung Kumgang, daerah yang indah di dekat perbatasan dengan Korea Selatan (Korsel).
"Saat itu, kedua Korea sedang mencoba membangun jembatan, mereka berbicara satu sama lain. Tapi banyak hotel di Korea Utara yang tidak benar-benar ramah turis," ujar de Jong.
Setelah menempuh perjalanan sejauh 2.800 mil, hotel terapung ini siap untuk petualangan ketiganya, dengan nama baru Hotel Haegumgang. Dibuka pada Oktober 2000 dan dikelola oleh perusahaan Korsel, Hyundai Asan, yang juga mengoperasikan fasilitas lain di area tersebut dan menawarkan paket untuk turis dari negara itu.
Menurut juru bicara Hyundai Asan Park Sung-uk, selama bertahun-tahun, wilayah Gunung Kumgang telah menarik lebih dari 2 juta wisatawan.
"Juga, Tur Gunung Kumgang meningkatkan rekonsiliasi antar-Korea dan menjadi titik penting untuk pertukaran antar-Korea, sebagai pusat reuni keluarga yang terpisah untuk menyembuhkan kesedihan dari perpecahan nasional," katanya.
Namun pada tahun 2008, seorang tentara Korut menembak dan membunuh seorang wanita Korsel berusia 53 tahun yang berkeliaran di luar batas kawasan wisata Gunung Kumgang dan masuk ke zona militer. Akibatnya, Hyundai Asan menangguhkan semua tur, dan Hotel Haegumgang ditutup bersama dengan yang lainnya.
Tidak jelas apakah hotel tersebut telah beroperasi sejak saat itu, tetapi tentu saja tidak untuk turis dari Korsel.
"Informasinya samar, tapi saya yakin hotel itu hanya beroperasi untuk anggota partai penguasa Korea Utara," kata de Jong.
Di Google Maps, hotel itu masih terlihat tertambat di dermaga di kawasan Gunung Kumgang dengan kondisi mengenaskan: berkarat.
Pada 2019, pemimpin Korut Kim Jong-un mengunjungi kawasan wisata Gunung Kumgang dan mengkritik banyak fasilitas, termasuk Hotel Haegumgang, karena kumuh. Ia lantas memerintahkan pembongkaran hotel dan fasilitasn itu sebagai bagian dari rencana untuk mendesain ulang daerah tersebut dengan gaya yang lebih sesuai dengan budaya Korut. Tapi kemudian, pandemi terjadi dan semua rencana ditunda. Tidak jelas apakah rencana untuk menghancurkan semuanya akan dilakukan dalam waktu dekat, atau tidak sama sekali.
Sementara itu, hotel terapung itu hidup satu hari lagi, warisannya masih utuh. Hotel ini kemungkinan akan tetap menjadi salah satu dari jenisnya, karena gagasan hotel terapung belum benar-benar populer.
"Lautan penuh dengan hotel terapung," kata de Jong. "Mereka hanya disebut kapal pesiar," pungkasnya.
Untuk hotel terapung pertama di dunia, itu menjadi perhentian terakhir dalam perjalanan 10.000 mil yang aneh. Perjalanan lebih dari 30 tahun lalu itu dimulai dengan menggunakan helikopter untuk menyambanginya dan penuh makanan mewah berakhir dengan tragedi.
Sekarang ditandai untuk dibongkar, kapal berkarat dengan masa lalu yang penuh warna ini menghadapi masa depan yang tidak pasti.
Hotel terapung ini merupakan gagasan dari Doug Tarca, seorang penyelam profesional dan pengusaha kelahiran Italia yang tinggal di Townsville, di pantai timur laut Queensland, Australia.
"Dia sangat mencintai dan menghargai Great Barrier Reef," kata Robert de Jong, kurator di Townsville Maritime Museum seperti dikutip dari CNN, Jumat (12/11/2021).
Pada tahun 1983, Tarca memulai sebuah perusahaan, Reef Link, untuk mengangkut day-trippers melalui katamaran dari Townsville ke formasi karang di lepas pantai.
Baca Juga
"Tapi kemudian dia berkata: 'Tunggu. Bagaimana dengan membiarkan orang tinggal di karang semalaman?'" ungkap de Jong.
Awalnya, Tarca berpikir untuk menambatkan kapal pesiar tua secara permanen ke karang, tetapi ia kemudian menyadari akan lebih murah dan lebih ramah lingkungan untuk merancang dan membangun hotel terapung khusus sebagai gantinya. Konstruksi dimulai pada 1986 di galangan kapal Bethlehem Singapura, anak perusahaan dari perusahaan baja terbesar AS yang sekarang sudah tidak beroperasi lagi.
Hotel ini menelan biaya sekitar USD45 juta atau lebih dari USD100 juta saat ini dan diangkut dengan kapal angkat berat ke John Brewer Reef, lokasi yang dipilihnya di dalam Taman Laut Great Barrier Reef Australia.
"Ini adalah karang berbentuk tapal kuda, dengan perairan tenang di tengahnya, sangat ideal untuk hotel terapung," tutur de Jong.
Hotel ini diamankan ke dasar laut dengan tujuh jangkar besar, diposisikan sedemikian rupa sehingga tidak akan merusak karang. Tidak ada limbah yang dipompa ke laut, air disirkulasikan kembali dan sampah apa pun dibawa ke lokasi di daratan, agak membatasi dampak lingkungan dari struktur tersebut.
Dinamakan Four Seasons Barrier Reef Resort, secara resmi dibuka untuk bisnis pada tanggal 9 Maret 1988.
"Itu adalah hotel bintang lima dan tidak murah," ucap de Jong. "(Hotel) itu memiliki 176 kamar dan dapat menampung 350 tamu. Ada klub malam, dua restoran, laboratorium penelitian, perpustakaan, dan toko tempat Anda bisa membeli peralatan menyelam. Bahkan ada lapangan tenis, meskipun saya pikir sebagian besar bola tenis mungkin berakhir di Pasifik," selorohnya.
Untuk mencapai hotel ini diperlukan perjalanan dua jam dengan kapal katamaran cepat, atau naik helikopter yang jauh lebih cepat dan juga lebih mahal, dengan penyesuaian inflasi USD350 per perjalanan pulang pergi.
Awalnya hotel ini cukup ramai dan menjadi impian bagi para penyelam. Bahkan non-penyelam dapat menikmati pemandangan terumbu karang yang luar biasa, berkat kapal selam khusus yang disebut The Yellow Submarine.
Namun, semua segera menjadi jelas bahwa dampak cuaca buruk terhadap para tamu telah diremehkan.
"Jika cuaca buruk dan Anda harus kembali ke kota untuk mengejar pesawat, helikopter tidak dapat terbang dan katamaran tidak dapat berlayar, sehingga menyebabkan banyak ketidaknyamanan," kata de Jong.
Menariknya, staf hotel tinggal di lantai paling atas, yang mana di hotel terapung adalah lokasi yang paling tidak diinginkan karena paling sering berayun. Menurut de Jong, staf menggunakan botol wiski kosong yang digantung di langit-langit untuk mengukur situasi laut: ketika mulai bergoyang di luar kendali, mereka tahu banyak tamu akan mabuk laut.
"Itu mungkin salah satu alasan mengapa hotel ini tidak pernah benar-benar sukses secara komersial," katanya.
Masalah lain: topan menghantam struktur hanya satu minggu sebelum pembukaan, merusak kolam air tawar yang merupakan bagian dari kompleks. Sebuah tempat pembuangan amunisi Perang Dunia II ditemukan dua mil dari hotel, membuat takut beberapa pelanggan. Selain itu tidak banyak yang bisa dilakukan di hotel itu selain menyelam atau snorkeling.
Setelah hanya satu tahun, Four Seasons Barrier Reef Resort menjadi terlalu mahal untuk dioperasionalkan, dan ditutup tanpa pernah mencapai tingkat hunian penuh.
"(Hotel) itu menghilang dengan sangat tenang," kata de Jong. "Dan (hotel) itu dijual ke sebuah perusahaan di Kota Ho Chi Minh di Vietnam, yang ingin menarik wisatawan," ungkapnya.
Pada tahun 1989 hotel terapung memulai perjalanan keduanya, kali ini 3.400 mil ke utara. Berganti nama menjadi Saigon Hotel, namun lebih dikenal sebagai "The Floater", hotel ini tetap tertambat di Sungai Saigon selama hampir satu dekade.
"(Hotel) itu menjadi sangat sukses, dan saya pikir alasannya adalah karena itu bukan di wilayah yang antah berantah, tetapi di tepi laut. (Hotel) itu mengambang, tetapi terhubung ke daratan," terang de Jong.
Namun, pada tahun 1998, The Floater kehabisan tenaga secara finansial dan ditutup. Namun alih-alih dibongkar, ia menemukan kehidupan baru yang tidak mungkin: dibeli oleh Korut untuk menarik wisatawan ke Gunung Kumgang, daerah yang indah di dekat perbatasan dengan Korea Selatan (Korsel).
"Saat itu, kedua Korea sedang mencoba membangun jembatan, mereka berbicara satu sama lain. Tapi banyak hotel di Korea Utara yang tidak benar-benar ramah turis," ujar de Jong.
Setelah menempuh perjalanan sejauh 2.800 mil, hotel terapung ini siap untuk petualangan ketiganya, dengan nama baru Hotel Haegumgang. Dibuka pada Oktober 2000 dan dikelola oleh perusahaan Korsel, Hyundai Asan, yang juga mengoperasikan fasilitas lain di area tersebut dan menawarkan paket untuk turis dari negara itu.
Menurut juru bicara Hyundai Asan Park Sung-uk, selama bertahun-tahun, wilayah Gunung Kumgang telah menarik lebih dari 2 juta wisatawan.
"Juga, Tur Gunung Kumgang meningkatkan rekonsiliasi antar-Korea dan menjadi titik penting untuk pertukaran antar-Korea, sebagai pusat reuni keluarga yang terpisah untuk menyembuhkan kesedihan dari perpecahan nasional," katanya.
Namun pada tahun 2008, seorang tentara Korut menembak dan membunuh seorang wanita Korsel berusia 53 tahun yang berkeliaran di luar batas kawasan wisata Gunung Kumgang dan masuk ke zona militer. Akibatnya, Hyundai Asan menangguhkan semua tur, dan Hotel Haegumgang ditutup bersama dengan yang lainnya.
Tidak jelas apakah hotel tersebut telah beroperasi sejak saat itu, tetapi tentu saja tidak untuk turis dari Korsel.
"Informasinya samar, tapi saya yakin hotel itu hanya beroperasi untuk anggota partai penguasa Korea Utara," kata de Jong.
Di Google Maps, hotel itu masih terlihat tertambat di dermaga di kawasan Gunung Kumgang dengan kondisi mengenaskan: berkarat.
Pada 2019, pemimpin Korut Kim Jong-un mengunjungi kawasan wisata Gunung Kumgang dan mengkritik banyak fasilitas, termasuk Hotel Haegumgang, karena kumuh. Ia lantas memerintahkan pembongkaran hotel dan fasilitasn itu sebagai bagian dari rencana untuk mendesain ulang daerah tersebut dengan gaya yang lebih sesuai dengan budaya Korut. Tapi kemudian, pandemi terjadi dan semua rencana ditunda. Tidak jelas apakah rencana untuk menghancurkan semuanya akan dilakukan dalam waktu dekat, atau tidak sama sekali.
Sementara itu, hotel terapung itu hidup satu hari lagi, warisannya masih utuh. Hotel ini kemungkinan akan tetap menjadi salah satu dari jenisnya, karena gagasan hotel terapung belum benar-benar populer.
"Lautan penuh dengan hotel terapung," kata de Jong. "Mereka hanya disebut kapal pesiar," pungkasnya.
(ian)