Mahathir Mohamad Juga Desak PM Malaysia dan Kabinetnya Mundur
loading...
A
A
A
KUALA LUMPUR - Mahathir Mohamad telah bergabung dalam seruan para politisi yang mendesak Perdana Menteri (PM) Malaysia Muhyiddin Yassin dan Kabinetnya untuk mengundurkan diri.
Desakan Mahathir—mantan PM Malaysia—muncul setelah pemimpin oposisi Anwar Ibrahim membuat seruan serupa terlebih dahulu.
Desakan agar PM Muhyiddin mundur ini dipicu oleh pengumuman Menteri Urusan Hukum dan Parlemen Takiyuddin Hassan bahwa pemerintah telah mencabut enam emergency ordinances (EO) atau peraturan darurat terkait COVID-19 tanpa persetujuan Raja Malaysia; Yang di-Pertuan Agong Al-Sultan Abdullah Ri'ayatuddin Al-Mustafa Billah Shah.
Menurut Mahathir, meskipun seorang menteri yang membuat pengumuman seperti itu, namun Muhyiddin tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawabnya sebagai kepala pemerintahan.
Dia mengatakan Muhyiddin tidak berusaha untuk mengoreksi pengumuman Menteri Takiyuddin meskipun duduk di sebelahnya, atau pada hari-hari berikutnya.
"Oleh karena itu, dia bertanggung jawab atas tindakan memalukan ini seperti halnya anggota Kabinet lainnya," kata Mahathir seperti dikutip The Star, Jumat (30/7/2021).
"Oleh karena itu, dia wajib mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri dan anggota kabinetnya harus mengikutinya," katanya.
Raja Malaysia, Yang di-Pertuan Agong Al-Sultan Abdullah Ri'ayatuddin Al-Mustafa Billah Shah telah menyatakan kekecewaannya yang besar dengan keputusan pemerintah untuk mencabut enam EO tanpa persetujuannya.
Dalam sebuah pernyataan, Raja juga mengungkapkan kekecewaannya karena pencabutan peraturan itu tidak disampaikan di Parlemen oleh pemerintah.
Pengawas Keuangan Rumah Tangga Kerajaan Istana Negara Datuk Ahmad Fadil Shamsuddin mengatakan dalam pernyataannya bahwa Pasal 150 (2b) dan Pasal 150 (3) Konstitusi Federal dengan jelas menyatakan bahwa kekuasaan untuk memberlakukan dan mencabut peraturan darurat berada di tangan Yang di-Pertuan Agong.
“Dalam hal ini, Yang Mulia menyatakan kekecewaan atas pernyataan 26 Juli di Parlemen bahwa pemerintah telah mencabut semua EO yang telah diumumkan Raja selama masa darurat, meskipun Yang Mulia belum menyetujui pencabutan itu,” kata Ahmad Fadil.
Dia menambahkan bahwa Raja juga menyatakan sangat kecewa bahwa sarannya bahwa pencabutan peraturan darurat diajukan dan diperdebatkan di Parlemen tidak dilaksanakan.
“Usul Yang Mulia telah disepakati sebelumnya dalam pertemuan virtual pada 24 Juli dengan Takiyuddin dan Jaksa Agung Tan Sri Idrus Harun," katanya.
"Yang Mulia menegaskan bahwa pernyataan Menteri Urusan Parlemen pada 26 Juli itu tidak tepat dan membingungkan anggota Parlemen," kata Ahmad Fadil.
Dia mengatakan Raja juga mengatakan bahwa pengajuan pemerintah untuk mencabut EI pada 21 Juli dilakukan dengan tergesa-gesa dan belum melalui Parlemen.
Desakan Mahathir—mantan PM Malaysia—muncul setelah pemimpin oposisi Anwar Ibrahim membuat seruan serupa terlebih dahulu.
Desakan agar PM Muhyiddin mundur ini dipicu oleh pengumuman Menteri Urusan Hukum dan Parlemen Takiyuddin Hassan bahwa pemerintah telah mencabut enam emergency ordinances (EO) atau peraturan darurat terkait COVID-19 tanpa persetujuan Raja Malaysia; Yang di-Pertuan Agong Al-Sultan Abdullah Ri'ayatuddin Al-Mustafa Billah Shah.
Menurut Mahathir, meskipun seorang menteri yang membuat pengumuman seperti itu, namun Muhyiddin tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawabnya sebagai kepala pemerintahan.
Dia mengatakan Muhyiddin tidak berusaha untuk mengoreksi pengumuman Menteri Takiyuddin meskipun duduk di sebelahnya, atau pada hari-hari berikutnya.
"Oleh karena itu, dia bertanggung jawab atas tindakan memalukan ini seperti halnya anggota Kabinet lainnya," kata Mahathir seperti dikutip The Star, Jumat (30/7/2021).
"Oleh karena itu, dia wajib mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri dan anggota kabinetnya harus mengikutinya," katanya.
Raja Malaysia, Yang di-Pertuan Agong Al-Sultan Abdullah Ri'ayatuddin Al-Mustafa Billah Shah telah menyatakan kekecewaannya yang besar dengan keputusan pemerintah untuk mencabut enam EO tanpa persetujuannya.
Dalam sebuah pernyataan, Raja juga mengungkapkan kekecewaannya karena pencabutan peraturan itu tidak disampaikan di Parlemen oleh pemerintah.
Pengawas Keuangan Rumah Tangga Kerajaan Istana Negara Datuk Ahmad Fadil Shamsuddin mengatakan dalam pernyataannya bahwa Pasal 150 (2b) dan Pasal 150 (3) Konstitusi Federal dengan jelas menyatakan bahwa kekuasaan untuk memberlakukan dan mencabut peraturan darurat berada di tangan Yang di-Pertuan Agong.
“Dalam hal ini, Yang Mulia menyatakan kekecewaan atas pernyataan 26 Juli di Parlemen bahwa pemerintah telah mencabut semua EO yang telah diumumkan Raja selama masa darurat, meskipun Yang Mulia belum menyetujui pencabutan itu,” kata Ahmad Fadil.
Dia menambahkan bahwa Raja juga menyatakan sangat kecewa bahwa sarannya bahwa pencabutan peraturan darurat diajukan dan diperdebatkan di Parlemen tidak dilaksanakan.
“Usul Yang Mulia telah disepakati sebelumnya dalam pertemuan virtual pada 24 Juli dengan Takiyuddin dan Jaksa Agung Tan Sri Idrus Harun," katanya.
"Yang Mulia menegaskan bahwa pernyataan Menteri Urusan Parlemen pada 26 Juli itu tidak tepat dan membingungkan anggota Parlemen," kata Ahmad Fadil.
Dia mengatakan Raja juga mengatakan bahwa pengajuan pemerintah untuk mencabut EI pada 21 Juli dilakukan dengan tergesa-gesa dan belum melalui Parlemen.
(min)