Menelisik Bom Katedral Makassar, Terorisme Keluarga dan Warisan ISIS
loading...
A
A
A
JAKARTA - Saat hujan turun dan para tamu menyantap kari ayam, Muhammad Lukman menikahi mempelai wanita berbaju burqa dalam sebuah upacara larut malam di rumah Rizaldi, pemimpin doa mereka, di pulau Sulawesi, Indonesia .
Para tamu yang menghadiri pernikahan Agustus lalu itu mengatakan upacara diadakan pada pukul 22.00 malam, waktu yang dianggap berkah.
Hari Minggu (28/3/2021), pada Minggu Palma pagi, pengantin baru itu mengikatkan bom paku pressure cooker ke dada mereka dan meledakkannya saat mereka hendak memasuki Katedral Hati Yesus Yang MahaKudus di Makassar.
Kematian mereka menyusul pembunuhan terhadap tuan rumah pernikahan mereka pada Januari, yang ditembak oleh pasukan kontra-terorisme.
Pembom milenial yang baru menikah itu adalah satu-satunya korban tewas dalam serangan di katedral tersebut, tetapi insiden tersebut menawarkan pandangan tentang warisan berbahaya ISIS di Asia Tenggara, dan hubungan pribadi dan keluarga yang mengikat ekstremis agama di seluruh wilayah.
Di Indonesia, negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, kelompok pro-ISIS tetap menjadi ancaman dua tahun setelah kelompok ultra-radikal itu dikalahkan di Suriah dan Irak. Demikian disampaikan para analis.
Pemboman di gereja Makassar adalah serangan ketiga yang dilakukan oleh pasangan suami istri pelaku bom bunuh diri dari Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Pada Mei 2018, sebuah keluarga Indonesia beranggotakan enam orang, sepasang suami istri dan empat anak mereka, meledakkan bahan peledak di beberapa gereja di kota Surabaya, Jawa Timur, bagian dari serangkaian serangan yang menewaskan 28 orang.
Kurang dari setahun kemudian, Ulfa Handayani Saleh dan suaminya Rullie Rian Zeke, keduanya orang Indonesia, mengebom sebuah katedral di Jolo, Filipina selatan, menewaskan 23 orang dan melukai lebih dari 100 orang.
Para tamu yang menghadiri pernikahan Agustus lalu itu mengatakan upacara diadakan pada pukul 22.00 malam, waktu yang dianggap berkah.
Hari Minggu (28/3/2021), pada Minggu Palma pagi, pengantin baru itu mengikatkan bom paku pressure cooker ke dada mereka dan meledakkannya saat mereka hendak memasuki Katedral Hati Yesus Yang MahaKudus di Makassar.
Kematian mereka menyusul pembunuhan terhadap tuan rumah pernikahan mereka pada Januari, yang ditembak oleh pasukan kontra-terorisme.
Pembom milenial yang baru menikah itu adalah satu-satunya korban tewas dalam serangan di katedral tersebut, tetapi insiden tersebut menawarkan pandangan tentang warisan berbahaya ISIS di Asia Tenggara, dan hubungan pribadi dan keluarga yang mengikat ekstremis agama di seluruh wilayah.
Di Indonesia, negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, kelompok pro-ISIS tetap menjadi ancaman dua tahun setelah kelompok ultra-radikal itu dikalahkan di Suriah dan Irak. Demikian disampaikan para analis.
Pemboman di gereja Makassar adalah serangan ketiga yang dilakukan oleh pasangan suami istri pelaku bom bunuh diri dari Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Pada Mei 2018, sebuah keluarga Indonesia beranggotakan enam orang, sepasang suami istri dan empat anak mereka, meledakkan bahan peledak di beberapa gereja di kota Surabaya, Jawa Timur, bagian dari serangkaian serangan yang menewaskan 28 orang.
Kurang dari setahun kemudian, Ulfa Handayani Saleh dan suaminya Rullie Rian Zeke, keduanya orang Indonesia, mengebom sebuah katedral di Jolo, Filipina selatan, menewaskan 23 orang dan melukai lebih dari 100 orang.