Junta Militer Tolak Embargo Senjata PBB Terhadap Myanmar
loading...
A
A
A
YANGON - Kementerian Luar Negeri Myanmar menolak resolusi Majelis Umum PBB yang menyerukan embargo senjata terhadap Myanmar. Majelis Umum PBB, dalam resolusi yang disahkan pada Jumat, juga mengutuk perebutan kekuasaan oleh militer pada Februari.
Myanmar menggambarkan resolusi tersebut dibuat berdasarkan tuduhan sepihak dan asumsi yang salah. Kementerian Luar Negeri Myanmar telah mengirimkan surat keberatan kepada Sekretaris Jenderal dan Presiden Majelis Umum PBB.
Kementerian Luar Negeri Myanmar mengatakan, pihaknya menganggap Duta Besar Myanmar PBB, Kyaw Moe Tun telah diberhentikan dari posisinya dan mencatat bahwa dia telah didakwa dengan pengkhianatan di Myanmar.
“Oleh karena itu, pernyataannya, partisipasi dan tindakannya dalam pertemuan itu tidak sah dan tidak dapat diterima dan Myanmar sangat menolak partisipasi dan pernyataannya,” katanya, seperti dilansir Channel News Asia pada Minggu (20/6/2021).
“Meski Myanmar menerima saran konstruktif dari komunitas internasional dalam mengatasi tantangan yang dihadapi Myanmar, setiap upaya yang melanggar kedaulatan negara dan campur tangan dalam urusan internal Myanmar tidak akan diterima,” sambungnya.
Resolusi tersebut mencerminkan konsensus internasional yang mengutuk kudeta yang menggulingkan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi. Resolusi itu meminta junta militer untuk memulihkan transisi demokrasi negara itu, mengutuk kekerasan yang berlebihan dan mematikan sejak kudeta, dan meminta semua negara untuk mencegah aliran senjata ke Myanmar.
Itu juga meminta Angkatan Bersenjata Myanmar untuk segera dan tanpa syarat membebaskanSuu Kyi, Presiden Win Myint dan pejabat serta politisi lainnya yang ditahan setelah kudeta, serta semua orang yang telah ditahan, didakwa, atau ditangkap secara sewenang-wenang.
Langkah itu disetujui oleh 119 negara. Belarusia, pemasok senjata utama ke Myanmar menolak resolusi itu dan 36 negara abstain, termasuk, China dan India, bersama dengan Rusia.
Myanmar menggambarkan resolusi tersebut dibuat berdasarkan tuduhan sepihak dan asumsi yang salah. Kementerian Luar Negeri Myanmar telah mengirimkan surat keberatan kepada Sekretaris Jenderal dan Presiden Majelis Umum PBB.
Kementerian Luar Negeri Myanmar mengatakan, pihaknya menganggap Duta Besar Myanmar PBB, Kyaw Moe Tun telah diberhentikan dari posisinya dan mencatat bahwa dia telah didakwa dengan pengkhianatan di Myanmar.
“Oleh karena itu, pernyataannya, partisipasi dan tindakannya dalam pertemuan itu tidak sah dan tidak dapat diterima dan Myanmar sangat menolak partisipasi dan pernyataannya,” katanya, seperti dilansir Channel News Asia pada Minggu (20/6/2021).
“Meski Myanmar menerima saran konstruktif dari komunitas internasional dalam mengatasi tantangan yang dihadapi Myanmar, setiap upaya yang melanggar kedaulatan negara dan campur tangan dalam urusan internal Myanmar tidak akan diterima,” sambungnya.
Resolusi tersebut mencerminkan konsensus internasional yang mengutuk kudeta yang menggulingkan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi. Resolusi itu meminta junta militer untuk memulihkan transisi demokrasi negara itu, mengutuk kekerasan yang berlebihan dan mematikan sejak kudeta, dan meminta semua negara untuk mencegah aliran senjata ke Myanmar.
Itu juga meminta Angkatan Bersenjata Myanmar untuk segera dan tanpa syarat membebaskanSuu Kyi, Presiden Win Myint dan pejabat serta politisi lainnya yang ditahan setelah kudeta, serta semua orang yang telah ditahan, didakwa, atau ditangkap secara sewenang-wenang.
Langkah itu disetujui oleh 119 negara. Belarusia, pemasok senjata utama ke Myanmar menolak resolusi itu dan 36 negara abstain, termasuk, China dan India, bersama dengan Rusia.
(ian)